RI Larang Ekspor, Harga Nikel Melesat ke Level Tertinggi

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
02 September 2019 16:45
Harga komoditas nikel di pasar kontrak berjangka dunia terus mencatatkan kenaikan.
Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga komoditas nikel di pasar kontrak berjangka dunia terus mencatatkan kenaikan, bahkan menyentuh nilai tertingginya yang pernah dicapai dalam 5 tahun lalu atau Agustus 2014.

Hingga berita ini dimuat, harga nikel dunia tercatat naik 4,79% ke level US$ 18.757,5/ton.



Sementara itu, pada perdagangan terakhir, Jumat (30/8/2019), di pasar spot London Metal Exchange (LME), harga komoditas mineral yang satu ini ditutup naik 8,79% ke level US$ 18.004/metrik ton. Sepanjang tahun berjalan atau year to date, sudah melesat hingga 69,78%.



Harga nikel dunia terus melaju disokong olek ekspektasi naiknya permintaan untuk memenuhi kebutuhan baterai kendaraan listrik. Selain itu, potensi adanya krisis pasokan dalam jangka panjang atas komoditas ini menyusul percepatan larangan ekspor bijih nikel oleh pemerintah Indonesia yang notebene merupakan eksportir nikel terbesar di dunia.

Berdasarkan International Nickel Study Group (INSG), pada tahun 2017 Indonesia menduduki posisi kedua sebagai produsen nikel terbesar dengan kapasitas produksi mencapai 205.000 ton.

Laporan yang sama juga menuliskan bahwa Ibu Pertiwi berkontribusi hampir 100% atas pertumbuhan ekspor nikel, dan sejak 2015 telah menjadi eksportir tunggal terbesar.

Ekspor nikel Indonesia menyumbang 39% dan 63% dari total ekspor nikel di tahun 2016 dan 2017.

Dengan demikian, wajar saja jika harga nikel dunia melesat karena Indonesia sebagai eksportir nikel terbesar terancam akan mengurangi pasokan mulai tahun depan.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam Mineral (ESDM) pada Senin ini secara resmi memutuskan pemberlakuan larangan ekspor komoditas bijih nikel per 1 Januari 2020.


"Kami sudah tanda tangan Permen ESDM mengenai yang intinya penghentian untuk insentif ekspor bijih nikel bagi pembangunan smelter per tanggal 1 Januari 2020," ujar Bambang Gatot, Direktur Jenderal dan Mineral Batu Bara Kementerian ESDM, pada Senin (2/9/2019).

"Alasannya adalah karena untuk menjaga cadangan dan juga mempertimbangkan banyaknya smelter nikel yang mulai beroperasi di Indonesia. Atas dasar tersebut segala sesuatu yang berhubungan dengan nikel ekspor raw material akan berakhir pada 31 Desember 2019," tambah Gatot.

Pemerintah beranggapan bawah larangan ekspor tersebut dimaksudkan agar Indonesia dapat menikmati nilai tambah dari pengolahan bijih nikel menjadi feronikel, di mana nilai tambahnya bisa mencapai enam kali lipat.

Harga nikel dunia di pasar spot terkahir ditutup di level US$ 18.004/ton, berarti dengan asumsi demikian, enam kali lipat harga feronikel setara dengan US$ 108.024/metrik ton atau Rp 1,53 miliar/metrik ton (asumsi kurs Rp 14.200/US$).

Lebih lanjut, Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) mencatat saat ini cadangan nikel domestik mencapai 9 miliar metrik ton. Ini berarti, jika Indonesia mampu mengolah semua cadangan nikel menjadi feronikel, dengan harga saat ini dapat menghasilkan pemasukan US$ 972,21 triliun.


Meliat potensi pendapatan yang begitu besar, pelaku pasar pun berbondong-bondong mengkoleksi saham emiten produsen nikel, seperti PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM).

Pada penutupan perdagangan Senin ini, harga saham INCO dan ANTM masing-masing tercatat menguat sebesar 12,46% di level Rp 3.970/saham dan 9,35% di level Rp 1.170/saham.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/tas) Next Article Uni Eropa Gugat Pembatasan Ekspor Nikel, Begini Penjelasan RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular