Eksternal & Domestik Bermuram Durja, IHSG Masih Memerah

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
02 September 2019 12:42
Eksternal & Domestik Bermuram Durja, IHSG Masih Memerah
Foto: Ilustrasi Bursa. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan pertama di pekan ini dengan penguatan tipis sebesar 0,04% ke level 6.331,15, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dengan cepat berbalik arah ke zona merah dan tak pernah lagi merasakan manisnya zona hijau.

Per akhir sesi I, Senin ini (2/9/2019) indeks saham acuan di Indonesia tersebut terkoreksi sebesar 0,41% ke level 6.302,74.

Jika koreksi IHSG terus bertahan hingga akhir perdagangan, maka akan memutus rantai apresiasi yang sudah dibukukan selama 4 hari beruntun.

Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga sedang ditransaksikan di zona merah. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei jatuh 0,33%, indeks Hang Seng melemah 0,47%, dan indeks Straits Times turun 0,81%.

Tereskalasinya perang dagang AS-China menjadi sentimen negatif yang membayangi perdagangan di bursa saham Benua Kuning pada hari ini.

Kemarin (1/9/2019), AS resmi memberlakukan bea masuk baru sebesar 15% yang menyasar produk impor asal China senilai US$ 112 miliar. Pakaian, sepatu, hingga kamera menjadi bagian dari daftar produk yang diincar AS pada kesempatan ini.

Di sisi lain, aksi balasan dari China berlaku selepas AS bersikeras menerapkan bea masuk baru terhadap Beijing. China mengenakan bea masuk baru yang berkisar antara 5-10% bagi sebagian produk yang masuk dalam daftar target senilai US$ 75 miliar. Daging babi, daging sapi, dan berbagai produk pertanian lainnya tercatat masuk dalam daftar barang yang menjadi lebih mahal per tanggal 1 September kemarin.


Untuk diketahui, AS masih akan mengenakan bea masuk baru terhadap berbagai produk impor China lainnya pada tanggal 15 Desember. Jika ditotal, nilai barang yang terdampak dari kebijakan AS pada hari ini dan tanggal 15 Desember nanti adalah US$ 300 miliar, dilansir dari CNBC International.

Sementara itu, sisa barang dalam daftar target senilai US$ 75 miliar yang hingga kini belum dikenakan bea masuk baru oleh China, akan mulai terdampak pada tanggal 15 Desember.

Dengan eskalasi lebih lanjut terkait perang dagang kedua negara yang sudah resmi terjadi, dikhawatirkan keduanya akan semakin jauh dari yang namanya kesepakatan dagang. Pada akhirnya, kedua negara bisa mengalami yang namanya hard landing.

Untuk diketahui, pada tahun 2018, International Monetary Fund (IMF) mencatat perekonomian AS tumbuh sebesar 2,857%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.

Pada tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi AS melambat menjadi 2,6%. Untuk tahun 2020, pertumbuhan ekonomi AS diproyeksikan kembali merosot menjadi 1,9% saja.

Sementara untuk China, pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 diproyeksikan melandai ke level 6,2%, dari yang sebelumnya 6,6% pada tahun 2018. Pada tahun depan, pertumbuhannya kembali diproyeksikan melandai menjadi 6%.

Kala dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi mengalami yang namanya hard landing, pastilah laju perekonomian dunia akan ikut mendapatkan tekanan yang signifikan.

BERLANJUT KE HALAMAN 2 -> Angka Inflasi dan Lemahnya Daya Beli

Dari dalam negeri, kinerja IHSG dibebani oleh rilis angka inflasi periode Agustus 2019 oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Sepanjang bulan lalu, BPS mencatat terjadi inflasi 0,12% secara bulanan (month-on-month/MoM), sementara inflasi secara tahunan (year-on-year/YoY) berada di level sebesar 3,49%.

Capaian tersebut berada di bawah konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan inflasi secara bulanan berada di level 0,16% dan inflasi secara tahunan berada di level 3,54%.

Rilis angka inflasi yang berada di bawah ekspektasi mengindikasikan bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada di level yang relatif rendah. Apalagi, rilis data penjualan barang-barang ritel oleh Bank Indonesia (BI) belum lama ini juga mengindikasikan lemahnya daya beli masyarakat.

Belum lama ini, BI mengumumkan bahwa penjualan barang-barang ritel periode Juni 2019 terkontraksi 1,8% secara tahunan, jauh lebih buruk ketimbang capaian periode yang sama tahun lalu (Juni 2018) yakni pertumbuhan sebesar 2,3%.

Lebih lanjut, angka sementara untuk periode Juli 2019 menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel hanya tumbuh sebesar 2,3% secara tahunan, di bawah pertumbuhan pada Juli 2019 yang sebesar 2,9%.

Seiring dengan kuatnya indikasi bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada di level yang rendah, praktis saham-saham sektor konsumer dilego pelaku pasar. Per akhir sesi satu, indeks sektor barang konsumsi ambruk sebesar 1,51%.

Saham-saham barang konsumsi yang banyak dilego investor hingga siang hari di antaranya: PT Gudang Garam Tbk/GGRM (-3,99%), PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (-2,23%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-1,74%), PT Kalbe Farma Tbk/KLBF (-0,59%), dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk/ICBP (-0,41%). 

TIM RISET CNBC INDONESIA

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular