
China Ingin Damai Dengan AS, Dolar Australia Tetap Loyo

Jakarta, CNBC Indonesia -- Dolar Australia melanjutkan pelemahan melawan rupiah pada perdagangan Jumat (30/8/19), setelah Kamis kemarin mencatat hat trick pelemahan. Dola Australia masih saja loyo meski muncul harapan akan adanya perundingan dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China.
Pada pukul 14:30 WIB dolar Australia diperdagangkan di kisaran Rp 9.540,98 atau melemah 0,32% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Dalam tiga hari sebelumnya Mata Uang Kanguru ini melemah 0,23%, 0,27%, dan 0,24%, dan masih terbenam di level terlemah sejak Februari 2016.
Harapan akan adanya perundingan dagang AS-China muncul setelah Reuters Kamis kemarin melaporkan Kementerian Pemerintah Beijing dan Washington sedang membahas pertemuan tatap muka dalam waktu dekat.
Gao Feng, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China, menyatakan kedua pihak harus menciptakan suasana yang kondusif jika ingin meraih hasil positif dalam perundingan tersebut. China sendiri, katanya, terus berusaha menghindari eskalasi dan bersedia untuk menyelesaikan perselisihan secara tenang.
Presiden AS, Donald Trump, juga merespon positif komentar dari China. Presiden Trump mengungkapkan hari ini akan ada pembicaraan di antara delegasi kedua negara untuk mempersiapkan pertemuan pada bulan depan.
China merupakan mitra dagang utama Australia, sehingga kabar baik dari China seharusnya mampu mendongkrak kinerja mata uangnya. Namun nyatanya rupiah lebih perkasa sejak Kamis kemarin. Hal ini tidak lepas dari buruknya data ekonomi Australia.
Biro Statistik Australia Kamis kemarin melaporkan belanja modal swasta AS mengalami penurunan sebesar 0,5% di kuartal II-2019 dari tiga bulan pertama 2019 atau secara quarter-to-quarter.
Data ini merupakan leading indicator kesehatan ekonomi Australia, jika dunia usaha meningkatkan investasi berarti kondisi ekonomi membaik, sebaliknya jika investasi menurun, berarti dunia usaha melihat kondisi ekonomi sedang memburuk.
Memburuknya kondisi ekonomi Australia bisa jadi membuat bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) kembali memangkas suku bunganya. RBA sudah dua kali beruntun memangkas suku bunga masing-masing 25 basis poin (bps) hingga ke rekor terendah 1% untuk memberikan stimulus ke perekonomian yang melambat.
Dari tanah air, Bank Indonesia (BI) juga dua kali memangkas suku bunga masing-masing 25 bps menjadi 5,5%, tetapi bedanya BI memangkas suku bunga karena memiliki ruang yang bisa dimanfaatkan untuk memacu perekonomian lebih kencang.
Spread suku bunga di Indonesia dan Australia juga masih cukup lebar, dengan kondisi global yang lebih kondusif, berinvestasi di Indonesia tentunya lebih menguntungkan yang membuat rupiah menjadi lebih perkasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Mata Uang "Underdog" Jadi Juara di Kuartal I-2022
