Rupiah Terjebak di Antara Damai Dagang dan Resesi

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
30 August 2019 10:29
Rupiah Terjebak di Antara Damai Dagang dan Resesi
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Sementara di pasar spot, lagi-lagi rupiah kebingungan mencari posisi ideal.

Pada Jumat (30/8/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.237. Rupiah menguat 0,12% dibandingkan posisi hari sebelumnya.

Namun di pasar spot, nasib rupiah tidak seberuntung itu. Pada pukul 10:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.235, sama persis dengan posisi penutupan perdagangan kemarin alias stagnan.

Kala pembukaan pasar spot, rupiah masih mampu menguat 0,14%. Namun seiring perjalanan, apresiasi rupiah semakin menipis dan akhirnya habis.

Akan tetapi, sebenarnya stagnan saja sudah bagus buat rupiah. Pasalnya mayoritas mata uang utama Asia justru melemah di hadapan greenback. Kini hanya dolar Hong Kong, rupee India, dan yen Jepang yang masih mampu menguat.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 10:06 WIB:



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Rupiah dan mata uang Asia lainnya sedang stuck in limbo, terjebak di tengah-tengah. Di satu sisi, ada sentimen positif yaitu AS-China yang bersiap untuk kembali melanjutkan dialog dagang.

Rencana AS-China untuk menggelar dialog dagang di Washington pada awal September semakin mendekati kenyataan. Presiden AS Donald Trump mengungkapkan hari ini akan ada pembicaraan di antara delegasi kedua negara untuk mempersiapkan pertemuan pada bulan depan.

"Ada pembicaraan yang terjadwal hari ini, tetapi levelnya berbeda. China sangat ingin membuat kesepakatan (dagang). Kita lihat saja nanti," kata Trump dalam wawancara dengan Fox News Radio, seperti dikutip dari Reuters.

Sementara di Beijing, Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng menyatakan saat ini Beijing dan Washington sedang membahas pertemuan tatap muka dalam waktu dekat. Dia menambahkan kedua pihak harus menciptakan suasana yang kondusif jika ingin meraih hasil positif dalam perundingan tersebut. China sendiri, katanya, terus berusaha menghindari eskalasi dan bersedia untuk menyelesaikan perselisihan secara tenang.

"Sejauh yang saya tahu, delegasi kedua negara terus melakukan komunikasi yang efektif. Kami berharap AS menunjukkan ketulusan dan aksi konkret," kata Gao, seperti diwartakan Reuters.



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Namun di sisi lain ada sentimen negatif yaitu tanda-tanda resesi di Negeri Paman Sam yang masih menghantui pasar. Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor dua dan 10 tahun terjebak dalam inversi. Artinya, yield obligasi tenor pendek lebih tinggi dibandingkan yang tenor panjang, pertanda investor melihat ada risiko dalam jangka pendek sehingga meminta 'jaminan' yang lebih besar.

Pada pukul 10:13 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor dua tahun berada di 1,5439% sementara yang 10 tahun adalah 1,5198%. Inversi yield di dua tenor ini sudah berlangsung hampir sepekan.




Dari lima kali resesi di AS, seluruhnya diawali dengan inversi yield obligasi tenor dua dan 10 tahun. Oleh karena itu, dua tenor ini sangat dipantau oleh investor karena menjadi indikator resesi.

Jika sampai AS jatuh ke jurang resesi seperti saat krisis keuangan sekira satu dekade lalu, maka dunia akan merasakan akibatnya. Maklum, AS adalah perekonomian terbesar di dunia, sang lokomotif. Ketika lokomotif berhenti atau mundur, maka gerbong-gerbong di belakangnya tentu akan mengikuti.


Isu resesi ternyata masih mengganggu pergerakan pasar sampai hari ini. Jadi walau ada harapan AS-China bisa mencapai damai dagang, tetapi selama ancaman resesi masih menghantui ya sama saja bohong...


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular