
'Game' Ekonomi Global Sudah di Level Very Hard Nih...
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
29 August 2019 10:24

Ketiga, hubungan Jepang-Korea Selatan juga memburuk. Seperti AS-China, negara yang bertetangga ini sedang terlibat perang dagang.
Relasi Tokyo-Seoul memburuk sejak akhir tahun lalu setelah Mahkamah Agung Korea Selatan memerintahkan pembayaran kompensasi terhadap warga negara Negeri Ginseng yang dilibatkan dalam kerja paksa saat masa pendudukan Jepang pada 1910-1945. Jepang kemudian menghapus nama Korea Selatan dari daftar negara penerima kemudahan ekspor alias white list. Kemudian Korea Selatan pun membalas dengan perlakuan yang sama.
Kini Jepang dan Korea Selatan mulai merasakan akibatnya. Saling hambat ekspor membuat kinerja perdagangan semakin melemah.
Sejak akhir 2018, saat hubungan dengan Korea Selatan mulai memburuk, ekspor Jepang terus terkontraksi alias turun. Kontraksi ekspor Jepang terjadi selama delapan bulan beruntun.
Hal serupa juga terjadi di Korea Selatan. Sejak Desember 2018 hingga Juli lalu, ekspor Korea Selatan tidak pernah tumbuh, selalu negatif.
Keempat, situasi di Timur Tengah juga belum bisa dibilang sudah tenang. Bahkan ada tendensi peningkatan eskalasi.
Beberapa waktu lalu, sejumlah kapal berbendera Inggris diserang dan diculik di perairan Selat Hormuz. AS dan sekutunya menuding Iran berada di balik aksi-aksi tersebut.
Sejak Donald Trump menjadi Presiden AS, hubungan Washington-Teheran memang memburuk. AS resmi keluar dari kesepakatan nuklir dengan Iran, dan telah menjatuhkan berbagai sanksi ekonomi. Barang siapa yang berbisnis dengan Iran, niscaya tidak akan diizinkan berbisnis dengan AS.
Iran pun membandel. Behrouz Kamalvandi, Juru Bicara Organisasi Tenaga Atom Iran, menegaskan akan terus mengurangi komitmen mereka terhadap perjanjian nuklir 2015.
"Dengan minimnya komitmen dari Eropa (terhadap keputusan AS), Iran akan mengurangi komitmen dalam waktu sebulan. Ini akan mempercepat aktivitas nulir kami," katanya, seperti diwartakan Reuters.
Ya, mengurangi komitmen terhadap perjanjian nuklir berarti Iran menambah stok uranium. Kamalvandi mengungkapkan, saat ini posisi uranium Iran sudah di atas 300 kg. Padahal dalam perjanjian 2015, stok uranium Iran dibatasi maksimal 300 kg.
AS tentu tidak senang. Bahkan Trump sempat hampir menerjunkan pasukan militer, tetapi dibatalkan pada menit-menit akhir.
Baca: Trump Ancam Serang Iran, Perang di Depan Mata?
Akan tetapi, risiko konflik di daerah Teluk masih besar. Ancaman konfrontasi bersenjata alias perang belum bisa dikesampingkan di wilayah yang sarat konflik tersebut.
Perang dagang AS-China, Brexit, ketegangan Jepang-Korea Selatan, dan bara Timur Tengah adalah contoh betapa saat ini tingkat kesulitan dalam 'permainan' ekonomi global sudah tidak lagi easy. Mungkin sudah hard atau very hard.
Risiko semakin besar, pelaku pasar pun kian terpojok dan terpaksa bermain aman. Kalau ini terus terjadi, maka sulit berharap arus modal akan masuk ke pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia. Jadi, mungkin ke depan yang namanya fluktuasi nilai tukar rupiah yang mengarah ke depresiasi akan menjadi pemandangan yang biasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Relasi Tokyo-Seoul memburuk sejak akhir tahun lalu setelah Mahkamah Agung Korea Selatan memerintahkan pembayaran kompensasi terhadap warga negara Negeri Ginseng yang dilibatkan dalam kerja paksa saat masa pendudukan Jepang pada 1910-1945. Jepang kemudian menghapus nama Korea Selatan dari daftar negara penerima kemudahan ekspor alias white list. Kemudian Korea Selatan pun membalas dengan perlakuan yang sama.
Kini Jepang dan Korea Selatan mulai merasakan akibatnya. Saling hambat ekspor membuat kinerja perdagangan semakin melemah.
Hal serupa juga terjadi di Korea Selatan. Sejak Desember 2018 hingga Juli lalu, ekspor Korea Selatan tidak pernah tumbuh, selalu negatif.
Keempat, situasi di Timur Tengah juga belum bisa dibilang sudah tenang. Bahkan ada tendensi peningkatan eskalasi.
Beberapa waktu lalu, sejumlah kapal berbendera Inggris diserang dan diculik di perairan Selat Hormuz. AS dan sekutunya menuding Iran berada di balik aksi-aksi tersebut.
Sejak Donald Trump menjadi Presiden AS, hubungan Washington-Teheran memang memburuk. AS resmi keluar dari kesepakatan nuklir dengan Iran, dan telah menjatuhkan berbagai sanksi ekonomi. Barang siapa yang berbisnis dengan Iran, niscaya tidak akan diizinkan berbisnis dengan AS.
Iran pun membandel. Behrouz Kamalvandi, Juru Bicara Organisasi Tenaga Atom Iran, menegaskan akan terus mengurangi komitmen mereka terhadap perjanjian nuklir 2015.
"Dengan minimnya komitmen dari Eropa (terhadap keputusan AS), Iran akan mengurangi komitmen dalam waktu sebulan. Ini akan mempercepat aktivitas nulir kami," katanya, seperti diwartakan Reuters.
Ya, mengurangi komitmen terhadap perjanjian nuklir berarti Iran menambah stok uranium. Kamalvandi mengungkapkan, saat ini posisi uranium Iran sudah di atas 300 kg. Padahal dalam perjanjian 2015, stok uranium Iran dibatasi maksimal 300 kg.
AS tentu tidak senang. Bahkan Trump sempat hampir menerjunkan pasukan militer, tetapi dibatalkan pada menit-menit akhir.
Baca: Trump Ancam Serang Iran, Perang di Depan Mata?
Akan tetapi, risiko konflik di daerah Teluk masih besar. Ancaman konfrontasi bersenjata alias perang belum bisa dikesampingkan di wilayah yang sarat konflik tersebut.
Perang dagang AS-China, Brexit, ketegangan Jepang-Korea Selatan, dan bara Timur Tengah adalah contoh betapa saat ini tingkat kesulitan dalam 'permainan' ekonomi global sudah tidak lagi easy. Mungkin sudah hard atau very hard.
Risiko semakin besar, pelaku pasar pun kian terpojok dan terpaksa bermain aman. Kalau ini terus terjadi, maka sulit berharap arus modal akan masuk ke pasar keuangan negara berkembang, termasuk Indonesia. Jadi, mungkin ke depan yang namanya fluktuasi nilai tukar rupiah yang mengarah ke depresiasi akan menjadi pemandangan yang biasa.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular