
Analisis Teknikal
Perang Dagang dan Isu Resesi, Rupiah Sulit Menguat Hari Ini
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
28 August 2019 11:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali melemah di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Mata uang Tanah Air selalu berada di zona merah sejak awal pekan.
Pada Rabu (28/8/2019) pukul 11:41 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.262 di perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,08% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Eskalasi perang dagang AS-China menjadi beban utama bagi rupiah. Selain itu, ancaman resesi pun belum pergi.
Hubungan AS dan China sepertinya belum mendingin meski Presiden AS Donald Trump mengatakan mengatakan siap kembali ke meja perundingan. "China menghubungi para negosiator dagang kami dan mengatakan mari kembali berunding. Jadi kita akan kembali bernegosiasi dan saya pikir mereka akan melakukan sesuatu," katanya, seperti diberitakan CNBC International.
Namun, nyatanya pihak China membantah hal tersebut. "Saya belum mendengar kejadian terkait dua sambungan telepon yang disebut oleh pihak AS pada akhir pekan," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang, dilansir dari CNBC International.
Akibat perang dagang AS-China yang kemungkinan masih bisa memanas, pelaku pasar melihat pertumbuhan ekonomi global akan semakin melambat, bahkan AS terancam mengalami resesi. Kecemasan akan resesi terlihat dari imbal hasil (yield) obligasi atau Treasury AS yang kembali mengalami inversi.
Inversi terjadi antara yield Treasury Tenor 2 tahun dengan 10 tahun. Artinya, yield tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang yang menandakan investor melihat ada risiko yang lebih besar dalam jangka pendek.
Sebagai aset negara emerging market, rupiah tidak diuntungkan saat terjadi perang dagang hingga isu resesi yang memicu ketidakpastian yang tinggi di pasar finansial. Oleh karena itu, rupiah terus terbebani dua isu tersebut, dan masih sulit untuk kembali menguat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pada Rabu (28/8/2019) pukul 11:41 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.262 di perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,08% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Eskalasi perang dagang AS-China menjadi beban utama bagi rupiah. Selain itu, ancaman resesi pun belum pergi.
Hubungan AS dan China sepertinya belum mendingin meski Presiden AS Donald Trump mengatakan mengatakan siap kembali ke meja perundingan. "China menghubungi para negosiator dagang kami dan mengatakan mari kembali berunding. Jadi kita akan kembali bernegosiasi dan saya pikir mereka akan melakukan sesuatu," katanya, seperti diberitakan CNBC International.
Namun, nyatanya pihak China membantah hal tersebut. "Saya belum mendengar kejadian terkait dua sambungan telepon yang disebut oleh pihak AS pada akhir pekan," kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Geng Shuang, dilansir dari CNBC International.
Akibat perang dagang AS-China yang kemungkinan masih bisa memanas, pelaku pasar melihat pertumbuhan ekonomi global akan semakin melambat, bahkan AS terancam mengalami resesi. Kecemasan akan resesi terlihat dari imbal hasil (yield) obligasi atau Treasury AS yang kembali mengalami inversi.
Inversi terjadi antara yield Treasury Tenor 2 tahun dengan 10 tahun. Artinya, yield tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang yang menandakan investor melihat ada risiko yang lebih besar dalam jangka pendek.
Sebagai aset negara emerging market, rupiah tidak diuntungkan saat terjadi perang dagang hingga isu resesi yang memicu ketidakpastian yang tinggi di pasar finansial. Oleh karena itu, rupiah terus terbebani dua isu tersebut, dan masih sulit untuk kembali menguat.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular