Rapat Dewan Gubernur BI Bikin Gelisah, IHSG Tergelincir

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 August 2019 18:00
Rapat Dewan Gubernur BI Bikin Gelisah, IHSG Tergelincir
Foto: Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo (CNBC Indonesia/Lidya Julita S)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan Selasa ini (20/8/2019) dengan apresiasi sebesar 0,24% ke level 6.311,91, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru menutup hari di zona merah. Per akhir sesi dua, IHSG melemah tipis 0,02% ke level 6.295,74.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG ke zona merah di antaranya: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-0,5%), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (-1,59%), PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk/INKP (-4,98%), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (-1,91%), dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk/PGAS (-3,76%).

Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang bergerak di zona hijau: indeks Nikkei menguat 0,55%, indeks Straits Times terapresiasi 0,22%, dan indeks Kospi melesat 1,05%.


Bursa saham utama Benua Kuning masih mampu menghijau pasca kemarin (19/8/2019) sudah membukukan penguatan.

Asa damai dagang AS-China sukses memantik aksi beli di bursa saham Benua Kuning pada perdagangan kemarin. Dalam sebuah cuitan yang diposting pada hari Minggu (19/8/2019) waktu setempat, Presiden AS Donald Trump mengatakan bahwa negosiasi yang sudah digelar dengan pihak China terkait masalah perdagangan berlangsung dengan baik dan pembicaraan terus dilakukan.

Pernyataan dari Trump tersebut mengonfirmasi pernyataan dari Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow bahwa perbincangan via telepon yang dilakukan delegasi kedua negara baru-baru ini berlangsung dengan positif, serta membuka pintu lebih lebar bagi kedua negara untuk segera meneken kesepakatan dagang.

Rapat Dewan Gubernur BI Bikin Grogi, IHSG TergelincirFoto: REUTERS/Kevin Lamarque/File Photo

Kudlow menambahkan bahwa perbincangan via telepon lebih lanjut dengan China direncanakan dalam 7 hingga 10 ke depan. Jika perbincangan tersebut berlangsung dengan positif, Kudlow menyebut bahwa delegasi China akan menyambangi AS untuk menggelar dialog dagang secara tatap muka.

"Jika perbincangan (via telepon) antar para delegasi itu berlangsung dengan baik, dan kita harapkan itu yang terjadi, dan jika kita bisa menyetujui pembaruan negosiasi dagang yang substantif, maka kami berencana mengundang China ke AS dan bertemu dengan delegasi kami untuk melanjutkan negosiasi dan perundingan," kata Kudlow, dilansir dari Bloomberg.

Pada hari ini, ada sentimen positif lainnya terkait perang dagang AS-China yakni AS memutuskan untuk memperpanjang izin sementara yang diberikan kepada Huawei untuk membeli beberapa komponen dari produsen asal AS. Perpanjangan tersebut diberikan selama 90 hari.

Seperti yang diketahui, pada bulan Mei Trump mendeklarasikan kondisi darurat nasional di sektor teknologi melalui sebuah perintah eksekutif. Dengan aturan itu, Menteri Perdagangan Wilbur Ross menjadi memiliki wewenang untuk memblokir transaksi dalam bidang teknologi informasi atau komunikasi yang menimbulkan risiko bagi keamanan nasional AS.

Bersamaan kebijakan ini, Huawei Technologies dan 70 entitas terafiliasi dimasukkan ke dalam daftar perusahaan yang dilarang membeli perangkat dan komponen dari perusahaan AS tanpa persetujuan pemerintah.

Tak lama berselang, pemerintah AS memberikan kelonggaran bagi Huawei untuk membeli beberapa komponen asal AS, sebuah langkah yang dimaksudkan untuk meminimalisir dampak yang dirasakan konsumen AS.

Kini, AS kembali melunak dengan memperpanjang kelonggaran yang mereka berikan kepada Huawei. Padahal pada hari Minggu, Trump memberi sinyal bahwa pelonggaran kepada Huawei tak akan diperpanjang.

LANJUT KE HALAMAN 2>>

Dari dalam negeri, sejatinya ada sentimen positif dari racikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2020.

Sama halnya dengan tahun-tahun sebelumnya, menjelang peringatan hari kemerdekaan yang jatuh pada tanggal 17 Agustus, presiden berbicara di depan hadapan anggota parlemen mengenai postur RAPBN tahun berikutnya.


Pada hari Jumat (16/8/2019), Presiden Joko Widodo (Jokowi) melakukan hal serupa. Dirinya menjabarkan RAPBN untuk tahun 2020 atau tahun pertama di periode keduanya sebagai pemegang takhta kekuasaan tertinggi di Indonesia.

Di dalam RAPBN tahun 2020 yang tentunya disusun bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Jokowi mematok target pertumbuhan ekonomi di level 5,3%. Jika terealisasi, maka akan menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2013.



Untuk diketahui, pada saat ini perekonomian global sedang berada dalam kondisi yang sangat sulit.

Hingga kini, perang dagang AS-China belum juga bisa diselesaikan, walaupun sejatinya ada perkembangan yang positif. Perang dagang antar dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi tersebut sudah berlangsung selama lebih dari setahun.

Kala dua negara dengan nilai perekonomian terbesar di planet bumi saling balas-membalas bea masuk, dampaknya sudah bisa diprediksi: perekonomian global akan mendapatkan tekanan yang signifikan dan itulah yang terjadi saat ini.

Pada tahun 2018 dan 2019, perang dagang AS-China membawa perekonomian global meredup. Pada tahun 2017, International Monetary Fund (IMF) mencatat pertumbuhan ekonomi global melonjak menjadi 3,789%, dari yang sebelumnya 3,372% pada tahun 2016, sekaligus menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2011.

Pada tahun 2018, pertumbuhan ekonomi global melandai menjadi 3,598%. Untuk tahun 2019, IMF memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akan kembali melandai menjadi 3,328%.

Jika terealisasi, maka akan menandai laju pertumbuhan ekonomi terburuk sejak tahun 2009 kala perekonomian global justru terkontraksi sebesar 0,107% akibat krisis keuangan global.





Walaupun kondisi eksternal sedang sulit, Jokowi ternyata berani memasang badan untuk mematok target pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Pengendalian inflasi menjadi kunci dibalik keberanian Jokowi memasang target pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dalam RAPBN 2020, inflasi dipatok di level 3,1%, sama dengan outlook untuk tahun ini.

Sepanjang periode pertama pemerintahan Jokowi, salah satu capaiannya yang impresif adalah pengendalian inflasi.

Pada periode satu pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), secara rata-rata inflasi berada di level 8,49%. Pada periode dua SBY, rata-ratanya memang turun namun masih berada di level yang tinggi, yakni 6,17%.

Beralih ke periode satu Jokowi, secara rata-rata inflasi bertengger di level 3,24%. Di era Jokowi, tak sekalipun inflasi melampaui level 4%.



Inflasi memang merupakan variabel yang sangat penting yang harus dijaga jika ingin pertumbuhan ekoomi berada di level yang tinggi. Pasalnya, lebih dari 50% perekonomian Indonesia disumbang oleh konsumsi rumah tangga.

Kala tekanan harga kelewat tinggi, masyarakat akan cenderung menahan konsumsinya sehingga pertumbuhan ekonomi bisa terhambat.

Racikan RAPBN 2020 yang disusun oleh Jokowi dan Sri Mulyani sukses menanamkan optimisme di benak pelaku pasar dan mendorong mereka untuk kembali melakukan aksi beli di bursa saham tanah air pada sesi awal perdagangan.

Namun seiring berjalannya waktu, aksi ambil untung lebih dominan dalam mendikte pergerakan IHSG. Untuk diketahui, pada hari Jumat dan Senin (19/8/2019), IHSG membukukan penguatan masing-masing sebesar 0,46% dan 0,16%.

LANJUT KE HALAMAN 3>>


Selain aksi ambil untung, IHSG juga terkoreksi seiring dengan gelaran Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang membuat grogi.

Pada hari Rabu dan Kamis (21-22 Agustus), BI dijadwalkan menggelar RDG guna menentukan tingkat suku bunga acuan terbarunya. Keputusan terkait dengan tingkat suku bunga acuan terbaru akan diumumkan pada hari Kamis (22/8/2019).

Konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia memperkirakan bahwa BI akan menahan tingkat suku bunga acuan alias 7-Day Reverse Repo Rate di level 5,75%. Dari 12 ekonomi yang kami survei, hanya terdapat empat yang memperkirakan akan ada pemangkasan, yakni sebesar 25 basis poin (bps).


Sekadar mengingatkan, pascamenggelar RDG selama 2 hari pada pertengahan bulan lalu, BI mengumumkan pemangkasan 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25bps, dari 6% ke level 5,75%.

Pemangkasan tersebut terbilang historis lantaran menandai pemangkasan tingkat suku bunga acuan pertama sejak September 2017. Pada tahun 2018, tingkat suku bunga acuan dikerek naik oleh BI sebesar 175 bps.


Kini, para ekonom justru memproyeksikan bahwa BI akan menginjak rem dengan menahan tingkat suku bunga acuan, walaupun analisis kami menunjukkan bahwa BI akan memangkas tingkat suku bunga acuan, minimal 25 bps.  


Saat ini, perekonomian Indonesia jelas membutuhkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan. Saat ini perekonomian Indonesia sedang lesu, kurang bergairah.

Pada awal bulan ini, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis angka pertumbuhan ekonomi periode kuartal II-2019. Sepanjang tiga bulan kedua tahun 2019, BPS mencatat perekonomian hanya tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY), jauh melambat dibandingkan capaian kuartal II-2018 kala perekonomian mampu tumbuh sebesar 5,27%.

Pertumbuhan ekonomi pada tiga bulan kedua tahun 2019 juga melambat jika dibandingkan capaian pada kuartal I-2019 yang sebesar 5,07%. Untuk periode semester I-2019, perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,06% YoY.


Padahal, pada tiga bulan kedua tahun ini ada gelaran pemilihan umum (Pemilu) dan kehadiran bulan Ramadan yang diharapkan bisa mendongkrak konsumsi dan pertumbuhan ekonomi secara umum. Kenyataannya, perekonomian Indonesia tetap saja loyo.

Jelas dibutuhkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut guna merangsang laju perekonomian tanah air. Kala tingkat suku bunga acuan dipangkas lebih lanjut, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi.

Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.

Bermain aman sembari menantikan hasil RDG BI, pelaku pasar melepas kepemilikannya atas saham-saham di tanah air.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular