Ini Alasan Sektor Properti Belum Pulih: Banyak Aturan!

Market - Monica Wareza, CNBC Indonesia
19 August 2019 16:32
Sektor properti di Indonesia dalam tren terus tumbuh melambat dalam beberapa tahun terakhir. Foto: Ilustrasi Gedung (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Sektor properti di Indonesia dalam tren terus tumbuh melambat dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan pertumbuhannya di bawah pertumbuhan ekonomi. Tahun ini, sektor properti diperkirakan masih akan stagnan seiring dengan makin banyaknya regulasi yang diterbitkan dan dinilai mempersulit bertumbuhnya sektor ini.

Direktur Pengembangan Bisnis PT Pakuwon Jati Tbk. (PWON) Ivy Wong mengatakan kelesuan di industri properti saat ini masih belum teratasi, sehingga sektor ini diperkirakan masih akan stagnan. Namun, bukannya diberikan insentif untuk mendorong pertumbuhan malah makin banyak regulasi baru yang muncul.

"Banyak aturan baru yang keluar jadi kita merasa belum akan bagus atau gimana. Sementara masih sama aja, agak slow. Banyak aturan, banyak sekali [aturan] pertanahan lagi mau dibicarakan, pajak yang baru. Jadi ada banyak regulasi yang akan dikeluarkan," kata Ivy kepada CNBC Indonesia, Senin (19/8/2019).


Dia menyebutkan, perlambatan di industri properti sudah terjadi sejak 2015. Ketika itu pemerintah mengeluarkan regulasi-regulasi yang ketat dengan tujuan agar harga properti tak mengalami kenaikan. Namun, hal ini justru membuat industri properti stagnan hingga saat ini.

"Kalau dari 2015 itu pemerintah tekan supaya harga properti jangan naik lagi tapi sekarang kan aturan jadi lebih ribet lagi. [Ada aturan] PPnBM, taxation lainnya, semuanya diluncurkan. LTV [Loan to Value], tax amnesty. Setelah itu pasar hancur," jelasnya.

Dalam Tinjauan Ekonomi, Keuangan dan Fiskal terbitan Badan Kebijakan Fiskal (BKF), disebutkan sektor properti masih mengalami penurunan sejak tahun 2018 meski telah diberikan insentif oleh bank sentral.

Insentif tersebut untuk memicu kembali pergerakan sektor properti melalui relaksasi kebijakan rasio kredit terhadap nilai atau Loan to Value (LTV) di sektor properti yang mulai berlaku pada awal Agustus 2018.

Lemahnya sektor properti 
tercermin dari empat emiten di sektor properti yaitu PT Ciputra Development Tbk (CTRA), PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE), PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI), dan PT Summarecon Agung Tbk (SMRA) yang secara total mencatatkan pre-sales sebesar Rp 20,3 triliun atau turun 1,8% year-on-year (yoy) dari pre-sales di tahun sebelumnya yang sebesar Rp 20,7 triliun.

Kepala BKF Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Suahasil Nazara, dalam paparan APBN 2019 di kantor Kemenkeu, mengatakan pertumbuhan sektor properti pada 2018 hanya tumbuh 3,58% atau di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.

Sejak 2015, pertumbuhan sektor properti selalu lebih rendah dibandingkan geliat ekonomi. Bahkan kontribusi sektor properti terhadap ekonomi selama lima tahun terakhir selalu di bawah 3%.

"Ini cukup mengkhawatirkan," kata Suahasil, Jumat (21/6/2019).

Pemerintah pun mengeluarkan beberapa kebijakan untuk sektor properti antara lain, yakni peningkatan batas tidak kena pajak pertambahan nilai (PPN) untuk rumah sederhana berdasarkan daerah masing-masing.

Batas tidak kena pajak PPN untuk rumah sederhana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 113/PMK.03/2014. Selain itu, tarif pajak penghasilan (PPh) pasal 22 hunian mewah pun akan diturunkan dari 5% menjadi 1%. Validasi PPh penjualan tanah, juga akan disederhanakan oleh pemerintah.

Tak berhenti di situ, rumah mewah di bawah Rp 30 miliar pun bebas pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Sebelumnya, batasan tersebut berada di kisaran Rp 5 miliar sampai dengan Rp 10 miliar.

Simak prospek permintaan properti 2019.

[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

Ekspansi Bisnis, Pakuwon Jati Akuisisi Properti Undervalue


(tas)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading