Sangkakala Sudah Ditiup, AS Akan Masuk Jurang Resesi?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
15 August 2019 15:21
Sangkakala Sudah Ditiup, AS Akan Masuk Jurang Resesi?
Foto: Malaikat (Designed by Freepik)
Jakarta, CNBC Indonesia - Aksi jual dengan intensitas yang sangat besar (sell-off) melanda pasar saham AS alias Wall Street pada perdagangan kemarin (14/8/2019). Indeks Dow Jones ambruk 3,05% ke level 25479.42, menandai koreksi terdalam secara persentase yang dibukukan indeks tersebut pada tahun 2019, serta menandai koreksi terdalam secara poin yang keempat sepanjang sejarah. Sementara itu, indeks S&P 500 jatuh 2,93% ke level 2.840,6 dan indeks Nasdaq Composite anjlok 3,02% ke level 7.773,94.

Sell-off pun merambah ke pasar saham tanah air. Hingga berita ini diturunkan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,74% ke level 6.220,74.

Penyebab dari sell-off tersebut adalah pergerakan di pasar obligasi AS. Pada perdagangan kemarin, imbal hasil (yield) obligasi AS tenor 2 tahun sempat melampaui yield obligasi AS tenor 10 tahun. Fenomena ini disebut sebagai inversi. Pada penutupan perdagangan kemarin, inversi sudah tak terjadi. Namun pada hari ini, inversi kembali terjadi. Inversi yang terjadi kemarin menjadi yang pertama sejak siklus inversi pada akhir 2015 silam.

Melansir data dari Refinitiv, yield obligasi tenor 2 tahun pada hari ini berada di level 1,5649%, sementara yield obligasi tenor 10 tahun berada di level 1,5606%. Yield obligasi tenor 2 tahun mengungguli tenor 10 tahun sebesar 0,4 basis poin (bps).


Untuk diketahui, inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek. Terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi.

Inversi di pasar obligasi AS menjadi hal yang krusial bagi pasar keuangan dunia lantaran terjadinya inversi merupakan sinyal dari terjadinya resesi di AS di masa depan. Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Sejatinya, inversi di pasar obligasi AS juga terjadi belum lama ini, namun melibatkan tenor yang berbeda dari saat ini (2 tahun dan 10 tahun). Pada tanggal 3 Desember 2018, terjadi inversi pada tenor 3 dan 5 tahun. Melansir data dari Refinitiv, pada penutupan perdagangan tanggal 3 Desember 2018, yield obligasi AS tenor 3 tahun berada di level 2,844%, sementara untuk tenor 5 tahun berada di level 2,839%.

Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada tenor 3 dan 5 tahun. Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam 3 resesi terakhir, inversi pertama pada tenor 3 dan 5 tahun datang rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi terjadi.

Namun, konfirmasi datang atau tidaknya resesi baru akan datang jika terjadi inversi pada tenor 3 bulan dan 10 tahun. Pasalnya, inversi pada tenor 3 dan 5 tahun selalu diikuti oleh inversi pada tenor 3 bulan dan 10 tahun terlebih dahulu sebelum resesi benar-benar terjadi.

Pada Maret 2019, obligasi AS tenor 3 bulan dan 10 tahun pada akhirnya mengalami inversi. Melansir data dari Refinitiv, pada penutupan perdagangan tanggal 22 Maret 2019, yield obligasi AS tenor 3 bulan berada di level 2,462%, sementara untuk tenor 10 tahun berada di level 2,455%.

BERLANJUT KE HALAMAN 2
Namun, yang membuat inversi obligasi AS tenor 2 dan 10 tahun spesial adalah: terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi.

Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.

Berbicara mengenai resesi, seperti yang sudah disebutkan di halaman sebelumnya, sebuah perekonomian sudah bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Ini berarti, pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan tahun berjalan tak perlu sampai negatif bagi sebuah negara untuk dikategorikan mengalami resesi. Lantas, peluang AS untuk mengalami resesi memang terbuka.

Pasalnya, pada tahun lalu perekonomian AS sudah mencatat pertumbuhan yang begitu signifikan. Berdasarkan data dari International Monetary Fund (IMF), perekonomian AS tumbuh hingga 2,857% pada tahun 2018, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.

Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2018 yang sebesar 2,857% tersebut merupakan yang tertinggi kedua dalam 10 tahun.  Nilai perekonomian yang sudah tinggi (high-base), ditambah dengan perang dagang AS-China yang tak kunjung usai, memang berpotensi besar menyeret AS ke jurang resesi.

Wajar jika pelaku pasar saham dunia melakukan aksi jual secara besar-besaran (sell-off). Kala AS selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia mengalami resesi, perekonomian global juga akan mendapatkan tekanan yang signifikan.

Untuk diketahui, bahkan sebelum obligasi AS tenor 2 dan 10 tahun mengalami inversi, model dari The Federal Reserve selaku bank sentral AS sudah menunjukkan adanya probabilitas sebesar 31,5% bahwa AS akan mengalami resesi dalam 12 bulan ke depan.

Probabilitas tersebut lebih tinggi ketimbang posisi Juli 2007 atau menjelang krisis keuangan global melanda. Jadi, resesi di negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut memang merupakan sebuah skenario yang sangat-sangat mungkin terjadi dan harus diantisipasi oleh pelaku pasar. TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular