
Sangkakala Sudah Ditiup, AS Akan Masuk Jurang Resesi?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
15 August 2019 15:21

Namun, yang membuat inversi obligasi AS tenor 2 dan 10 tahun spesial adalah: terhitung sejak tahun 1978, telah terjadi 5 kali inversi antara tenor 2 dan 10 tahun, semuanya berujung pada resesi.
Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.
Berbicara mengenai resesi, seperti yang sudah disebutkan di halaman sebelumnya, sebuah perekonomian sudah bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Ini berarti, pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan tahun berjalan tak perlu sampai negatif bagi sebuah negara untuk dikategorikan mengalami resesi. Lantas, peluang AS untuk mengalami resesi memang terbuka.
Pasalnya, pada tahun lalu perekonomian AS sudah mencatat pertumbuhan yang begitu signifikan. Berdasarkan data dari International Monetary Fund (IMF), perekonomian AS tumbuh hingga 2,857% pada tahun 2018, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2018 yang sebesar 2,857% tersebut merupakan yang tertinggi kedua dalam 10 tahun. Nilai perekonomian yang sudah tinggi (high-base), ditambah dengan perang dagang AS-China yang tak kunjung usai, memang berpotensi besar menyeret AS ke jurang resesi.
Wajar jika pelaku pasar saham dunia melakukan aksi jual secara besar-besaran (sell-off). Kala AS selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia mengalami resesi, perekonomian global juga akan mendapatkan tekanan yang signifikan.
Untuk diketahui, bahkan sebelum obligasi AS tenor 2 dan 10 tahun mengalami inversi, model dari The Federal Reserve selaku bank sentral AS sudah menunjukkan adanya probabilitas sebesar 31,5% bahwa AS akan mengalami resesi dalam 12 bulan ke depan.
Probabilitas tersebut lebih tinggi ketimbang posisi Juli 2007 atau menjelang krisis keuangan global melanda. Jadi, resesi di negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut memang merupakan sebuah skenario yang sangat-sangat mungkin terjadi dan harus diantisipasi oleh pelaku pasar. TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)
Berdasarkan data dari Credit Suisse yang kami lansir dari CNBC International, secara rata-rata terdapat jeda waktu selama 22 bulan semenjak terjadinya inversi hingga resesi.
Berbicara mengenai resesi, seperti yang sudah disebutkan di halaman sebelumnya, sebuah perekonomian sudah bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Pasalnya, pada tahun lalu perekonomian AS sudah mencatat pertumbuhan yang begitu signifikan. Berdasarkan data dari International Monetary Fund (IMF), perekonomian AS tumbuh hingga 2,857% pada tahun 2018, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi sejak tahun 2015.
Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2018 yang sebesar 2,857% tersebut merupakan yang tertinggi kedua dalam 10 tahun. Nilai perekonomian yang sudah tinggi (high-base), ditambah dengan perang dagang AS-China yang tak kunjung usai, memang berpotensi besar menyeret AS ke jurang resesi.
Wajar jika pelaku pasar saham dunia melakukan aksi jual secara besar-besaran (sell-off). Kala AS selaku negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia mengalami resesi, perekonomian global juga akan mendapatkan tekanan yang signifikan.
Untuk diketahui, bahkan sebelum obligasi AS tenor 2 dan 10 tahun mengalami inversi, model dari The Federal Reserve selaku bank sentral AS sudah menunjukkan adanya probabilitas sebesar 31,5% bahwa AS akan mengalami resesi dalam 12 bulan ke depan.
Probabilitas tersebut lebih tinggi ketimbang posisi Juli 2007 atau menjelang krisis keuangan global melanda. Jadi, resesi di negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut memang merupakan sebuah skenario yang sangat-sangat mungkin terjadi dan harus diantisipasi oleh pelaku pasar. TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)
Pages
Most Popular