Fiuh.. AS Diyakini Tak Masuk Jurang Resesi, Ini Alasannya

Herdaru Purnomo & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 April 2019 10:03
Fiuh.. AS Diyakini Tak Masuk Jurang Resesi, Ini Alasannya
Foto: REUTERS / Mike Segar
Jakarta, CNBC Indonesia - Kekhawatiran mengenai datangnya resesi di negara dengan perekonomian terbesar di dunia yaitu Amerika Serikat (AS) menjadi salah satu tema utama yang mewarnai pergerakan pasar keuangan dunia dalam beberapa waktu terakhir.

Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Sinyal datangnya resesi di Negeri Paman Sam datang dari pergerakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS yang menunjukkan adanya inversi. Pada tanggal 22 Maret lalu, terjadi inversi pada obligasi AS tenor 3 bulan dan 10 tahun.

Inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.

Melansir data dari Refinitiv, pada penutupan perdagangan tanggal 22 Maret 2019, yield obligasi AS tenor 3 bulan berada di level 2,462%, sementara untuk tenor 10 tahun berada di level 2,455%. Yield obligasi tenor 3 bulan lantas lebih tinggi sebesar 0,7 bps ketimbang tenor 10 tahun.

Inversi pada tenor 3 bulan dan 10 tahun merupakan konfirmasi dari potensi datangnya resesi di AS. Pasalnya dalam 3 resesi terkahir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada tenor 3 bulan dan 10 tahun yang sebelumnya didahului inversi pada tenor 3 dan 5 tahun. Berbicara mengenai inversi pada tenor 3 dan 5 tahun, hal ini sudah terjadi pada 3 Desember 2018 silam.

Namun kini, pelaku pasar nampaknya optimistis bahwa resesi tak akan menghampiri AS. Pasalnya dalam beberapa waktu terakhir, tepatnya semenjak 29 Maret, inversi pada obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun sudah tak lagi terjadi.

Per akhir perdagangan hari Jumat (5/4/2019), yield obligasi tenor 3 bulan berada di level 2,434%, sementara untuk tenor 10 tahun berada di level 2,499%. Yield obligasi tenor 3 bulan adalah lebih rendah sebesar 6,5 bps ketimbang tenor 10 tahun.

Optimisme bahwa AS tak akan masuk ke jurang resesi salah satunya datang dari rilis data tenaga kerja pada hari Jumat lalu yang terbilang oke.

Sepanjang Maret 2019, data resmi pemerintah AS menunjukkan bahwa tercipta sebanyak 196.000 lapangan kerja di luar sektor pertanian, mengalahkan konsensus yang sebanyak 172.000, seperti dilansir dari Forex Factory.

Sebagai informasi, pada Februari 2019 pemerintah AS mencatat hanya tercipta 20.000 lapangan kerja di luar sektor pertanian, jauh di bawah ekspektasi yang sebanyak 180.000, seperti dilansir dari Forex Factory.

Seiring dengan kuatnya penciptaan lapangan kerja, tingkat pengangguran per akhir Maret bisa dijaga di level 3,8%, tak jauh dari level terendah dalam 1 dekade terakhir yang sebesar 3,7%.

Dengan ekspektasi saat ini bahwa resesi tak akan menghampiri AS, ada peluang bahwa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), rupiah, dan obligasi pemerintah Indonesia bisa membukukan penguatan pada pekan depan. Hal ini bisa terjadi lantaran investor berpotensi masuk ke instrumen berisiko dan bukan safe haven seperti dolar AS.


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular