
Terpapar Ancaman Resesi, Harga Batu Bara Terjerembab
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
15 August 2019 11:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara anjlok parah setelah terpapar ancaman resesi ekonomi global. Rilis data ekonomi yang buruk dari beberapa negara besar membuat risiko perekonomian semakin nyata.
Pada penutupan sesi perdagangan Rabu kemarin (14/8/2019), harga batu bara Newcastle kontrak pengiriman September amblas 1,86% menjadi US$ 68,6/metrik ton. Ini merupakan posisi terendah sejak 28 Juni 2019 atau lebih dari satu bulan yang lalu.
Sehari sebelumnya, harga batu bara menguat tipis sebesar 0,43%.
Kemarin, produksi industri China periode Juli tercatat tumbuh 4,8% year-on-year (YoY). Jauh melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 6,3% dan merupakan laju terlemah sejak Februari 2002.
Sementara penjualan ritel di Negeri Tirai Bambu pada Juli tumbuh 7,6% YoY, melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang naik 9,8% YoY. Kemudian penjualan mobil di China pada Juli turun 2,6% YoY, padahal bulan sebelumnya melonjak 17,2% YoY.
Tak berhenti sampai di situ, pertumbuhan ekonomi Jerman pada kuartal II-2019 hanya sebesar 0,4% YoY. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 0,9% YoY.
Jerman adalah perekonomian terbesar di Eropa, perlambatan ekonomi di sana akan mempengaruhi satu benua. Terbukti pada kuartal II-2019 ekonomi Zona Euro tumbuh 1,1% YoY, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 1,2% YoY.
Nasib perang dagang AS-China masih tak pasti. Memang sudah ada kabar baik dimana delegasi kedua negara akan kembali melakukan dialog melalui sabungan telepon dua minggu lagi.
Namun tetap saja, banyak pihak pesimis kesepakatan dapat dibuat dalam waktu dekat.
Bila perang dagang terus berlarut-larut dan bahkan semakin panas, maka perekonomian global akan terus tertekan. Ini bisa terjadi karena AS dan China merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia, yang sangat mempengaruhi rantai pasokan global.
Di sisi lain, investor juga melihat terjadinya inversi pada imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS jangka pendek dan jangka panjang.
Pada dini hari tadi, yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun ada di level 1,974%. Sementara yield obligasi tenor 10 tahun sebesar 1,5826%. Dari data tersebut terlihat bahwa yield obligasi jangka pendek (2 tahun) lebih tinggi ketimbang jangka panjang (10 tahun), atau biasa disebut dengan inversi.
Ini adalah inversi pertama untuk dua tenor tersebut sejak Juni 2007. Pelaku pasar membaca fenomena tersebut sebagai sinyal-sinyal resesi. Benar saja, tidak lama berselang, tepatnya pada tahun 2008, terjadi krisis keuangan global.
Resesi ekonomi tentu bukan berita baik di pasar batu bara global. Resesi akan memicu perlambatan permintaan energi, termasuk batu bara.
Tak ayal, investor banyak melakukan aksi jual kontrak pembelian batu bara dan membuat harganya tertekan sangat dalam.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/tas) Next Article Telisik Penyebab Harga Batu Bara Tak Lagi Membara
Pada penutupan sesi perdagangan Rabu kemarin (14/8/2019), harga batu bara Newcastle kontrak pengiriman September amblas 1,86% menjadi US$ 68,6/metrik ton. Ini merupakan posisi terendah sejak 28 Juni 2019 atau lebih dari satu bulan yang lalu.
Sehari sebelumnya, harga batu bara menguat tipis sebesar 0,43%.
Kemarin, produksi industri China periode Juli tercatat tumbuh 4,8% year-on-year (YoY). Jauh melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 6,3% dan merupakan laju terlemah sejak Februari 2002.
Sementara penjualan ritel di Negeri Tirai Bambu pada Juli tumbuh 7,6% YoY, melambat dibandingkan bulan sebelumnya yang naik 9,8% YoY. Kemudian penjualan mobil di China pada Juli turun 2,6% YoY, padahal bulan sebelumnya melonjak 17,2% YoY.
Tak berhenti sampai di situ, pertumbuhan ekonomi Jerman pada kuartal II-2019 hanya sebesar 0,4% YoY. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 0,9% YoY.
![]() |
Jerman adalah perekonomian terbesar di Eropa, perlambatan ekonomi di sana akan mempengaruhi satu benua. Terbukti pada kuartal II-2019 ekonomi Zona Euro tumbuh 1,1% YoY, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 1,2% YoY.
Nasib perang dagang AS-China masih tak pasti. Memang sudah ada kabar baik dimana delegasi kedua negara akan kembali melakukan dialog melalui sabungan telepon dua minggu lagi.
Namun tetap saja, banyak pihak pesimis kesepakatan dapat dibuat dalam waktu dekat.
Bila perang dagang terus berlarut-larut dan bahkan semakin panas, maka perekonomian global akan terus tertekan. Ini bisa terjadi karena AS dan China merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia, yang sangat mempengaruhi rantai pasokan global.
Di sisi lain, investor juga melihat terjadinya inversi pada imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS jangka pendek dan jangka panjang.
Pada dini hari tadi, yield obligasi pemerintah AS tenor 2 tahun ada di level 1,974%. Sementara yield obligasi tenor 10 tahun sebesar 1,5826%. Dari data tersebut terlihat bahwa yield obligasi jangka pendek (2 tahun) lebih tinggi ketimbang jangka panjang (10 tahun), atau biasa disebut dengan inversi.
Ini adalah inversi pertama untuk dua tenor tersebut sejak Juni 2007. Pelaku pasar membaca fenomena tersebut sebagai sinyal-sinyal resesi. Benar saja, tidak lama berselang, tepatnya pada tahun 2008, terjadi krisis keuangan global.
Resesi ekonomi tentu bukan berita baik di pasar batu bara global. Resesi akan memicu perlambatan permintaan energi, termasuk batu bara.
Tak ayal, investor banyak melakukan aksi jual kontrak pembelian batu bara dan membuat harganya tertekan sangat dalam.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/tas) Next Article Telisik Penyebab Harga Batu Bara Tak Lagi Membara
Most Popular