
OJK Keluarkan Aturan Kurangi Goreng Saham, Ini Bocorannya
Monica Wareza, CNBC Indonesia
14 August 2019 14:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan mewajibkan sistem penawaran efek secara elektronik yang mulai diterapkan pada 1 Januari 2020 mendatang. Efek yang dimaksud mencakup saham dan efek bersifat utang termasuk sukuk.
Dalam beleid ini, disebutkan bahwa tujuan penerapan sistem eketronik ini lantaran proses penawaran umum terutama untuk efek bersifat ekuitas dalam proses penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) tak terdistribusi dengan rata.
Meskipun jumlah Emiten yang melakukan IPO cenderung meningkat, namun terjadi penurunan jumlah investor dan perusahaan efek yang berpartisipasi dalam IPO tersebut.
"Model bisnis pelaksanaan IPO yang ada saat ini diindikasikan kurang mendukung perbaikan peningkatan partisipasi pemodal dan Perusahaan Efek," tulis beleid tersebut.
Berdasarkan Draft Rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (ROPJK) tentang Pelaksanaan Penawaran Awal, Penawaran, Penjatahan dan Distribusi Efek Bersifat Ekuitas, Efek Bersifat Utang dan/atau Sukuk Secara Elektronis ini nantinya investor ritel dan institusi akan mendapatkan jatahnya masing-masing dengan harga yang wajar ketika efek tersebut diterbitkan.
Setelah ditetapkan OJK, maka seluruh penawaran umum dari efek yang dimaksud wajib menggunakan aturan baru ini. Penawaran umum ini meliputi proses penawaran awal (bookbulding), penawaran, penjatahan dan penyelesaian pemesanan efek kepada investor yang terlibat.
Adapun OJK juga akan membatasi jumlah pemesanan yang dapat dilakukan oleh investor ritel dengan nilai maksimal sebesar Rp 100 juta/investor.
Lebih lanjut, sebagai turunan dari aturan tersebut, OJK juga akan menerbitkan Surat Edaran OJK Tentang Penerapan Penawaran Awal, Penawaran, Penjatahhan dan Distribusi Efek Bersifat Ekuitas Berupa Saham Secara Elektronik.
Dalam draft surat edaran ini, OJK menggolongkan perusahaan yang melakukan IPO dalam lima kelompok berdasarkan nilai penawaran umum (proceed) yang diperoleh perusahaan dalam aksi korporasi ini.
Untuk golongan I merupakan perusahaan dengan jumlah proceed maksimal Rp 100 miliar. Golongan II yakni untuk emiten dengan dana perolehan kisaran Rp 100 miliar-Rp 250 miliar.
Selanjutnya, golongan III yakni untuk perusahaan dengan dana perolehan sekitar Rp 250 miliar-Rp 500 miliar. Untuk golongan IV adalah untuk emiten dengan dana perolehan IPO senilai Rp 500 miliar-Rp 1 triliun.
Terakhir untuk emiten jumbo dengan perolehan dana di atas Rp 1 triliun, perusahaan ini masuk kelompok emiten golongan V.
Pengelompokkan emiten ini ditujukan untuk mengatur alokasi efek saham yang akan dijatahkakan untuk investor ritel.
Golongan I diwajibkan paling sedikit mendapatkan jatah sebesar 15% dari penawaran umum, sedang golongan II paling sedikit 10% dari total efek yang ditawarkan atau minimal senilai Rp 15 miliar dari total nilai efek.
Di golongan III, jatah minimal yang dapat diperoleh oleh investor ritel adalah sebesar 7,5% atau senilai Rp 25 miliar. Golongan IV mendapatkan penjatahan unutk ritel sebesar 5% dari jumlah efek atau minimal senilai Rp 37,50 miliar.
Terakhir, emiten jumbo di golongan V wajib menjatahkan untuk investor ritel sebesar 2,5% dari jumlah efek atau paling sedikit Rp 50 miliar.
Meski demikian, dalam hal terjadi kelebihan permintaan untuk pemesanan ritel ini maka surat edaran ini juga memberikan keleluasaan kepada investor ritel untuk memperoleh jatah yang lebih besar.
Selengkapnya dalam tabel berikut:
(hps/hps) Next Article OJK: Praktik "Goreng Saham" Tidak Bisa Hilang 100%
Dalam beleid ini, disebutkan bahwa tujuan penerapan sistem eketronik ini lantaran proses penawaran umum terutama untuk efek bersifat ekuitas dalam proses penawaran umum saham perdana (initial public offering/IPO) tak terdistribusi dengan rata.
Meskipun jumlah Emiten yang melakukan IPO cenderung meningkat, namun terjadi penurunan jumlah investor dan perusahaan efek yang berpartisipasi dalam IPO tersebut.
"Model bisnis pelaksanaan IPO yang ada saat ini diindikasikan kurang mendukung perbaikan peningkatan partisipasi pemodal dan Perusahaan Efek," tulis beleid tersebut.
Setelah ditetapkan OJK, maka seluruh penawaran umum dari efek yang dimaksud wajib menggunakan aturan baru ini. Penawaran umum ini meliputi proses penawaran awal (bookbulding), penawaran, penjatahan dan penyelesaian pemesanan efek kepada investor yang terlibat.
Adapun OJK juga akan membatasi jumlah pemesanan yang dapat dilakukan oleh investor ritel dengan nilai maksimal sebesar Rp 100 juta/investor.
Lebih lanjut, sebagai turunan dari aturan tersebut, OJK juga akan menerbitkan Surat Edaran OJK Tentang Penerapan Penawaran Awal, Penawaran, Penjatahhan dan Distribusi Efek Bersifat Ekuitas Berupa Saham Secara Elektronik.
Dalam draft surat edaran ini, OJK menggolongkan perusahaan yang melakukan IPO dalam lima kelompok berdasarkan nilai penawaran umum (proceed) yang diperoleh perusahaan dalam aksi korporasi ini.
Untuk golongan I merupakan perusahaan dengan jumlah proceed maksimal Rp 100 miliar. Golongan II yakni untuk emiten dengan dana perolehan kisaran Rp 100 miliar-Rp 250 miliar.
Selanjutnya, golongan III yakni untuk perusahaan dengan dana perolehan sekitar Rp 250 miliar-Rp 500 miliar. Untuk golongan IV adalah untuk emiten dengan dana perolehan IPO senilai Rp 500 miliar-Rp 1 triliun.
Terakhir untuk emiten jumbo dengan perolehan dana di atas Rp 1 triliun, perusahaan ini masuk kelompok emiten golongan V.
Pengelompokkan emiten ini ditujukan untuk mengatur alokasi efek saham yang akan dijatahkakan untuk investor ritel.
Golongan I diwajibkan paling sedikit mendapatkan jatah sebesar 15% dari penawaran umum, sedang golongan II paling sedikit 10% dari total efek yang ditawarkan atau minimal senilai Rp 15 miliar dari total nilai efek.
Di golongan III, jatah minimal yang dapat diperoleh oleh investor ritel adalah sebesar 7,5% atau senilai Rp 25 miliar. Golongan IV mendapatkan penjatahan unutk ritel sebesar 5% dari jumlah efek atau minimal senilai Rp 37,50 miliar.
Terakhir, emiten jumbo di golongan V wajib menjatahkan untuk investor ritel sebesar 2,5% dari jumlah efek atau paling sedikit Rp 50 miliar.
Meski demikian, dalam hal terjadi kelebihan permintaan untuk pemesanan ritel ini maka surat edaran ini juga memberikan keleluasaan kepada investor ritel untuk memperoleh jatah yang lebih besar.
Selengkapnya dalam tabel berikut:
![]() |
(hps/hps) Next Article OJK: Praktik "Goreng Saham" Tidak Bisa Hilang 100%
Most Popular