Asa Damai Dagang Semerbak, IHSG Anteng di Zona Hijau

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
08 August 2019 12:50
Asa Damai Dagang Semerbak, IHSG Anteng di Zona Hijau
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pada akhir penutupan sesi I, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih anteng di zona hijau dengan ditutup menguat 0,79% menjadi 6.253,42 poin.

Penguatan IHSG sejalan dengan performa mayoritas bursa saham kawasan Asia yang juga bergerak ke utara: indeks Kospi melesat 0,9%, indeks Shanghai menguat 0,91%, indeks Hang Seng naik 0,67%, indeks Nikkei naik 0,43%, sedangkan indeks Straits Times yang satu-satunya mencatatkan nilai negatif dengan turun 0,43%.

Penurunan pada bursa saham utama Singapura disebabkan rilis data penjualan ritel bulan Juni yang jauh lebih rendah dari konsensus pasar. Bulan lalu, penjualan ritel Negeri Singa anjlok 8,9% secara tahunan, berbeda dengan konsensus pasar yang memproyeksi kenaikan 0,2% secara tahunan, dilansir Trading Economics.

Sementara itu, mayoritas bursa saham Benua Kuning mampu menguat seiring dengan asa damai dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.

Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, menyatakan AS masih menantikan kedatangan delegasi China untuk melakukan dialog dagang awal bulan depan.

"Beliau (Presiden Trump) ingin membuat kesepakatan dan melanjutkan negosiasi. Harus ada dua orang untuk menari tango," kata Kudlow dalam wawancara dengan CNBC International.

Kudlow bahkan mengungkapkan niatnya untuk terbuka dalam mengkaji kembali kebijakan bea masuk apabila dialog dagang dengan Negeri Tiongkok berjalan mulus.

"Situasi bisa berubah mengenai kebijakan bea masuk. Bapak Presiden terbuka terhadap perubahan, jika pembicaraan dengan China positif," paparnya.

Garry Locke, mantan Duta Besar AS untuk Negeri Tiongkok periode 2011-2014 bahkan mengatakan AS harus mengalah dan tidak hanya mementingkan kepentingan sendiri karena perseteruan dagang yang berkelanjutan akan semakin menyakiti perekonomian global.

"The Federal Reserve (Bank Sentral AS) memperkirakan bea masuk terhadap produk-produk China akan menyebabkan konsumen di AS mengalami kenaikan harga barang dan jasa rata-rata US$ 1.000. Kenaikan harga seperti ini membuat AS sulit berkompetisi. Oleh karena itu, AS perlu menurunkan tensi ketegangan dan mencapai kesepakatan dengan China," tegas Locke, seperti diberitakan Reuters.

Walaupun resiko bahwa kesepakatan dagang tidak dapat dicapai dalam waktu dekat masih ada, namun setidaknya terdapat harapan hal itu bisa dicapai. Alhasil, kecemasan pelaku pasar perlahan memudar dan kembali berani untuk bertransaksi di aset-aset beresiko, tidak terkecuali bursa saham Tanah Air.

Pada penutupan sesi I, investor asing mencatatkan aksi beli bersih mencapai Rp 97,84 miliar.

(BERLANJUT KE HALAMAN DUA)
Meskipun damai dagang berhasil mendongkrak performa IHSG, akan tetapi pelaku pasar diharapkan tetap waspada karena data ekonomi Indonesia terbaru kurang memuaskan.

Hari ini Bank Indonesia (BI) melaporkan bahwa Indeks Penjualan Riil (IPR) bulan Juni 2019 hanya sebesar 233,6 poin, di mana nilai ini lebih rendah dari capaian Juni 2018 yang sebesar 237,8 poin. Selain itu, ini merupakan kontraksi IPR pertama sejak Januari 2018.

BI menyampaikan bahwa penyebab koreksi IPR bulan Juni dikarenakan normalisasi pola konsumsi masyarakat pasca bulan Ramadhan dan perayaan hari raya Idul Fitri.

Sejatinya, pelemahan IPR sejalan dengan rilis pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal II-2019 yang melambat dibandingkan kuartal I-2019.

Pada kuartal kemarin, Pendapatan Domestik Bruto (PDB) RI atas harga konstan hanya mampu tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan (year-on-year/YoY). Sedangkan pada kuartal pertama, tercatat sebesar 5,07% YoY.

Lebih lanjut, pelaku pasar juga patut mencermati peluang pelemahan rupiah karena besok BI dijadwalkan akan merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2019.

Pos transaksi berjalan akan menjadi sorotan utama, pasalnya BI BI memperkirakan defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada kuartal II-2019 lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya.

Ketika transaksi berjalan defisit, apalagi semakin parah, maka mata uang akan sangat tergantung kepada arus modal di pasar keuangan alias hot money yang bisa datang dan pergi sesuka hati. Ini membuat mata uang lebih rentan berfluktuasi, tidak stabil.

Dengan demikian, bila rupiah bergerak tidak stabil bahkan cenderung melemah, maka berinvestasi pada instrumen berbasis rupiah menjadi kurang menarik.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular