
Analisis
Menguat Lagi, Apakah Emas Menemukan Jalan Pintas Menguat?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
02 August 2019 13:44

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia nyaris menembus ke bawah level psikologis US$ 1.400/troy ounce, tetapi "keajaiban" muncul: logam mulia kembali melesat naik mendekati level tertingginya dalam enam tahun.
Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) yang memangkas suku bunga 25 basis poin (bps) pada Kamis dini hari memberikan tekanan hebat bagi emas. Sebabnya bukan karena pemangkasan tersebut, melainkan karena ketua Gubernur Fed Jerome Powell mengindikasikan tidak akan agresif dalam memangkas suku bunga tahun ini.
Emas merupakan aset tanpa imbal hasil, sehingga semakin rendah suku bunga di AS dan secara global akan memberikan keuntungan yang lebih besar dalam memegang aset ini.
Kini dengan panduan kebijakan pemangkasan yang tidak agresif dari The Fed, begitu juga bank sentral utama dunia yang tidak terlalu dovish, laju kenaikan harga emas sepertinya akan terhenti.
Namun, secara tiba-tiba Presiden AS Donald Trump menaikkan tarif menaikkan bea impor 10% terhadap produk China yang selama ini belum dikenakan tarif. Total nilai produk tersebut sebesar US$ 300 miliar dan mulai berlaku pada September.
Padahal delegasi AS baru saja kembali dari negosiasi dagang di Shanghai, perundingan yang disebut cukup konstruktif oleh kedua belah pihak. Tentunya dibenak para investor kedua negara masih akan mesra meski belum ada kesepakatan dagang.
Akibat kebijakan Trump tersebut babak baru perang dagang bisa dimulai, China bisa saja akan melakukan hal yang serupa. Wang Yi, Penasihat Negara China, menegaskan bahwa ucapan Trump bukan langkah bijak. Ancaman tersebut tidak akan menyelesaikan friksi dagang di antara kedua negara.
"Bea masuk tambahan kepada produk China bukan langkah yang tepat atau konstruktif untuk menyelesaikan perselisihan," tegas Wang di sela-sela pertemuan ASEAN di Thailand, seperti diberitakan Reuters.
Potensi semakin membesarnya perang dagang membuat pasar kembali cemas perekonomian global akan semakin melambat. Dampaknya investor mengalihkan investasinya ke aset-aset safe haven seperti emas.
Belum lagi jika ekonomi global mengalami pelambatan lebih dalam, panduan kebijakan The Fed bisa berubah lagi, dan suku bunga mungkin akan dipangkas dua kali lagi di tahun ini.
Ekonomi global yang semakin melambat bisa jadi membuat bank sentral lainnya akan semakin dovish dan berpeluang menggelontorkan stimulus moneter lebih besar, membanjiri pasar dengan likuiditas, inflasi berpotensi meningkat.
Emas secara tradisional merupakan aset lindung nilai terhadap inflasi, sehingga jika inflasi meningkat logam mulia akan mendapat keuntungan. Belum lagi melihat potensi terjadinya no-deal Brexit pada 31 Oktober nanti, yang dikhawatirkan membawa Inggris ke jurang resesi, tentunya emas akan semakin bersinar.
Apakah memang sudah takdirnya emas akan kembali ke siklus penguatan seperti lebih satu dekade lalu?
Halaman Selanjutnya >>>
Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed) yang memangkas suku bunga 25 basis poin (bps) pada Kamis dini hari memberikan tekanan hebat bagi emas. Sebabnya bukan karena pemangkasan tersebut, melainkan karena ketua Gubernur Fed Jerome Powell mengindikasikan tidak akan agresif dalam memangkas suku bunga tahun ini.
Emas merupakan aset tanpa imbal hasil, sehingga semakin rendah suku bunga di AS dan secara global akan memberikan keuntungan yang lebih besar dalam memegang aset ini.
Kini dengan panduan kebijakan pemangkasan yang tidak agresif dari The Fed, begitu juga bank sentral utama dunia yang tidak terlalu dovish, laju kenaikan harga emas sepertinya akan terhenti.
Namun, secara tiba-tiba Presiden AS Donald Trump menaikkan tarif menaikkan bea impor 10% terhadap produk China yang selama ini belum dikenakan tarif. Total nilai produk tersebut sebesar US$ 300 miliar dan mulai berlaku pada September.
Padahal delegasi AS baru saja kembali dari negosiasi dagang di Shanghai, perundingan yang disebut cukup konstruktif oleh kedua belah pihak. Tentunya dibenak para investor kedua negara masih akan mesra meski belum ada kesepakatan dagang.
Akibat kebijakan Trump tersebut babak baru perang dagang bisa dimulai, China bisa saja akan melakukan hal yang serupa. Wang Yi, Penasihat Negara China, menegaskan bahwa ucapan Trump bukan langkah bijak. Ancaman tersebut tidak akan menyelesaikan friksi dagang di antara kedua negara.
"Bea masuk tambahan kepada produk China bukan langkah yang tepat atau konstruktif untuk menyelesaikan perselisihan," tegas Wang di sela-sela pertemuan ASEAN di Thailand, seperti diberitakan Reuters.
Potensi semakin membesarnya perang dagang membuat pasar kembali cemas perekonomian global akan semakin melambat. Dampaknya investor mengalihkan investasinya ke aset-aset safe haven seperti emas.
Belum lagi jika ekonomi global mengalami pelambatan lebih dalam, panduan kebijakan The Fed bisa berubah lagi, dan suku bunga mungkin akan dipangkas dua kali lagi di tahun ini.
Ekonomi global yang semakin melambat bisa jadi membuat bank sentral lainnya akan semakin dovish dan berpeluang menggelontorkan stimulus moneter lebih besar, membanjiri pasar dengan likuiditas, inflasi berpotensi meningkat.
Emas secara tradisional merupakan aset lindung nilai terhadap inflasi, sehingga jika inflasi meningkat logam mulia akan mendapat keuntungan. Belum lagi melihat potensi terjadinya no-deal Brexit pada 31 Oktober nanti, yang dikhawatirkan membawa Inggris ke jurang resesi, tentunya emas akan semakin bersinar.
Apakah memang sudah takdirnya emas akan kembali ke siklus penguatan seperti lebih satu dekade lalu?
Halaman Selanjutnya >>>
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular