
Krakatau Diminta Cari Mitra Asing Lagi, ArcelorMittal?
tahir saleh, CNBC Indonesia
02 August 2019 13:53

Jakarta, CNBC Indonesia - Tanri Abeng, Menteri Negara Pendayagunaan BUMN pertama periode 1998-1999, menyarankan agar PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) bisa mencari mitra strategis baru guna memulihkan kinerja perusahaan yang saat ini didera persoalan rugi beruntun 7 tahun dan utang mencapai di atas Rp 30 triliun.
"Kalau KS, ini kesalahan strategi. Zaman saya [1998-1999], strategi kami waktu itu cari strategist partner, karena butuh teknologi tinggi, membutuhkan capital tinggi dan management world class, jadi saya katakan belum [waktunya] masuk pasar modal, kita cari strategi partner," katanya dalam talkshow di CNBC Indonesia, Jumat (2/8/2019).
Sebab itu, Tanri menekankan beberapa poin bagi KRAS yakni bagaimana sokongan pendanaan yang cukup, teknologi, investasi, kemitraan strategis, dan manajemen pengelolaan yang tepat dan mengerti industri.
"Itu [biaya] dipangkas apapun itu saya kira enggak akan memberikan dampak signifikan. Teknologi itu ya harus baru, lalu sumber pendanaan harus cukup. Lalu, para pengelola [direksi] harus mengerti baik kebutuhan dalam negeri dan luar, kalau hanya tambal sulam enggak akan selesai masalah, karena BUMN ini sumber pemecahannya beda-beda," katanya.
Tanri yang juga Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) ini menegaskan sangat penting untuk KRAS mencari kemitraan strategis lagi.
"Kita harus berani katakan, kita butuh mitra, kita lakukan strategi itu [jalin mitra]. Toh pemegang saham [Indonesia] masih tetap mayoritas [di KRAS] so its not problem. Daripada rugi, lebih baik laba meski kita bagi [dengan mitra], jelas Tanri, mantan komisaris Telkom dan Lippo Karawaci ini.
Tanri menegaskan bahwa setiap BUMN memiliki persoalan dan jalan keluar yang berbeda-beda, tergantung dengan karakteristik industri yang dijalani. Strategi KRAS lebih tepat untuk mencari mitra karena investor luar lebih mapan dari sisi teknologi dan pendanaan.
Ketika masih menjabat Menteri BUMN, Tanri memang berencana menjalin kemitraan dengan Mittal Steel Company dari India, yang pada Juni 2006 mengakuisisi perusahaan baja lainnya, Arcelor dan menjadikannya sebagai ArcelorMittal.
"Kalau Mittal masuk pada saat itu, KRAS bisa jadi [perusahaan baja] yang terbesar, tapi itu tidak dilakukan. Apa yang dilakukan adalah go public [masuk bursa] tapi manajemen tidak dibenahi, kemampuan tidak ada, teknologi tidak masuk, terus terang KRAS yah masih berdarah-darah," katanya.
KRAS pun resmi melantai di bursa dan tercatat sebagai emiten ke-413 pada 10 November 2010. Namun ketika itu persoalkan yang diprotes pasar ialah penetapan harga saham perdana (IPO) perusahaan yang sebesar Rp850 dianggap terlalu murah dan berbau kepentingan politis.
Pada 2008, ArcelorMittal memang sempat mau masuk ke KRAS, namun mendapat resistensi.
(tas/hps) Next Article Lolos Dari Kebangkrutan, Saham Krakatau Steel Layak Diburu?
"Kalau KS, ini kesalahan strategi. Zaman saya [1998-1999], strategi kami waktu itu cari strategist partner, karena butuh teknologi tinggi, membutuhkan capital tinggi dan management world class, jadi saya katakan belum [waktunya] masuk pasar modal, kita cari strategi partner," katanya dalam talkshow di CNBC Indonesia, Jumat (2/8/2019).
Sebab itu, Tanri menekankan beberapa poin bagi KRAS yakni bagaimana sokongan pendanaan yang cukup, teknologi, investasi, kemitraan strategis, dan manajemen pengelolaan yang tepat dan mengerti industri.
"Itu [biaya] dipangkas apapun itu saya kira enggak akan memberikan dampak signifikan. Teknologi itu ya harus baru, lalu sumber pendanaan harus cukup. Lalu, para pengelola [direksi] harus mengerti baik kebutuhan dalam negeri dan luar, kalau hanya tambal sulam enggak akan selesai masalah, karena BUMN ini sumber pemecahannya beda-beda," katanya.
Tanri yang juga Komisaris Utama PT Pertamina (Persero) ini menegaskan sangat penting untuk KRAS mencari kemitraan strategis lagi.
"Kita harus berani katakan, kita butuh mitra, kita lakukan strategi itu [jalin mitra]. Toh pemegang saham [Indonesia] masih tetap mayoritas [di KRAS] so its not problem. Daripada rugi, lebih baik laba meski kita bagi [dengan mitra], jelas Tanri, mantan komisaris Telkom dan Lippo Karawaci ini.
Tanri menegaskan bahwa setiap BUMN memiliki persoalan dan jalan keluar yang berbeda-beda, tergantung dengan karakteristik industri yang dijalani. Strategi KRAS lebih tepat untuk mencari mitra karena investor luar lebih mapan dari sisi teknologi dan pendanaan.
Ketika masih menjabat Menteri BUMN, Tanri memang berencana menjalin kemitraan dengan Mittal Steel Company dari India, yang pada Juni 2006 mengakuisisi perusahaan baja lainnya, Arcelor dan menjadikannya sebagai ArcelorMittal.
"Kalau Mittal masuk pada saat itu, KRAS bisa jadi [perusahaan baja] yang terbesar, tapi itu tidak dilakukan. Apa yang dilakukan adalah go public [masuk bursa] tapi manajemen tidak dibenahi, kemampuan tidak ada, teknologi tidak masuk, terus terang KRAS yah masih berdarah-darah," katanya.
KRAS pun resmi melantai di bursa dan tercatat sebagai emiten ke-413 pada 10 November 2010. Namun ketika itu persoalkan yang diprotes pasar ialah penetapan harga saham perdana (IPO) perusahaan yang sebesar Rp850 dianggap terlalu murah dan berbau kepentingan politis.
Pada 2008, ArcelorMittal memang sempat mau masuk ke KRAS, namun mendapat resistensi.
Perusahaan tersebut adalah korporasi baja terbesar di dunia dari India itu, dengan EBITDA (laba sebelum pajak, bunga, depresiasi dan amortisasi) mencapai US$ 3,2 miliar atau Rp 45 triliun (asumsi kurs Rp 14.000/US$) per semester I-2019 mengacu situs resmi perusahaan. Kantor pusat ArcelorMittal di Luxemburg.
Kementerian BUMN pada waktu itu akhirnya lebih memilih melepas saham perdana KRAS di Bursa Efek Indonesia (IPO) ketimbang penjualan ke investor strategis.
"Kementerian BUMN tetap pada kebijakan privatisasi PT KS melalui penjualan saham perdana ketimbang pola strategic sale," kata Menteri BUMN Sofyan Djalil yang masih menjabat ketika itu, dikutip laman resmi bumn.go.id, 13 November 2008.
Dari sisi pengurus KRAS, saat itu Komisaris Utama KS, Taufiequrachman Ruki membeberkan bagaimana berbahayanya privatisasi KS ke pengusaha India jika benar-benar dilakukan. Ruki membandingkannya dengan beberapa negara lain.
"Ini semua agar dicermati pola privatisasi KS melalui penjualan 40% saham kepada pengusaha baja India sebagimana yang disampikan beberapa media hari ini," kata Ruki dalam penjelasannya dikutip DetikFinance, Jumat (11/4/2008).
Menurut Ruki, di beberapa negara, privatisasi pabrik baja dengan pola seperti ini antara lain, Rumania, Aljazair, Prancis dan Nigeria yang juga dilakukan dengan pengusaha India malah menimbulkan masalah nasional dan telah terjadi denasionalisasi industri baja mereka.
"Jangan kita tergoda karena mereka mengaku kelahiran Pasuruan dan nantinya uang yang mereka pakai membeli akan dipinjamkan dari bank BUMN kita," ujarnya.
Menurut Ruki, pengusaha India itu bukan mau memajukan industri baja tapi hanya mau mengusai pasar untuk kepentingan pabriknya yang ada di India. Jangan sampai lanjut Ruki, privatisasi KS bernasib seperti Indosat atau Jakarta Container Terminal (JCT) yang justru dilakukan karena adanya kebohongan publik oleh pemerintah yang lampau.
Lakshmi Mittal, sang pendiri Mittal, saat itu juga melobi pemerintah sehubungan dengan rencana pembangunan pabrik baja terintegrasi berkapasitas 5 juta ton per tahun. Bahkan Mittal yang bertemu langsung dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Saat ini KRAS sudah menggandeng mitra strategis, salah satunya dengan Korea, yakni Posco dan membentuk anak usaha PT Krakatau Posco.
"Kalau Mittal masuk pada saat itu, KRAS bisa jadi [perusahaan baja] yang terbesar, tapi itu tidak dilakukan," kata Tanri.
Simak pernyataan Tanri soal direksi BUMN ketangkap KPK.
[Gambas:Video CNBC]
![]() |
Kementerian BUMN pada waktu itu akhirnya lebih memilih melepas saham perdana KRAS di Bursa Efek Indonesia (IPO) ketimbang penjualan ke investor strategis.
"Kementerian BUMN tetap pada kebijakan privatisasi PT KS melalui penjualan saham perdana ketimbang pola strategic sale," kata Menteri BUMN Sofyan Djalil yang masih menjabat ketika itu, dikutip laman resmi bumn.go.id, 13 November 2008.
Dari sisi pengurus KRAS, saat itu Komisaris Utama KS, Taufiequrachman Ruki membeberkan bagaimana berbahayanya privatisasi KS ke pengusaha India jika benar-benar dilakukan. Ruki membandingkannya dengan beberapa negara lain.
"Ini semua agar dicermati pola privatisasi KS melalui penjualan 40% saham kepada pengusaha baja India sebagimana yang disampikan beberapa media hari ini," kata Ruki dalam penjelasannya dikutip DetikFinance, Jumat (11/4/2008).
Menurut Ruki, di beberapa negara, privatisasi pabrik baja dengan pola seperti ini antara lain, Rumania, Aljazair, Prancis dan Nigeria yang juga dilakukan dengan pengusaha India malah menimbulkan masalah nasional dan telah terjadi denasionalisasi industri baja mereka.
"Jangan kita tergoda karena mereka mengaku kelahiran Pasuruan dan nantinya uang yang mereka pakai membeli akan dipinjamkan dari bank BUMN kita," ujarnya.
Menurut Ruki, pengusaha India itu bukan mau memajukan industri baja tapi hanya mau mengusai pasar untuk kepentingan pabriknya yang ada di India. Jangan sampai lanjut Ruki, privatisasi KS bernasib seperti Indosat atau Jakarta Container Terminal (JCT) yang justru dilakukan karena adanya kebohongan publik oleh pemerintah yang lampau.
Lakshmi Mittal, sang pendiri Mittal, saat itu juga melobi pemerintah sehubungan dengan rencana pembangunan pabrik baja terintegrasi berkapasitas 5 juta ton per tahun. Bahkan Mittal yang bertemu langsung dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Saat ini KRAS sudah menggandeng mitra strategis, salah satunya dengan Korea, yakni Posco dan membentuk anak usaha PT Krakatau Posco.
"Kalau Mittal masuk pada saat itu, KRAS bisa jadi [perusahaan baja] yang terbesar, tapi itu tidak dilakukan," kata Tanri.
Simak pernyataan Tanri soal direksi BUMN ketangkap KPK.
[Gambas:Video CNBC]
(tas/hps) Next Article Lolos Dari Kebangkrutan, Saham Krakatau Steel Layak Diburu?
Most Popular