
Harga Minyak Turun Naik Bak Roller Coaster, Kenapa nih?
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
02 August 2019 10:16

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia memang sedang naik lebih dari 2%. Namun sejatinya, kenaikan harga minyak ini terjadi setelah sebelumnya amblas lebih dari 7%.
Pada perdagangan Jumat ini (2/8/2019) pukul 09:30 WIB, harga minyak Brent kontrak pengiriman Oktober menguat 2,2% ke level US$ 61,83/barel. Sementara harga minyak light sweet (West Texas Intermediate/WTI) naik 1,59% menjadi US$ 54,81/barel.
Sehari sebelumnya (1/8/2019), harga minyak Brent dan WTI ditutup terjun bebas masing-masing sebesar 7,17% dan 7,9%. Brent adalah minyak untuk patokan pasar Eropa dan Asia, sementara WTI untuk pasar Amerika.
Penyebab keruntuhan harga emas kemarin adalah risiko perekonomian global yang semakin tinggi. Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan hal tersebut.
Pertama, Presiden AS Donald Trump telah berkomitmen untuk kembali mengenakan bea impor baru terhadap produk-produk asal China.
[Gambas:Twitter]
"Perundingan dagang terus berlanjut, dan selagi berunding AS akan menerapkan tambahan kecil 10% bea masuk untuk impor produk China senilai US$ 300 miliar mulai 1 September. Ini tidak termasuk importasi senilai US$ 250 miliar yang sudah dikenakan bea masuk 25%," tulis Trump melalui Twitter.
Keputusan Trump mengejutkan banyak pihak, karena sejak awal pekan hingga hari Rabu (31/7/2019) delegasi dagang AS-China telah melangsungkan dialog tatap muka terkait perdagangan.
Hingga berita ini diturunkan, pemerintah China masih belum memberikan keterangan atas respon keputusan Trump.
Namun banyak pihak sudah mulai menduga bahwa Negeri Tirai bambu akan membalas dengan langkah serupa, seperti yang terjadi pada bulan Mei 2019.
Kala itu, Trump menaikkan bea impor produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. China membalas dengan bea impor tambahan antara 5-25% atas produk AS senilai US$ 60 miliar.
Eskalasi perang dagang dua kekuatan ekonomi terbesar dunia tentu bukan hal baik. Rantai pasokan global akan semakin terhambat dan menekan laju pertumbuhan ekonomi global.
Kedua adalah risiko No Deal Brexit yang tampaknya semakin tinggi.
Inggris, di bawah komando Perdana Menteri yang baru, Boris Johnson, telah menyiapkan anggaran sebesar GBP 2,1 miliar untuk beraga-jaga jika terjadi No Deal Brexit, alias keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan.
Anggaran tersebut nantinya bisa dipakai untuk memfasilitasi dunia usaha dengan mempermudah arus keluar-masuk barang di pabean, hingga menjaga pasokan obat-obatan di Negeri Ratu Elizabeth.
"Dengan sisa 92 hari di mana Inggris akan meninggalkan Uni Eropa, sangat penting untuk memastikan bahwa kita siap. Kami ingin mendapatkan kesepakatan yang baik (dengan Uni Eropa), tetapi kalau tidak bisa maka kami akan pergi tanpa kesepakatan. Tambahan (anggaran) GBP 2,1 miliar ini adalah untuk memastikan kita siap untuk pergi pada 31 Oktober. Deal or no deal," tegas Sajid Javad, Menteri Keuangan Inggris, dikutip dari keterangan tertulis pemerintah.
Hal tersebut memberi sinyal-sinyal bahwa kemungkinan No Deal Brexit masih terbuka lebar. Bahkan cenderung tinggi.
Bila benar terjadi, maka aliran perdagangan global sekali lagi akan mengalami hambatan karena Inggris merupakan negara dengan perekonomian terbesar kelima dunia.
Kala ekonomi global semakin lambat, maka permintaan energi juga akan mengekor. Pelaku pasar pada akhirnya menaruh harapan yang rendah pada pertumbuhan permintaan minyak. Bahkan sangat rendah sehingga harga minyak jatuh lebih dari 7%.
Namun kini sentimen tersebut sedikit reda. Dan ditutupi sentimen dari Iran.
Negeri Persia dikabarkan telah siap untuk menghadapi hal terburuk dalam memperjuangkan kesepakatan nuklir.
Diketahui bahwa Iran masih berencana untuk melakukan pengayaan uranium. Hal itu ditakutkan memicu reaksi negatif dari AS dan sekutunya.
"Kami punya risiko menghadapi pertempuran, tetapi kami yakin bisa menang. Kami tidak bertindak berdasarkan asumsi bisa mendapatkan hasil dari negosiasi dan perundingan," kata Presiden Iran Hassan Rouhani dalam sebuah siaran televisi nasional, dikutip dari Reuters.
Ketegangan di Timur Tengah yang semakin memanas membuat risiko produksi dan distribusi minyak global semakin besar.
Apalagi bila terjadi perang sungguhan, bisa-bisa pasokan minyak dari Timur Tengah, yang notabene merupakan kawasan penghasil minyak terbesar, semakin seret. Hal itu membuat pelaku pasar kembali mengapresiasi harga minyak.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/tas) Next Article AS-Iran Bersitegang, Sepekan Harga Minyak Naik 2%
Pada perdagangan Jumat ini (2/8/2019) pukul 09:30 WIB, harga minyak Brent kontrak pengiriman Oktober menguat 2,2% ke level US$ 61,83/barel. Sementara harga minyak light sweet (West Texas Intermediate/WTI) naik 1,59% menjadi US$ 54,81/barel.
Sehari sebelumnya (1/8/2019), harga minyak Brent dan WTI ditutup terjun bebas masing-masing sebesar 7,17% dan 7,9%. Brent adalah minyak untuk patokan pasar Eropa dan Asia, sementara WTI untuk pasar Amerika.
Penyebab keruntuhan harga emas kemarin adalah risiko perekonomian global yang semakin tinggi. Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan hal tersebut.
Pertama, Presiden AS Donald Trump telah berkomitmen untuk kembali mengenakan bea impor baru terhadap produk-produk asal China.
[Gambas:Twitter]
"Perundingan dagang terus berlanjut, dan selagi berunding AS akan menerapkan tambahan kecil 10% bea masuk untuk impor produk China senilai US$ 300 miliar mulai 1 September. Ini tidak termasuk importasi senilai US$ 250 miliar yang sudah dikenakan bea masuk 25%," tulis Trump melalui Twitter.
Keputusan Trump mengejutkan banyak pihak, karena sejak awal pekan hingga hari Rabu (31/7/2019) delegasi dagang AS-China telah melangsungkan dialog tatap muka terkait perdagangan.
Hingga berita ini diturunkan, pemerintah China masih belum memberikan keterangan atas respon keputusan Trump.
Namun banyak pihak sudah mulai menduga bahwa Negeri Tirai bambu akan membalas dengan langkah serupa, seperti yang terjadi pada bulan Mei 2019.
Kala itu, Trump menaikkan bea impor produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. China membalas dengan bea impor tambahan antara 5-25% atas produk AS senilai US$ 60 miliar.
Eskalasi perang dagang dua kekuatan ekonomi terbesar dunia tentu bukan hal baik. Rantai pasokan global akan semakin terhambat dan menekan laju pertumbuhan ekonomi global.
Kedua adalah risiko No Deal Brexit yang tampaknya semakin tinggi.
![]() |
Inggris, di bawah komando Perdana Menteri yang baru, Boris Johnson, telah menyiapkan anggaran sebesar GBP 2,1 miliar untuk beraga-jaga jika terjadi No Deal Brexit, alias keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan.
Anggaran tersebut nantinya bisa dipakai untuk memfasilitasi dunia usaha dengan mempermudah arus keluar-masuk barang di pabean, hingga menjaga pasokan obat-obatan di Negeri Ratu Elizabeth.
"Dengan sisa 92 hari di mana Inggris akan meninggalkan Uni Eropa, sangat penting untuk memastikan bahwa kita siap. Kami ingin mendapatkan kesepakatan yang baik (dengan Uni Eropa), tetapi kalau tidak bisa maka kami akan pergi tanpa kesepakatan. Tambahan (anggaran) GBP 2,1 miliar ini adalah untuk memastikan kita siap untuk pergi pada 31 Oktober. Deal or no deal," tegas Sajid Javad, Menteri Keuangan Inggris, dikutip dari keterangan tertulis pemerintah.
Hal tersebut memberi sinyal-sinyal bahwa kemungkinan No Deal Brexit masih terbuka lebar. Bahkan cenderung tinggi.
Bila benar terjadi, maka aliran perdagangan global sekali lagi akan mengalami hambatan karena Inggris merupakan negara dengan perekonomian terbesar kelima dunia.
Kala ekonomi global semakin lambat, maka permintaan energi juga akan mengekor. Pelaku pasar pada akhirnya menaruh harapan yang rendah pada pertumbuhan permintaan minyak. Bahkan sangat rendah sehingga harga minyak jatuh lebih dari 7%.
Namun kini sentimen tersebut sedikit reda. Dan ditutupi sentimen dari Iran.
Negeri Persia dikabarkan telah siap untuk menghadapi hal terburuk dalam memperjuangkan kesepakatan nuklir.
Diketahui bahwa Iran masih berencana untuk melakukan pengayaan uranium. Hal itu ditakutkan memicu reaksi negatif dari AS dan sekutunya.
![]() |
"Kami punya risiko menghadapi pertempuran, tetapi kami yakin bisa menang. Kami tidak bertindak berdasarkan asumsi bisa mendapatkan hasil dari negosiasi dan perundingan," kata Presiden Iran Hassan Rouhani dalam sebuah siaran televisi nasional, dikutip dari Reuters.
Ketegangan di Timur Tengah yang semakin memanas membuat risiko produksi dan distribusi minyak global semakin besar.
Apalagi bila terjadi perang sungguhan, bisa-bisa pasokan minyak dari Timur Tengah, yang notabene merupakan kawasan penghasil minyak terbesar, semakin seret. Hal itu membuat pelaku pasar kembali mengapresiasi harga minyak.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/tas) Next Article AS-Iran Bersitegang, Sepekan Harga Minyak Naik 2%
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular