KRAS Krisis, DPR Siap Panggil Manajemen & Menteri BUMN
Monica Wareza, CNBC Indonesia
01 August 2019 08:08

Jakarta, CNBC Indonesia - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan memanggil seluruh manajemen PT Krakatau Steel Tbk (KRAS), beserta Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk membahas kondisi keuangan produsen baja tersebut.
Apalagi Krakatau Steel dalam 7 tahun terakhir tak pernah mengantongi laba bersih. Belum lagi permasalahan pabrik berteknologi Blash Furnace yang menjadi polemik, karena merupakan proyek besar perusahaan yang tak selesai pembangunannya hingga saat ini.
Anggota Komisi VI DPR Bambang Haryo S menilai ada pengelolaan yang kurang tepat atas BUMN baja tersebut, sehingga ini pun memicu membuat salah satu komisaris perusahaan yakni Roy Maningkas mengundurkan diri.
"Komisi VI akan segera rapatkan karena aset bangsa. Panggil Menteri PUPR dan Menteri BUMN untuk tanggung jawab, manajemen juga dipanggil," kata Bambang kepada CNBC Indonesia, Selasa (30/7/2019) malam.
Komisi VI DPR memiliki ruang lingkup industri, investasi, dan persaingan usaha, dengan mitra kerja di antaranya Kementerian BUMN, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Menurut politisi Partai Gerindra ini, sinergi BUMN sejauh ini masih belum diterapkan dengan baik. Tercermin dari tak seiring peningkatan pembangunan infrastruktur yang besar dengan penggunaan baja dalam negeri.
Dia menjelaskan, dana pembangunan infrastruktur ini naik tajam selama masa pemerintahan presiden saat ini, sangat berbeda dengan presiden periode sebelumnya. Namun sayangnya baja yang merupakan komponen utama infrastruktur tak menggunakan produksi dalam negeri.
Bambang menilai pemerintah tak memprioritaskan penggunaan baja lokal dalam pembangunan infrastruktur. Sebaliknya, arus baja impor yang masuk ke Indonesia semakin deras lantaran adanya kebijakan dari pemerintah yang membuat harga jual baja impor lebih murah ketimbang baja lokal.
"Satu komisarisnya mundur karena tahu kebijakan direksi tidak bagus juga, ada yang enggak benar. Tapi pemerintah juga tidak benar dalam manajemen penggunaan baja juga," tegasnya.
KRAS memang tengah dilingkupi persoalan berat. Perseroan sudah mengalami rugi selama 7 tahun. Selain itu utang pun menggunung jauh sebelum jajaran direksi dan komisaris yang baru memegang tampuk amanah di KRAS.
Berdasarkan laporan keuangan KRAS 2018, tercatat utang mencapai US$ 2,49 miliar, naik 10,45% dibandingkan 2017 sebesar US$ 2,26 miliar. Utang jangka pendek yang harus dibayarkan oleh perusahaan mencapai US$ 1,59 miliar, naik 17,38% dibandingkan 2017 senilai US$ 1,36 miliar.
"Fokus sekarang melakukan restrukturisasi utang dan bisnis, bagaimana kita mengoptimalisasi anak usaha. Paling cepat kuartal IV tahun ini [rights issue]," kata Silmy Karim, Direktur Utama KRAS di Bursa Efek Indonesia, Jumat (19/7/2019).
Siapa invisible hand di Krakatau Steel?
[Gambas:Video CNBC]
(tas/tas) Next Article Lolos Dari Kebangkrutan, Saham Krakatau Steel Layak Diburu?
Apalagi Krakatau Steel dalam 7 tahun terakhir tak pernah mengantongi laba bersih. Belum lagi permasalahan pabrik berteknologi Blash Furnace yang menjadi polemik, karena merupakan proyek besar perusahaan yang tak selesai pembangunannya hingga saat ini.
Anggota Komisi VI DPR Bambang Haryo S menilai ada pengelolaan yang kurang tepat atas BUMN baja tersebut, sehingga ini pun memicu membuat salah satu komisaris perusahaan yakni Roy Maningkas mengundurkan diri.
"Komisi VI akan segera rapatkan karena aset bangsa. Panggil Menteri PUPR dan Menteri BUMN untuk tanggung jawab, manajemen juga dipanggil," kata Bambang kepada CNBC Indonesia, Selasa (30/7/2019) malam.
Komisi VI DPR memiliki ruang lingkup industri, investasi, dan persaingan usaha, dengan mitra kerja di antaranya Kementerian BUMN, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
Menurut politisi Partai Gerindra ini, sinergi BUMN sejauh ini masih belum diterapkan dengan baik. Tercermin dari tak seiring peningkatan pembangunan infrastruktur yang besar dengan penggunaan baja dalam negeri.
Dia menjelaskan, dana pembangunan infrastruktur ini naik tajam selama masa pemerintahan presiden saat ini, sangat berbeda dengan presiden periode sebelumnya. Namun sayangnya baja yang merupakan komponen utama infrastruktur tak menggunakan produksi dalam negeri.
Bambang menilai pemerintah tak memprioritaskan penggunaan baja lokal dalam pembangunan infrastruktur. Sebaliknya, arus baja impor yang masuk ke Indonesia semakin deras lantaran adanya kebijakan dari pemerintah yang membuat harga jual baja impor lebih murah ketimbang baja lokal.
"Satu komisarisnya mundur karena tahu kebijakan direksi tidak bagus juga, ada yang enggak benar. Tapi pemerintah juga tidak benar dalam manajemen penggunaan baja juga," tegasnya.
KRAS memang tengah dilingkupi persoalan berat. Perseroan sudah mengalami rugi selama 7 tahun. Selain itu utang pun menggunung jauh sebelum jajaran direksi dan komisaris yang baru memegang tampuk amanah di KRAS.
Berdasarkan laporan keuangan KRAS 2018, tercatat utang mencapai US$ 2,49 miliar, naik 10,45% dibandingkan 2017 sebesar US$ 2,26 miliar. Utang jangka pendek yang harus dibayarkan oleh perusahaan mencapai US$ 1,59 miliar, naik 17,38% dibandingkan 2017 senilai US$ 1,36 miliar.
"Fokus sekarang melakukan restrukturisasi utang dan bisnis, bagaimana kita mengoptimalisasi anak usaha. Paling cepat kuartal IV tahun ini [rights issue]," kata Silmy Karim, Direktur Utama KRAS di Bursa Efek Indonesia, Jumat (19/7/2019).
[Gambas:Video CNBC]
(tas/tas) Next Article Lolos Dari Kebangkrutan, Saham Krakatau Steel Layak Diburu?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular