
Efek Dolar Menguat Bikin SUN Jadi Melemah
Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
29 July 2019 20:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi rupiah pemerintah ditutup terkoreksi pada perdagangan hari ini, seiring dengan pelemahan rupiah terhadap dolar AS yang sedang menguat. Turunnya harga surat utang negara (SUN) itu tidak senada dengan apresiasi yang terjadi di pasar surat utang pemerintah negara maju.
Data Refinitiv menunjukkan terkoreksinya harga SUN itu tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menaikkan tingkat imbal hasilnya (yield).
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, vice versa.
Yield yang menjadi acuan hasil investasi yang didapat investor juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum.
Keempat seri yang menjadi acuan itu adalah FR0077 bertenor 5 tahun, FR0078 bertenor 10 tahun, FR0068 bertenor 15 tahun, dan FR0079 bertenor 20 tahun.
Seri acuan yang paling melemah adalah FR0077 yang bertenor 5 tahun dengan kenaikan yield 5,6 basis poin (bps) menjadi 6,69%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Sumber: Refinitiv
Koreksi pasar obligasi pemerintah hari ini tercermin pada harga obligasi wajarnya, di mana indeks INDOBeX Government Total Return milik PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI/IBPA) masih melemah. Indeks tersebut turun 0,63 poin (0,25%) menjadi 259,78 dari posisi akhir pekan lalu 260,42.
Koreksi SBN hari ini juga membuat selisih (spread) obligasi rupiah pemerintah tenor 10 tahun dengan surat utang pemerintah AS (US Treasury) tenor serupa mencapai 519 bps, melebar dari posisi akhir pekan lalu 513 bps.
Yield US Treasury 10 tahun turun lagi hingga 2,05% dari posisi akhir pekan lalu 2,08%. Terkait dengan pasar US Treasury, saat ini masih terjadi inversi tenor 3 bulan-10 tahun, yang lumrah terjadi sejak perang dagang China-AS memanas pada April lalu.
Saat ini pelaku pasar global lebih menantikan inversi yang terjadi pada tenor 3 bulan-10 tahun yang mulai terjadi pada awal tahun tetapi timbul dan tenggelam, sebagai indikator yang lebih menegaskan kembali bahwa potensi resesi AS semakin dekat dibanding inversi tenor lain.
Inversi adalah kondisi lebih tingginya yield seri lebih pendek dibanding yield seri lebih panjang. Inversi tersebut membentuk kurva yield terbalik (inverted yield curve), yang menjadi cerminan investor yang lebih meminati US Treasury seri panjang dibanding yang pendek karena menilai akan terjadi kontraksi jangka pendek, sekaligus indikator adanya potensi tekanan ekonomi bahkan hingga krisis.
Sumber: Refinitiv
Terkait dengan porsi investor di pasar SBN, data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) terakhir menunjukkan investor asing menggenggam Rp 1.011,51 triliun SBN, atau 39,31% dari total beredar Rp 2.573 triliun berdasarkan data per 23 Juli.
Nilai kepemilikan asing tersebut kembali melampaui rekor terbesar yang tercipta pada 18 Juli di angka Rp 1.011,35 triliun. Angka kepemilikannya per 23 Juli itu masih positif Rp 118,26 triliun dibanding posisi akhir Desember Rp 893,25 triliun, sehingga persentasenya masih naik dari 37,71% pada periode yang sama.
Koreksi di pasar surat utang hari ini juga terjadi di pasar ekuitas dan rupiah di pasar valas, yang masing-masingnya turun 0,41% dan 0,11%. Rupiah tertekan karena penguatan dolar yang terjadi karena data pembacaan awal pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 2,1% yang di atas ekspektasi pelaku pasar.
Dari pasar surat utang negara lain, negara berkembang masih mengalami koreksi tetapi pasar obligasi negara maju mengalami penguatan. Di negara maju, penguatan terjadi di pasar bund Jerman, OAT Perancis, gilt Inggris, dan US Treasury di AS.
Sumber: Refinitiv
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/irv) Next Article SUN Cetak Rekor, Pengamat: SUN RI Masih Menarik Bagi Investor
Data Refinitiv menunjukkan terkoreksinya harga SUN itu tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menaikkan tingkat imbal hasilnya (yield).
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, vice versa.
SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum.
Keempat seri yang menjadi acuan itu adalah FR0077 bertenor 5 tahun, FR0078 bertenor 10 tahun, FR0068 bertenor 15 tahun, dan FR0079 bertenor 20 tahun.
Seri acuan yang paling melemah adalah FR0077 yang bertenor 5 tahun dengan kenaikan yield 5,6 basis poin (bps) menjadi 6,69%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Yield Obligasi Negara Acuan 29 Jul'19 | |||||
Seri | Jatuh tempo | Yield 26 Jul'19 (%) | Yield 29 Jul'19 (%) | Selisih (basis poin) | Yield wajar IBPA 29 Jul'19 (%) |
FR0077 | 5 tahun | 6.638 | 6.694 | 5.60 | 6.6586 |
FR0078 | 10 tahun | 7.214 | 7.257 | 4.30 | 7.2406 |
FR0068 | 15 tahun | 7.549 | 7.583 | 3.40 | 7.5759 |
FR0079 | 20 tahun | 7.734 | 7.776 | 4.20 | 7.7748 |
Avg movement | 4.37 |
Koreksi pasar obligasi pemerintah hari ini tercermin pada harga obligasi wajarnya, di mana indeks INDOBeX Government Total Return milik PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI/IBPA) masih melemah. Indeks tersebut turun 0,63 poin (0,25%) menjadi 259,78 dari posisi akhir pekan lalu 260,42.
Koreksi SBN hari ini juga membuat selisih (spread) obligasi rupiah pemerintah tenor 10 tahun dengan surat utang pemerintah AS (US Treasury) tenor serupa mencapai 519 bps, melebar dari posisi akhir pekan lalu 513 bps.
Yield US Treasury 10 tahun turun lagi hingga 2,05% dari posisi akhir pekan lalu 2,08%. Terkait dengan pasar US Treasury, saat ini masih terjadi inversi tenor 3 bulan-10 tahun, yang lumrah terjadi sejak perang dagang China-AS memanas pada April lalu.
Saat ini pelaku pasar global lebih menantikan inversi yang terjadi pada tenor 3 bulan-10 tahun yang mulai terjadi pada awal tahun tetapi timbul dan tenggelam, sebagai indikator yang lebih menegaskan kembali bahwa potensi resesi AS semakin dekat dibanding inversi tenor lain.
Inversi adalah kondisi lebih tingginya yield seri lebih pendek dibanding yield seri lebih panjang. Inversi tersebut membentuk kurva yield terbalik (inverted yield curve), yang menjadi cerminan investor yang lebih meminati US Treasury seri panjang dibanding yang pendek karena menilai akan terjadi kontraksi jangka pendek, sekaligus indikator adanya potensi tekanan ekonomi bahkan hingga krisis.
Yield US Treasury Acuan 29 Jul'19 | |||||
Seri | Benchmark | Yield 26 Jul'19 (%) | Yield 29 Jul'19 (%) | Selisih (Inversi) | Satuan Inversi |
UST BILL 2019 | 3 Bulan | 2.118 | 2.12 | 3 bulan-5 tahun | 27.8 |
UST 2020 | 2 Tahun | 1.87 | 1.844 | 2 tahun-5 tahun | 0.2 |
UST 2021 | 3 Tahun | 1.834 | 1.81 | 3 tahun-5 tahun | -3.2 |
UST 2023 | 5 Tahun | 1.862 | 1.842 | 3 bulan-10 tahun | 6.2 |
UST 2028 | 10 Tahun | 2.081 | 2.058 | 2 tahun-10 tahun | -21.4 |
Terkait dengan porsi investor di pasar SBN, data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) terakhir menunjukkan investor asing menggenggam Rp 1.011,51 triliun SBN, atau 39,31% dari total beredar Rp 2.573 triliun berdasarkan data per 23 Juli.
Nilai kepemilikan asing tersebut kembali melampaui rekor terbesar yang tercipta pada 18 Juli di angka Rp 1.011,35 triliun. Angka kepemilikannya per 23 Juli itu masih positif Rp 118,26 triliun dibanding posisi akhir Desember Rp 893,25 triliun, sehingga persentasenya masih naik dari 37,71% pada periode yang sama.
Koreksi di pasar surat utang hari ini juga terjadi di pasar ekuitas dan rupiah di pasar valas, yang masing-masingnya turun 0,41% dan 0,11%. Rupiah tertekan karena penguatan dolar yang terjadi karena data pembacaan awal pertumbuhan ekonomi kuartal II-2019 2,1% yang di atas ekspektasi pelaku pasar.
Dari pasar surat utang negara lain, negara berkembang masih mengalami koreksi tetapi pasar obligasi negara maju mengalami penguatan. Di negara maju, penguatan terjadi di pasar bund Jerman, OAT Perancis, gilt Inggris, dan US Treasury di AS.
Yield Obligasi Tenor 10 Tahun Negara Maju & Berkembang | |||
Negara | Yield 26 Jul'19 (%) | Yield 29 Jul'19 (%) | Selisih (basis poin) |
Brasil | 7.26 | 7.23 | -3.00 |
China | 3.175 | 3.205 | 3.00 |
Jerman | -0.379 | -0.392 | -1.30 |
Perancis | -0.122 | -0.138 | -1.60 |
Inggris | 0.688 | 0.655 | -3.30 |
India | 6.526 | 6.414 | -11.20 |
Jepang | -0.149 | -0.143 | 0.60 |
Malaysia | 3.591 | 3.596 | 0.50 |
Filipina | 4.744 | 4.764 | 2.00 |
Rusia | 7.22 | 7.31 | 9.00 |
Singapura | 1.915 | 1.927 | 1.20 |
Thailand | 1.86 | 1.92 | 6.00 |
Amerika Serikat | 2.081 | 2.058 | -2.30 |
Afrika Selatan | 8.18 | 8.32 | 14.00 |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/irv) Next Article SUN Cetak Rekor, Pengamat: SUN RI Masih Menarik Bagi Investor
Most Popular