Surplus Dagang TPT Tergerus, Begini Kinerja Emiten Tekstil

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
25 July 2019 12:43
Surplus Dagang TPT Tergerus, Begini Kinerja Emiten Tekstil
Foto: Seorang wanita bekerja di bengkel produsen tekstil di Binzhou, provinsi Shandong, China 11 Februari 2019. (China Daily via REUTERS)
Jakarta, CNBC Indonesia - Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia kembali menghadapi tantangan dengan kian membanjirnya produk impor, menyusul berlarut-larutnya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.

Tatkala pabrikan tekstil asal Negeri Panda dihajar dengan kenaikan tarif atas produk ekspor mereka ke AS sebesar 25%, daya saing produknya pun menjadi menurun di pasar Negeri Adidaya tersebut, sehingga mereka mendiversifikasikan pasarnya.

Diversifikasi, di sini dimaknai dengan "membuang" produknya ke pasar-pasar di luar tujuan utama, dengan harga serendah mungkin untuk bisa menembus pasar baru tersebut.

Untuk pasar yang efisiensi industri tekstilnya masih rendah, seperti Indonesia, akibat ongkos buruh yang lebih tinggi dibandingkan di China ini tentu bukan hal yang sulit.

Dengan mengasumsikan perang dagang telah berlangsung sejak tahun lalu, Tim Riset CNBC Indonesia memotret kinerja emiten tekstil Indonesia, untuk melihat sejauh mana daya tahan dan dinamika pelaku industri nasional menghadapi tantangan banjir produk tekstil asal China akibat perang dagang tersebut.

Menurut Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (SEKI) yang dirilis oleh Bank Indonesia (B), nilai impor TPT yang dilakukan Indonesia sepanjang 2018 naik 14,8% secara tahunan dari US$ 7,5 miliar ke US$ 8,6 miliar. Kenaikan impor sebesar US$ 1 miliar (Rp 14 triliun) dalam setahun ini berbarengan dengan berlarutnya perang dagang.



Namun secara fundamental, kenaikan impor TPT ini terjadi secara berkesinambungan dalam satu dasawarsa terakhir. Meski Indonesia membukukan surplus perdagangan TPT tahun lalu, sebesar US$4,7 miliar, angka ini turun 8,3% dibandingkan dengan surplus 2017 senilai US$ 5 miliar.


Ekspor TPT Indonesia memang masih tumbuh (yakni 5,5%), tapi kalah cepat dari impor yang naik 14,8%. Akibatnya, secara kumulatif dalam 10 tahun terakhir, surplus dagang TPT Indonesia mengempis hingga -23,3% yakni dari US$ 6,1 miliar (2009) menjadi hanya US$ 4,7 miliar.

Maklum saja, impor TPT ke Indonesia melesat 107% dalam 1 dekade, jauh lebih pesat dari pertumbuhan ekspor yang hanya 29,6%. Artinya, tanpa atau dengan adanya perang dagang, kinerja perdagangan TPT Indonesia memang sudah kepayahan.

Padahal, mengutip Kementerian Perindustrian, industri TPT menyerap 1,5 juta tenaga kerja, plus 500.000 tambahan pekerja di sektor garmen. Sungguh memprihatinkan jika pemerintah tidak mampu melindung sektor strategis ini.

LANJUT KE HALAMAN 2>>
Untuk mengetahui efek sentimen perang dagang terhadap bisnis emiten tekstil, Tim Riset CNBC Indonesia mengompilasikinerja keuangan dari 15 perusahaan tekstil berstatus terbuka (Tbk) di Bursa Efek Indonesia (BEI), yang menggarap pasar ekspor, dan dua emiten tekstil yang fokus di pasar domestik.

Dari 15 emiten tersebut, sepertiganya atau sebanyak lima emiten membukukan rugi bersih untuk tahun buku 2018. Namun, capaian ini masih lebih baik dibandingkan dengan periode 2017 di mana delapan emiten tekstil masih mencatatkan rapor merah.



Dengan kata lain, perang dagang yang diduga menjadi pemicu membanjirnya produk TPT impor dari Negeri Panda tidak banyak memengaruhi kinerja emiten tekstil nasional yang berorientasi ekspor, dengan margin laba bersih (net profit margin) yang lumayan.

Jika dirata-rata, maka margin laba bersih 15 emiten itu mencapai 3,5%, lebih baik dari margin laba bersih pada periode yang sama 2017 yang hanya 1%. Mengutip Warren Buffet, perusahaan dengan margin laba bersih tinggi ini menarik untuk menjadi tujuan investasi di bursa saham.


Ini menunjukkan bahwa perang dagang justru membuka peluang lebar bagi ke-15 emiten berorientasi ekspor karena bea masuk 25% terhadap TPT China berpeluang mendatangkan keuntungan bagi pelaku industri tekstil Indonesia.

Ini sejalan dengan pernyataan Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) Iwan S. Lukminto.

“Sudah ada kenaikan ekspor kami ke AS, tapi kami harus lihat lagi. Kalau perang dagang belum selesai, pengusaha ritel AS worried memposisikan pembelian ke China. Kami mendapat kesempatan luar biasa ke AS,” tuturnya kepada CNBC Indonesia TV pada Jumat (28/7/2019).


Sritex Bersama PT Indo Rama Synthetic Tbk terlihat mencolok dibandingkan dengan emiten tekstil lainnya, menyusul catatan laba bersih masing-masing senilai US$ 72,8 miliar dan US$ 63 miliar pada 2018.

Jika dibedah lebih lanjut, Indo Rama dan Sritex beroleh laba bersih tebal karena pasar ekspor mendominasi penjualan mereka, dengan kontribusi 65% untuk masing-masing perusahaan. Margin laba bersih Indo Rama sebesar 7,5% pada tahun lalu, sedangkan Sritex sebesar 6%.

Namun sebaliknya, bagi emiten yang seluruh pasarnya bergantung pada pasar dalam negeri, kondisinya justru berbalik 180 derajat. Gempuran produk TPT impor menekan kinerja mereka seperti yang terlihat dari dua emiten berikut ini.

PT Panasia Indo Resources Tbk, misalnya, membukukan rugi bersih Rp 220 miliar pada tahun lalu, sedangkan PT Nusantara Inti Corpora Tbk hanya meraup laba bersih Rp 40 juta, turun dari perolehan laba bersih setahun sebelumnya Rp 60 juta.

Perlahan tapi pasti perang dagang membuat produk TPT membanjir pasar lokal dan memukul mereka. Kecuali, mereka mampu memanfaatkan peluang itu dengan mengikuti jejak Sritex dan Indorama. Itu dengan asumsi pemerintah—seperti biasa—tak (cukup) melindungi mereka.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular