Bos BCA Bicara Soal Likuiditas Bank, NPL & Industri Tekstil

Yanurisa Ananta, CNBC Indonesia
25 July 2019 10:34
Bos BCA Bicara Soal Likuiditas Bank, NPL & Industri Tekstil
Foto: Muhammad Luthfi Rahman
Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Jahja Setiaatmadja bicara banyak soal industri perbankan dalam Paparan Laporan Kinerja Semester 1 kemarin, Rabu (25/7/2019). Tidak hanya 'curhat' soal kinerjanya, Jahja bicara soal likuiditas industri perbankan dan redit bermasalah, bahkan soal industri tekstil.

Soal ketersediaan likuiditas, Jahja mengatakan saat ini loan to deposite (LDR) industri perbankan sebesar 96,1% per Mei. Dengan likuiditas LDR 96%, menurut Jahja, akan pas bila pertumbuhan kredit juga pas-pasan. Ketika pertumbuhan kredit ingin digenjot agresif maka dana tidak akan ada. 

"Dengan likuiditas LDR 96% ya ini pas kalau kredit growth pas-pasan juga. Tapi begitu kredit growth mau agresif, ini akan tidak tersedia sumber dananya," kata Jahja dalam Paparan Kinerja Semester I kemarin, Kamis (25/7/2019). 

Sementara itu, kondisi pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) industri saat ini 6,3% dengan pertumbuhan kreditnya 11,1%. Jahja menyebut, ada selisih 5% dari keduanya. Seharusnya, gap itu tertutup dari ekuitas (equity). Namun, profitabilitas yang didapat dari ekuitas juga tidak seberapa.

"Jadi memang harus betul kita perhatikan ketersediaan likuiditas. Apalagi beberapa bank sudah ada komitmen untuk proyek infrastruktur dan lain-lain. Itu kan harus disisibkan, tidak bisa kita menambah kredit-kredit baru," tambah Jahja. 

 Jahja berharap pertumbuhan kredit perbankan maksimal bisa mencapai 10% di akhir tahun. Tapi harus dengan catatan DPK turut membaik. Akan cukup berat  untuk pertumbuhan kredit perbankan bila pertumbuhan DPK tidak membaik. 

"Ekspektasi kita maksimal kalau bisa 10% di akhir tahun mungkin sudah bagus. Dengan catatankalau DPK membaik, kalau tidak juga rada berat untuk perbankan kembangkan kredit," ungkapnya. 

Rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL), menurut Jahja, juga harus menjadi perhatian industri perbankan saat ini. Selain menjamurnya perusahaan yang gagal membayar utang, permintaan akan kredit saat ini juga dirasa tidak terlalu banyak. Hal ini juga disebabkan modal kerja tidak terlalu berkembang.

"Tapi secara umum kita lihat harus lebih berhati-hati. Provisioning yang kita buat dibanding tahun lalu cukup besar. Saya juga tidak janjikan NPL kita akan tetap di angka 1,45%," ucap Jahja. 

Hal ini disebabkan dalam kondisi ekonomi yang sedang bertumbuh kredit bisa tumbuh 15%-20%, namun penambahan NPL tidak akan tampak atau bahkan negatif. Jika ekonominya tidak menunjang maka NPL akan meningkat mau tidak mau.

Untuk itu, menurut Jahja,penting untuk memiliki cadangan yang cukup. BCA sendiri mulai mengidentifikasi betul kreditur yang harus dibuatkan cadangan mulai sekarang. 

"Yang penting cadangan cukup dan kita mulai identifikasi betul yang harus dibikinkan cadangan, akan kita bikin cadangan dari sekarang," kata Jahja. 

Dia menekankan perbankan harus bersiasat cukup hati-hati dalam melepas kredit karena di satu sisi BCA sendirj ingin melepas kredit, tapi kredit harus kembali dengan wajar tanpa restrukturisasi. 

"Tidak direstrukturisasi-restrukturisasi nanti rugi.  Tapi toh terjadi 'batuk-batuk' terpaksa harus kita restruktur," kata Jahja. 



Industri perbankan dinilai harus mulai berhati-hati dalam menyalurkan kredit menyusul adanya kasus gagal bayar utang obligasi yang terjadi pada produsen tekstil Indonesia PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT)(Group Duniatex).

Meski Jahja menyebut tidak semua perusahaan tekstil tengah kesulitan, ia mengaku memang industri tekstil sedang dalam kondisi yang tidak mudah.

 Jahja memaparkan saat ini banyak pengusaha tekstil yang mendapatkan pesanan baru (new orders) dari Amerika Serikat (AS) sebagai substitusi karena tidak bisa impor dari China.

"Jalur itu rada susah. Jadi mereka mencari yang lain. Tapi khususnya bisnis spinning-nya karena ada harga yang turun terutama cotton (kapas) katanya turun terus," tutur Jahja.

Jahja menambahkan, ada beberapa industri yang tidak mungkin menurunkan harga saat harga kapas sedang tinggi. Maka, pengusaha akan membeli banyak kapas untuk inventory, namun ternyata harga kapas terus turun. Akibatnya, margin tergerus.

"Harga jual mesti ngikutin pasar. Cost-nya dia lebih mahal dari teman-teman yang tidak menyetok barang. Kalau seperti itu akan bermasalah," imbuhnya.

Menurut Jahja, kalau pengusaha bisa mengatur inventory-nya maka meski margin turun tapi volume akan terus tumbuh. Hal lainnya, Jahja menyebut kasus Duniatex ini spinning-nya bisa dilepas ke pasar dengan harga murah.

"Dikhawatirkan existing player terkena itu. Jadi tidak bisa kita vonis [industri] tekstil jelek. Ada yang bagus, ada yang jelek. Tergantung perusahaan mengelola risiko," paparnya.

Meski begitu, Jahja menyatakan tidak ada sektor kredit yang masuk daftar hitam (black list) Bank BCA. Meski pertambangan cukup rentan, dalam penyaluran kreditnya, BCA akan memberikan kredit dengan persyaratan-persyaratan tertentu.

"Secara general tidak ada blacklist terhadap industri, tapi saat pengajuan kita akan sangat berhati-hati. Khususnya industri-industri tertentu yang ada potensi bermasalah," tambah Jahja.



(roy/roy) Next Article Bos BCA Bicara Dampak Virus Corona & Pertumbuhan Kredit Bank

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular