
Gawat! Harga Minyak Diprediksi Bisa Melesat ke US$ 150/Barel
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
23 July 2019 12:17

Bila perang benar meletus, maka pasokan minyak global memang berisiko terpangkas cukup banyak. Pasalnya, kemungkinan medan pertempuran akan terpusat di Iran dan Selat Hormuz. Selat ini merupakan pintu masuk kapal-kapal perang AS ke perairan Teluk Persia.
Perairan Teluk Persia sendiri dikelilingi oleh beberapa negara eksportir minyak terbesar di dunia, seperti Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab (UEA), Iraq, dan Iran.
Mengutip data Refinitiv, volume ekspor minyak dari negara-negara tersebut pada bulan Juni masing-masing sebesar:
Hingga saat ini, jalur distribusi utama minyak mentah dari negara-negara tersebut adalah melalui jalur laut. Mulai dari pelabuhan di pesisir, Teluk Persia, hingga Selat Hormuz pasti dilalui oleh sebagian besar kapal tanker yang mengantar minyak dari lima negara tersebut.
Bahkan Reuters mengabarkan bahwa Selat Hormuz dilalui oleh seperlima dari konsumsi minyak mentah global. Sebagai informasi, permintaan minyak mentah dunia tahun 2019 diprediksi akan sebesar 99,91 juta barel/hari, berdasarkan estimasi Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).
Nah, bila perang terbuka benar-benar pecah di Teluk Persia, pasokan minyak tersebut pasti akan sulit untuk dilempar ke pasar. Tidak ada kapal tanker yang mau melintasi daerah perang.
Jalur distribusi minyak juga sulit untuk diubah begitu saja karena melibatkan banyak infrastruktur besar yang kompleks seperti jaringan pipa, pelabuhan, dan kilang penyimpanan.
Bisa saja negara-negara eksportir minyak mencari jalur laut alternatif. Namun pasti tidak akan dapat dieksekusi dalam waktu dekat. Perlu waktu untuk membangun infrastruktur distribusi minyak. Bisa juga melalui jalur darat, tetapi sangat tidak efisien dan membutuhkan biaya yang besar.
Melihat sejarahnya, pengurangan pasokan memang berdampak sangat signifikan terhadap harga minyak. Terbaru, mulai Januari 2019, OPEC dan sekutunya memangkas produksi hingga 1,2 juta barel/hari. Langkah tersebut terbukti mengerek harga minyak sebesar 30% sepanjang kuartal I-2019.
Pada periode tersebut, harga Brent, yang menjadi acuan Eropa, naik dari US$ 54,91/barel (2 Januari 2019) menjadi US$ 68,39/barel (29 Maret 2019). Artinya pengurangan pasokan 1,2 juta barel/hari atau 1,2% dari permintaan global mampu mengangkat harga minyak sebesar US$ 13,48/barel.
Untuk sampai ke level US$ 150/barel harga minyak Brent saat ini (US$ 63,38/barel) butuh tambahan sebesar US$ 86,62/barel. Mengingat risiko kehilangan pasokan sebesar 16,06 juta barel/hari jika terjadi perang, tampaknya harga minyak memang berpotensi ke level US$ 150/barel.
Sebagai informasi, harga minyak Brent belum pernah menyentuh level US$ 150/barel. Paling tinggi terjadi pada 3 Juli 2008 sebesar US$ 146/barel. Namun perlu diingat bahwa negara-negara produsen minyak besar lain seperti Rusia akan dengan senang hati menggenjot produksi untuk memastikan kecukupan pasokan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa)
Perairan Teluk Persia sendiri dikelilingi oleh beberapa negara eksportir minyak terbesar di dunia, seperti Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab (UEA), Iraq, dan Iran.
Mengutip data Refinitiv, volume ekspor minyak dari negara-negara tersebut pada bulan Juni masing-masing sebesar:
- Arab Saudi: 6,98 juta barel/hari
- Kuwait : 1,83 juta barel/hari
- UEA : 3,08 juta barel/hari
- Iraq : 3,73 juta barel/hari
- Iran : 0,43 juta barel/hari
Bahkan Reuters mengabarkan bahwa Selat Hormuz dilalui oleh seperlima dari konsumsi minyak mentah global. Sebagai informasi, permintaan minyak mentah dunia tahun 2019 diprediksi akan sebesar 99,91 juta barel/hari, berdasarkan estimasi Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).
Nah, bila perang terbuka benar-benar pecah di Teluk Persia, pasokan minyak tersebut pasti akan sulit untuk dilempar ke pasar. Tidak ada kapal tanker yang mau melintasi daerah perang.
Jalur distribusi minyak juga sulit untuk diubah begitu saja karena melibatkan banyak infrastruktur besar yang kompleks seperti jaringan pipa, pelabuhan, dan kilang penyimpanan.
![]() |
Bisa saja negara-negara eksportir minyak mencari jalur laut alternatif. Namun pasti tidak akan dapat dieksekusi dalam waktu dekat. Perlu waktu untuk membangun infrastruktur distribusi minyak. Bisa juga melalui jalur darat, tetapi sangat tidak efisien dan membutuhkan biaya yang besar.
Melihat sejarahnya, pengurangan pasokan memang berdampak sangat signifikan terhadap harga minyak. Terbaru, mulai Januari 2019, OPEC dan sekutunya memangkas produksi hingga 1,2 juta barel/hari. Langkah tersebut terbukti mengerek harga minyak sebesar 30% sepanjang kuartal I-2019.
Pada periode tersebut, harga Brent, yang menjadi acuan Eropa, naik dari US$ 54,91/barel (2 Januari 2019) menjadi US$ 68,39/barel (29 Maret 2019). Artinya pengurangan pasokan 1,2 juta barel/hari atau 1,2% dari permintaan global mampu mengangkat harga minyak sebesar US$ 13,48/barel.
Untuk sampai ke level US$ 150/barel harga minyak Brent saat ini (US$ 63,38/barel) butuh tambahan sebesar US$ 86,62/barel. Mengingat risiko kehilangan pasokan sebesar 16,06 juta barel/hari jika terjadi perang, tampaknya harga minyak memang berpotensi ke level US$ 150/barel.
Sebagai informasi, harga minyak Brent belum pernah menyentuh level US$ 150/barel. Paling tinggi terjadi pada 3 Juli 2008 sebesar US$ 146/barel. Namun perlu diingat bahwa negara-negara produsen minyak besar lain seperti Rusia akan dengan senang hati menggenjot produksi untuk memastikan kecukupan pasokan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa)
Pages
Most Popular