
Gawat! Harga Minyak Diprediksi Bisa Melesat ke US$ 150/Barel
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
23 July 2019 12:17

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketegangan di Timur Tengah membuat sejumlah pihak menaikkan ekspektasi terhadap harga minyak mentah global, dengan level US$ 100 per barel sebagai angka "stabil" ketika pecah perang terbuka di Selat Hormuz.
Paling fantastis, analis Capital Economics meramal harga minyak akan melonjak ke level US$ 150/barel sesaat setelah perang terbuka Amerika Serikat (AS) degan Iran meletus, mengutip CNBC International. Selanjutnya harga akan turun dan stabil di sekitar level US$ 100/barel.
Sebagai informasi, keretakan hubungan AS-Iran sudah dimulai sejak Mei 2018 silam, di mana Presiden AS, Donald Trump, menarik diri dari dari kesepakatan nuklir Iran.
Kesepakatan yang telah dibuat bersama pemerintahan Barack Obama pada tahun 2015 tersebut telah membatasi Iran dalam pengembangan program nuklir. Namun Trump merasa kesepakatan itu memiliki 'cacat'. Menurut Trump, kesepakatan yang berakhir pada 2030 itu memungkinkan Iran untuk melanjutkan program pengembangan nuklir.
Sejak AS keluar dari kesepakatan, Iran mulai dikenakan berbagai sanksi ekonomi. Salah satunya adalah pelarangan negara-negara mitra AS untuk membeli minyak dari Iran. Terbaru pada bulan Juni, Trump memberi sanksi baru terhadap Iran yang menargetkan Pimpinan Tertinggi, Ayatollah Ali Khameini dan pihak-pihak yang berelasi dengan kantornya.
Sanksi tersebut membuat pimpinan Iran dan jajarannya tidak lagi dapat mengakses sumber-sumber finansial yang penting di luar negeri. Tidak hanya dengan sanksi, AS beberapa kali menuduh Iran sebagai dalang di balik sejumlah penyerangan di Timur Tengah.
Salah satu nya adalah penyerangan terhadap empat kapal tanker di Selat Hormuz bulan lalu, yang mana dua diantaranya adalah milik teman baik AS, Arab Saudi. Ada pula tuduhan atas penyerangan drone atas dua fasilitas produksi minyak Saudi Aramco.
Atas serangan-serangan tersebut, Trump pernah mengatakan akan melakukan seluruh tindakan yang diperlukan untuk melindungi kepentingan AS di Timur Tengah. Bahkan dengan 'kekuatan penuh'. AS juga diketahui telah menambah personil militer di kawasan tersebut, dan menempatkan beberapa kapal induk di dekat Selat Hormuz.
Iran pun juga sama panasnya. Kepala Garda Revolusi Iran (IRGC) menyatakan keberanian Iran untuk menyambut serangan AS. Meskipun dirinya juga tidak menginginkan peperangan.
"Perbedaan antara kami [Iran] dengan mereka [AS] adalah kami tidak takut perang. Dan tidak memiliki keinginan untuk itu [perang]," kata Mayor Jenderal Hossein Salami, dikutip dari Fars, Minggu (19/5/2019).
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>>
Bila perang benar meletus, maka pasokan minyak global memang berisiko terpangkas cukup banyak. Pasalnya, kemungkinan medan pertempuran akan terpusat di Iran dan Selat Hormuz. Selat ini merupakan pintu masuk kapal-kapal perang AS ke perairan Teluk Persia.
Perairan Teluk Persia sendiri dikelilingi oleh beberapa negara eksportir minyak terbesar di dunia, seperti Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab (UEA), Iraq, dan Iran.
Mengutip data Refinitiv, volume ekspor minyak dari negara-negara tersebut pada bulan Juni masing-masing sebesar:
Hingga saat ini, jalur distribusi utama minyak mentah dari negara-negara tersebut adalah melalui jalur laut. Mulai dari pelabuhan di pesisir, Teluk Persia, hingga Selat Hormuz pasti dilalui oleh sebagian besar kapal tanker yang mengantar minyak dari lima negara tersebut.
Bahkan Reuters mengabarkan bahwa Selat Hormuz dilalui oleh seperlima dari konsumsi minyak mentah global. Sebagai informasi, permintaan minyak mentah dunia tahun 2019 diprediksi akan sebesar 99,91 juta barel/hari, berdasarkan estimasi Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).
Nah, bila perang terbuka benar-benar pecah di Teluk Persia, pasokan minyak tersebut pasti akan sulit untuk dilempar ke pasar. Tidak ada kapal tanker yang mau melintasi daerah perang.
Jalur distribusi minyak juga sulit untuk diubah begitu saja karena melibatkan banyak infrastruktur besar yang kompleks seperti jaringan pipa, pelabuhan, dan kilang penyimpanan.
Bisa saja negara-negara eksportir minyak mencari jalur laut alternatif. Namun pasti tidak akan dapat dieksekusi dalam waktu dekat. Perlu waktu untuk membangun infrastruktur distribusi minyak. Bisa juga melalui jalur darat, tetapi sangat tidak efisien dan membutuhkan biaya yang besar.
Melihat sejarahnya, pengurangan pasokan memang berdampak sangat signifikan terhadap harga minyak. Terbaru, mulai Januari 2019, OPEC dan sekutunya memangkas produksi hingga 1,2 juta barel/hari. Langkah tersebut terbukti mengerek harga minyak sebesar 30% sepanjang kuartal I-2019.
Pada periode tersebut, harga Brent, yang menjadi acuan Eropa, naik dari US$ 54,91/barel (2 Januari 2019) menjadi US$ 68,39/barel (29 Maret 2019). Artinya pengurangan pasokan 1,2 juta barel/hari atau 1,2% dari permintaan global mampu mengangkat harga minyak sebesar US$ 13,48/barel.
Untuk sampai ke level US$ 150/barel harga minyak Brent saat ini (US$ 63,38/barel) butuh tambahan sebesar US$ 86,62/barel. Mengingat risiko kehilangan pasokan sebesar 16,06 juta barel/hari jika terjadi perang, tampaknya harga minyak memang berpotensi ke level US$ 150/barel.
Sebagai informasi, harga minyak Brent belum pernah menyentuh level US$ 150/barel. Paling tinggi terjadi pada 3 Juli 2008 sebesar US$ 146/barel. Namun perlu diingat bahwa negara-negara produsen minyak besar lain seperti Rusia akan dengan senang hati menggenjot produksi untuk memastikan kecukupan pasokan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Paling fantastis, analis Capital Economics meramal harga minyak akan melonjak ke level US$ 150/barel sesaat setelah perang terbuka Amerika Serikat (AS) degan Iran meletus, mengutip CNBC International. Selanjutnya harga akan turun dan stabil di sekitar level US$ 100/barel.
Sebagai informasi, keretakan hubungan AS-Iran sudah dimulai sejak Mei 2018 silam, di mana Presiden AS, Donald Trump, menarik diri dari dari kesepakatan nuklir Iran.
Sejak AS keluar dari kesepakatan, Iran mulai dikenakan berbagai sanksi ekonomi. Salah satunya adalah pelarangan negara-negara mitra AS untuk membeli minyak dari Iran. Terbaru pada bulan Juni, Trump memberi sanksi baru terhadap Iran yang menargetkan Pimpinan Tertinggi, Ayatollah Ali Khameini dan pihak-pihak yang berelasi dengan kantornya.
Sanksi tersebut membuat pimpinan Iran dan jajarannya tidak lagi dapat mengakses sumber-sumber finansial yang penting di luar negeri. Tidak hanya dengan sanksi, AS beberapa kali menuduh Iran sebagai dalang di balik sejumlah penyerangan di Timur Tengah.
Salah satu nya adalah penyerangan terhadap empat kapal tanker di Selat Hormuz bulan lalu, yang mana dua diantaranya adalah milik teman baik AS, Arab Saudi. Ada pula tuduhan atas penyerangan drone atas dua fasilitas produksi minyak Saudi Aramco.
Atas serangan-serangan tersebut, Trump pernah mengatakan akan melakukan seluruh tindakan yang diperlukan untuk melindungi kepentingan AS di Timur Tengah. Bahkan dengan 'kekuatan penuh'. AS juga diketahui telah menambah personil militer di kawasan tersebut, dan menempatkan beberapa kapal induk di dekat Selat Hormuz.
Iran pun juga sama panasnya. Kepala Garda Revolusi Iran (IRGC) menyatakan keberanian Iran untuk menyambut serangan AS. Meskipun dirinya juga tidak menginginkan peperangan.
"Perbedaan antara kami [Iran] dengan mereka [AS] adalah kami tidak takut perang. Dan tidak memiliki keinginan untuk itu [perang]," kata Mayor Jenderal Hossein Salami, dikutip dari Fars, Minggu (19/5/2019).
BERLANJUT KE HALAMAN 2>>>
Bila perang benar meletus, maka pasokan minyak global memang berisiko terpangkas cukup banyak. Pasalnya, kemungkinan medan pertempuran akan terpusat di Iran dan Selat Hormuz. Selat ini merupakan pintu masuk kapal-kapal perang AS ke perairan Teluk Persia.
Perairan Teluk Persia sendiri dikelilingi oleh beberapa negara eksportir minyak terbesar di dunia, seperti Arab Saudi, Kuwait, Uni Emirat Arab (UEA), Iraq, dan Iran.
Mengutip data Refinitiv, volume ekspor minyak dari negara-negara tersebut pada bulan Juni masing-masing sebesar:
- Arab Saudi: 6,98 juta barel/hari
- Kuwait : 1,83 juta barel/hari
- UEA : 3,08 juta barel/hari
- Iraq : 3,73 juta barel/hari
- Iran : 0,43 juta barel/hari
Hingga saat ini, jalur distribusi utama minyak mentah dari negara-negara tersebut adalah melalui jalur laut. Mulai dari pelabuhan di pesisir, Teluk Persia, hingga Selat Hormuz pasti dilalui oleh sebagian besar kapal tanker yang mengantar minyak dari lima negara tersebut.
Bahkan Reuters mengabarkan bahwa Selat Hormuz dilalui oleh seperlima dari konsumsi minyak mentah global. Sebagai informasi, permintaan minyak mentah dunia tahun 2019 diprediksi akan sebesar 99,91 juta barel/hari, berdasarkan estimasi Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC).
Nah, bila perang terbuka benar-benar pecah di Teluk Persia, pasokan minyak tersebut pasti akan sulit untuk dilempar ke pasar. Tidak ada kapal tanker yang mau melintasi daerah perang.
Jalur distribusi minyak juga sulit untuk diubah begitu saja karena melibatkan banyak infrastruktur besar yang kompleks seperti jaringan pipa, pelabuhan, dan kilang penyimpanan.
![]() |
Bisa saja negara-negara eksportir minyak mencari jalur laut alternatif. Namun pasti tidak akan dapat dieksekusi dalam waktu dekat. Perlu waktu untuk membangun infrastruktur distribusi minyak. Bisa juga melalui jalur darat, tetapi sangat tidak efisien dan membutuhkan biaya yang besar.
Melihat sejarahnya, pengurangan pasokan memang berdampak sangat signifikan terhadap harga minyak. Terbaru, mulai Januari 2019, OPEC dan sekutunya memangkas produksi hingga 1,2 juta barel/hari. Langkah tersebut terbukti mengerek harga minyak sebesar 30% sepanjang kuartal I-2019.
Pada periode tersebut, harga Brent, yang menjadi acuan Eropa, naik dari US$ 54,91/barel (2 Januari 2019) menjadi US$ 68,39/barel (29 Maret 2019). Artinya pengurangan pasokan 1,2 juta barel/hari atau 1,2% dari permintaan global mampu mengangkat harga minyak sebesar US$ 13,48/barel.
Untuk sampai ke level US$ 150/barel harga minyak Brent saat ini (US$ 63,38/barel) butuh tambahan sebesar US$ 86,62/barel. Mengingat risiko kehilangan pasokan sebesar 16,06 juta barel/hari jika terjadi perang, tampaknya harga minyak memang berpotensi ke level US$ 150/barel.
Sebagai informasi, harga minyak Brent belum pernah menyentuh level US$ 150/barel. Paling tinggi terjadi pada 3 Juli 2008 sebesar US$ 146/barel. Namun perlu diingat bahwa negara-negara produsen minyak besar lain seperti Rusia akan dengan senang hati menggenjot produksi untuk memastikan kecukupan pasokan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Most Popular