
AS-China Adem, Bursa Saham Asia Malah Ambruk
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
22 July 2019 17:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Seluruh bursa saham utama kawasan Asia kompak menutup perdagangan pertama di pekan ini, Senin (22/7/2019) di zona merah: indeks Nikkei turun 0,23%, indeks Shanghai ambruk 1,27% indeks Hang Seng jatuh 1,37%, indeks Straits Times melemah 0,61%, dan indeks Kospi terkoreksi 0,05%.
Sejatinya, ada kabar positif terkait perang dagang AS-China. Xinhua News Agency yang merupakan media milik pemerintah China melaporkan, dengan mengutip beberapa sumber yang mengetahui masalah tersebut, bahwa perusahaan-perusahaan asal Negeri Panda kini tengah berusaha untuk melakukan pembelian produk agrikultur dari AS dengan jumlah yang lebih besar, dilansir dari Reuters.
Seperti yang diketahui, pascaberbincang sekitar 80 menit di sela-sela gelaran KTT G20 di Jepang pada akhir bulan lalu, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping menyetujui gencatan senjata di bidang perdagangan sekaligus membuka kembali pintu negosiasi yang sempat tertutup.
Kala itu, Trump menyebut bahwa China setuju untuk membeli produk agrikultur asal AS dalam jumlah yang besar. Namun pada pekan lalu, Trump mengatakan bahwa hingga kini China belum juga menepati janjinya tersebut.
Mengutip Reuters, Xinhua menyebut bahwa perusahaan-perusahaan asal China telah mengajukan permintaan kepada eksportir asal AS untuk membeli produk agrikultur, serta mengajukan permohonan ke otoritas China untuk dibebaskan dari bea masuk tambahan yang sebelumnya harus mereka tanggung lantaran ada perang dagang AS-China.
Kekhawatiran bahwa The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS tak akan bertindak kelewat dovish menjadi faktor yang memantik aksi jual di bursa saham Benua Kuning pada hari ini.
Sejatinya, sempat membuncah optimisme yang begitu besar bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan hingga 50 bps (basis poin) dalam pertemuannya bulan ini.
Optimisme tersebut membuncah seiring dengan komentar yang dilontarkan John Williams selaku New York Federal Reserve President.
Williams mengatakan bahwa The Fed perlu untuk "bertindak cepat" di tengah pelemahan ekonomi yang saat ini tengah terjadi, dilansir dari CNBC International.
"Lebih baik untuk mengambil langkah pencegahan ketimbang menunggu datangnya bencana," kata Williams.
Namun, pernyataan tersebut kemudian didinginkan oleh Federal Reserve Bank of New York yang menyebut bahwa pernyataan dari Williams tersebut bersifat akademis dan tidak mencerminkan arah kebijakan moneter dari bank sentral paling berpengaruh di dunia tersebut.
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 22 Juli 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps pada pertemuan bulan ini hanya tersisa 24,5%. Padahal sebelumnya, merespons pernyataan dari Williams, probabilitasnya sempat melonjak menjadi ke atas 50%.
Kini, pelaku pasar meyakini bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang akan dieksekusi oleh The Fed pada akhir bulan ini hanya sebesar 25 bps, di mana probabilitasnya mencapai 75,5%.
Absennya pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang signifikan dikhawatirkan akan membuat negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut mengalami hard landing.
Sebelumnya, Bank Dunia (World Bank) memproyeksikan perekonomian AS tumbuh sebesar 2,5% pada tahun 2019, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Pada tahun 2018, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9%, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas) Next Article Kesepakatan Dagang Tahap Satu Diteken, Bursa Asia Kompak Naik
Sejatinya, ada kabar positif terkait perang dagang AS-China. Xinhua News Agency yang merupakan media milik pemerintah China melaporkan, dengan mengutip beberapa sumber yang mengetahui masalah tersebut, bahwa perusahaan-perusahaan asal Negeri Panda kini tengah berusaha untuk melakukan pembelian produk agrikultur dari AS dengan jumlah yang lebih besar, dilansir dari Reuters.
Seperti yang diketahui, pascaberbincang sekitar 80 menit di sela-sela gelaran KTT G20 di Jepang pada akhir bulan lalu, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping menyetujui gencatan senjata di bidang perdagangan sekaligus membuka kembali pintu negosiasi yang sempat tertutup.
Kala itu, Trump menyebut bahwa China setuju untuk membeli produk agrikultur asal AS dalam jumlah yang besar. Namun pada pekan lalu, Trump mengatakan bahwa hingga kini China belum juga menepati janjinya tersebut.
Mengutip Reuters, Xinhua menyebut bahwa perusahaan-perusahaan asal China telah mengajukan permintaan kepada eksportir asal AS untuk membeli produk agrikultur, serta mengajukan permohonan ke otoritas China untuk dibebaskan dari bea masuk tambahan yang sebelumnya harus mereka tanggung lantaran ada perang dagang AS-China.
Kekhawatiran bahwa The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS tak akan bertindak kelewat dovish menjadi faktor yang memantik aksi jual di bursa saham Benua Kuning pada hari ini.
Sejatinya, sempat membuncah optimisme yang begitu besar bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan hingga 50 bps (basis poin) dalam pertemuannya bulan ini.
Optimisme tersebut membuncah seiring dengan komentar yang dilontarkan John Williams selaku New York Federal Reserve President.
Williams mengatakan bahwa The Fed perlu untuk "bertindak cepat" di tengah pelemahan ekonomi yang saat ini tengah terjadi, dilansir dari CNBC International.
"Lebih baik untuk mengambil langkah pencegahan ketimbang menunggu datangnya bencana," kata Williams.
Namun, pernyataan tersebut kemudian didinginkan oleh Federal Reserve Bank of New York yang menyebut bahwa pernyataan dari Williams tersebut bersifat akademis dan tidak mencerminkan arah kebijakan moneter dari bank sentral paling berpengaruh di dunia tersebut.
![]() |
Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 22 Juli 2019, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 50 bps pada pertemuan bulan ini hanya tersisa 24,5%. Padahal sebelumnya, merespons pernyataan dari Williams, probabilitasnya sempat melonjak menjadi ke atas 50%.
Kini, pelaku pasar meyakini bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang akan dieksekusi oleh The Fed pada akhir bulan ini hanya sebesar 25 bps, di mana probabilitasnya mencapai 75,5%.
Absennya pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang signifikan dikhawatirkan akan membuat negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut mengalami hard landing.
Sebelumnya, Bank Dunia (World Bank) memproyeksikan perekonomian AS tumbuh sebesar 2,5% pada tahun 2019, sebelum kemudian turun drastis menjadi 1,7% pada tahun 2020. Pada tahun 2018, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9%, menandai laju pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2015 silam.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas) Next Article Kesepakatan Dagang Tahap Satu Diteken, Bursa Asia Kompak Naik
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular