
BI Pangkas Bunga Acuan, Menarik Mana Tabungan atau Obligasi?
Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
22 July 2019 16:50

Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan atau BI 7Day Repo Rate (BI 7Day RR) sebesar 25 basis poin menjadi 5,75% merangsang peningkatan likuiditas di pasar modal. Ada potensi peralihan dana dari produk perbankan ke obligasi.
Menurut Kepala Riset PT Koneksi Kapital Indonesia Alfred Nainggolan ada kecenderungan nasabah mengalihkan dana dari tabungan dari perbankan ke instrumen surat berharga negara (SBN) atau obligasi karena memberikan imbal hasil (return) yang lebih tinggi.
Sebagai gambaran misalnya, yield obligasi yang jatuh tempo 10 tahun, imbal hasilnya pada pada kisaran 7,14% berdasarkan data Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI). Artinya ada selisih spread sebesar 1,39% dari suku bunga acuan Bank Indonesia.
"Ada (kecenderungan beralih ke obligasi), masyarakat, mencari return yang lebih besar," kata Alfred, kepada CNBC Indonesia, Senin (22/7/2019).
Namun, tambah Alfred, setelah pemangkasan suku bunga acuan oleh bank sentral, imbal hasil (yield) surat berharga negara akan membentuk keseimbangan baru atau yield bisa lebih rendah dari saat ini.
"Artinya tidak akan menjadi alasan pasar untuk bisa switch ke obligasi pasar surat berharga dengan pemangkasan kemarin. Kecuali pasar melihat ada tren BI satu tahun menurunkan suku bunga," ungkapnya.
Ada kecenderungan fund manajer, asuransi dan dana pensiun akan mengurangi penempatan dana di deposito perbankan jika suku bunga acua turun. Biasanya, dana tersebut akan dipindahkan untuk menambah kepemilikan pada obligasi negara.
Likuditas Bank
Alfred menambahkan, dampak penurunan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin bagi likuiditas emiten perbankan bursa, utamanya bank buku empat tidak akan terlalu berpengaruh.
Sebab, sebelumnya pada 21 Juni 2019, otoritas moneter sudah melonggarkan kebijakan penurunan suku bunga giro wajib minimum (GWM) untuk bank umum dan bank syariah sebesar 50 basis poin. Kebijakan ini berlaku pada awal Juli dan diprediksi dapat menyuntikkan likuiditas Rp 25 triliun.
"BI sudah melonggarkan GWM, artinya kemugninan bahwa dampak penurunan suku bunga ke likuiditas tidak besar," tandasnya.
(hps/hps) Next Article Live! Takar Cuan Saat Sulit, Obligasi Negara Vs Tabungan
Menurut Kepala Riset PT Koneksi Kapital Indonesia Alfred Nainggolan ada kecenderungan nasabah mengalihkan dana dari tabungan dari perbankan ke instrumen surat berharga negara (SBN) atau obligasi karena memberikan imbal hasil (return) yang lebih tinggi.
Sebagai gambaran misalnya, yield obligasi yang jatuh tempo 10 tahun, imbal hasilnya pada pada kisaran 7,14% berdasarkan data Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI). Artinya ada selisih spread sebesar 1,39% dari suku bunga acuan Bank Indonesia.
"Ada (kecenderungan beralih ke obligasi), masyarakat, mencari return yang lebih besar," kata Alfred, kepada CNBC Indonesia, Senin (22/7/2019).
"Artinya tidak akan menjadi alasan pasar untuk bisa switch ke obligasi pasar surat berharga dengan pemangkasan kemarin. Kecuali pasar melihat ada tren BI satu tahun menurunkan suku bunga," ungkapnya.
Ada kecenderungan fund manajer, asuransi dan dana pensiun akan mengurangi penempatan dana di deposito perbankan jika suku bunga acua turun. Biasanya, dana tersebut akan dipindahkan untuk menambah kepemilikan pada obligasi negara.
Likuditas Bank
Alfred menambahkan, dampak penurunan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin bagi likuiditas emiten perbankan bursa, utamanya bank buku empat tidak akan terlalu berpengaruh.
Sebab, sebelumnya pada 21 Juni 2019, otoritas moneter sudah melonggarkan kebijakan penurunan suku bunga giro wajib minimum (GWM) untuk bank umum dan bank syariah sebesar 50 basis poin. Kebijakan ini berlaku pada awal Juli dan diprediksi dapat menyuntikkan likuiditas Rp 25 triliun.
"BI sudah melonggarkan GWM, artinya kemugninan bahwa dampak penurunan suku bunga ke likuiditas tidak besar," tandasnya.
(hps/hps) Next Article Live! Takar Cuan Saat Sulit, Obligasi Negara Vs Tabungan
Most Popular