Rupiah Melemah, Khasiat 'Jamu Manis' BI Sudah Habis?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 July 2019 08:42
Rupiah Melemah, Khasiat 'Jamu Manis' BI Sudah Habis?
Ilustrasi Rupiah (REUTERS/Darren Whiteside)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Apakah efek 'obat kuat' dari Bank Indonesia (BI) sudah habis? 

Pada Senin (22/7/2019), US$ 1 dihargai Rp 13.940 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah tipis 0,07% dibandingkan kala penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah tambah dalam. Pada pukul 08:13 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 13.955 di mana rupiah melemah 0,18%. 

Sepertinya rupiah terserang aksi ambil untung. Maklum, rupiah lumayan perkasa pekan lalu bahkan menjadi mata uang terkuat di Asia. 

Sepanjang minggu kemarin, rupiah menguat 0,49% di hadapan dolar AS. Sementara dolar Singapura melemah 0,17%, ringgit Malaysia melemah 0,02%, yen Jepang menguat 0,18%, dan yuan China melemah 0,02%. 


Oleh karena itu, investor yang merasa sudah mendapat cuan dari rupiah pun mulai merealisasikan keuntungan. Rupiah mengalami tekanan jual sehingga nilainya melemah. 

Selain faktor domestik tersebut, sebenarnya pelemahan rupiah patut dimaklumi karena mayoritas mata uang utama Asia pagi ini juga melemah di hadapan dolar AS. Hanya dolar Hong Kong yang masih mampu menguat, itu pun dalam kisaran terbatas. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 08:13 WIB: 




(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dolar AS memang bangkit setelah terpuruk akhir pekan lalu akibat komentar Presiden The Federal Reserves/The Fed New York John Williams. Dalam sebuah forum, Williams menegaskan bahwa perekonomian AS butuh stimulus baru. Bank sentral tidak bisa diam sambil menunggu ekonomi memburuk baru mengambil kebijakan. 

"Lebih baik mengambil langkah preventif daripada menunggu bencana terjadi. Saat Anda sudah menghabiskan begitu banyak stimulus, yang harus dilakukan selanjutnya adalah menurunkan suku bunga dengan segera saat tanda-tanda perlambatan ekonomi sudah terlihat," jelas Williams, seperti dikutip dari Reuters. 


Namun kemudian datang sanggahan dari kantor The Fed New York. Menurut mereka, pernyataan Williams bersifat akademik, bukan menunjukkan arah kebijakan suku bunga The Fed. 

Sanggahan dari The Fed New York membuat pasar mundur teratur. Awalnya pelaku pasar memperkirakan The Fed bisa memangkas suku bunga acuan sampai 50 basis poin )bps) dalam rapat akhir bulan ini. Namun melihat perkembangan terbaru, sepertinya penurunan Federal Funds Rate 25 bps lebih masuk akal. 

Mengutip CME Fedwatch, probabilitas penurunan suku bunga acuan AS sebesar 25 bps ke 2-2,25% pada 31 Juli mencapai 77,5%. Sementara peluang pemangkasan 50 bps menjadi 1,75-2% adalah 22,5%. Padahal akhir pekan lalu kemungkinan penurunan 50 bps sempat lebih besar ketimbang 25 bps. 


Sedikit saja sentimen positif sudah menjadi alasan bagi dolar AS untuk menguat. Menipisnya peluang pemangkasan suku bunga acuan secara agresif membuat dolar AS masih lumayan menarik, berinvestasi di mata uang Negeri Paman Sam tidak rugi-rugi amat lah... 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Sementara dari dalam negeri, efek suntikan 'adrenalin' dari penurunan suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate tampaknya mulai mereda. Oke, BI sudah mengubah posisi (stance) dari menjaga stabilitas menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi. Namun dorongan dari sisi kebijakan moneter saja belum cukup untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi domestik. 

Rasanya kini investor menanti bagaimana otoritas fiskal bereaksi cepat untuk meredam perlambatan ekonomi. Sebab setidaknya sampai semester I-2019 belum terlihat betul bagaimana upaya pemerintah untuk menstimulasi perekonomian. 

Realisasi belanja negara hingga paruh pertama 2019 adalah 42%. Malah sedikit lebih rendah ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 42,5%. Pemerintah terlihat masih business as usual, belum ada sense of urgency.  


Padahal perlambatan ekonomi sudah di depan mata. BI memperkirakan ekonomi kuartal II-2019 tumbuh tidak jauh dari kuartal sebelumnya, landai saja. Sementara kuartal II ada Ramadan, Idul Fitri, plus Pemilu yang semestinya bisa mendongrak pertumbuhan ekonomi. Apa namanya kalau bukan gejala perlambatan? 

Saat ini khasiat 'jamu manis' dari BI berupa penurunan suku bunga acuan 25 bps ke 5,75% sepertinya sudah habis. Pasar kembali dalam posisi menunggu, apa sentimen berikutnya yang bisa menjadi penarik minat untuk masuk ke pasar keuangan Indonesia.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular