Rupiah Terangkat Pidato Jokowi, Tapi Digondheli Neraca Dagang

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 July 2019 12:38
Rupiah Terangkat Pidato Jokowi, Tapi Digondheli Neraca Dagang
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) belum berhenti menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Namun rilis data perdagangan belum mampu mendorong laju penguatan rupiah, yang ada malah sedikit membebani. 

Pada Senin (15/7/2019) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 13.925. Rupiah menguat 0,53% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Kala pembukaan pasar, rupiah hanya menguat tipis 0,03%. Seiring perjalanan, apresiasi rupiah semakin meyakinkan. Bahkan dolar AS sempat sudah begitu dekat ke bawah Rp 13.900. 


Namun rilis data perdagangan internasional justru menahan langkah rupiah. Mengutip laporan Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Juni surplus US$ 200 juta. Dengan begitu, surplus neraca perdagangan sudah terjadi selama dua bulan beruntun. 

 

Akan tetapi, surplus tersebut tidak sesuai dengan ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan surplus neraca perdagangan Juni bisa mencapai US$ 516 juta. Konsensus Reuters bahkan lebih tinggi lagi yaitu US$ 690 juta. 

Jadi ada sedikit persepsi bahwa pasokan valas dari sisi perdagangan tidak sebaik yang diperkirakan. Akibatnya penguatan rupiah agak menipis dan dolar AS masih bertahan di kisaran Rp 13.900.


Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah hingga tengah hari ini: 



Meski apresiasi rupiah menipis, tetapi kinerja mata uang Tanah Air masih jauh lebih baik ketimbang para tetangganya. Saat ini mayoritas mata uang utama Asia memang menguat terhadap dolar AS, tetapi rupiah tetap yang nomor satu. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:12 WIB: 

 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Mata uang Asia sempat tertekan saat rilis data pertumbuhan ekonomi China. Pada kuartal II-2019, ekonomi Negeri Tirai Bambu tumbuh 6,2%. Ini adalah laju terlemah setidaknya sejak 1992. 

Namun data-data lain menunjukkan hal yang sebaliknya. Penjualan ritel di China pada Juni tumbuh 9,8% YoY, cukup jauh meningkat dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 8,6% YoY. Angka 9,8% menjadi yang terbaik sejak Maret 2018. 

 

Kemudian produksi industri China pada Juni tumbuh 6,3% YoY, juga cukup jauh dibandingkan bulan sebelumnya yang naik 5%. YoY. Laju pertumbuhan Juni menjadi yang tertinggi sejak Maret. 

Jadi, bisa disimpulkan bahwa memang benar ekonomi China melambat. Namun bukan berarti aktivitas ekonomi di sana tidak ada geliat sama sekali. Data-data Juni yang membaik memberi harapan bahwa ekonomi China tidak akan mengalami hard landing

Ini membuat investor kembali berkenan masuk ke pasar keuangan Asia. Akibatnya, mata uang Asia ramai-ramai menguat. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)


Akan tetapi, mengapa rupiah masih bisa jadi yang terbaik di Asia padahal tidak terbantu oleh data perdagangan? Mungkin ada dua jawaban. 

Pertama, akhir pekan lalu presiden terpilih periode 2019-2014 Joko Widodo (Jokowi) bertemu dengan mantan rivalnya di Pemilihan Presiden (Pilpres) Prabowo Subianto. Ini adalah pertemuan perdana mereka selepas pesta demokrasi. 

Suasana politik yang selama kurang lebih setahun panas kini sudah dingin. Kompetisi politik sudah selesai, dan energi bangsa Indonesia bisa dicurahkan untuk pembangunan. 

Sebelumnya, ketidakpastian dan suhu panas politik menjadi batu sandungan bagi pelaku pasar. Investor belum berani menanamkan modalnya secara agresif di Indonesia, karena faktor tersebut. 

Namun kini ketidakpastian itu sirna. Investor tidak perlu lagi khawatir dengan tensi politik yang meninggi. 


Kedua, investor sudah memperoleh kejelasan mengenai arah pembangunan selama lima tahun ke depan. Tadi malam, Jokowi memaparkan Visi Indonesia yang berisi lima fokus pembangunan yaitu infrastruktur, sumber daya manusia, investasi, reformasi birokrasi, dan optimalisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

Lagi-lagi satu ketidakpastian gugur. Investor kini sudah mendapat gambaran seperti apa arah kebijakan pemerintahan Jokowi pada periode keduanya. Tidak terlampau jauh dibandingkan yang pertama, hanya ada penguatan di sana-sini. 


Indonesia bisa memberi kepastian dari sisi politik dan kebijakan pemerintah ke depan. Investor pun percaya diri untuk masuk ke pasar keuangan Indonesia. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular