Terancam Default, Dirut: Jababeka Jadi Korban Pemegang Saham

Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
08 July 2019 20:30
Emiten pengembang kawasan industri, PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) menempuh sejumlah langkah terkait adanya risiko gagal bayar atas surat utang.
Foto: Konferensi pers direksi PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) terkait ancaman default di Hotel Batavia, Jakarta (CNBC Indonesia/Syahrizal Sidak)
Jakarta, CNBC Indonesia- Emiten pengembang kawasan industri, PT Kawasan Industri Jababeka Tbk (KIJA) menempuh sejumlah langkah terkait adanya risiko gagal bayar atas surat utang (notes) senior yang diterbitkan anak perusahaan, Jababeka International BV (JIBV).

Hal ini disampaikan manajemen dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (8/7/2019). Direktur Utama Jababeka Budianto Liman menyatakan, sebagai perusahaan publik pihaknya menyampaikan potensi terjadinya default tersebut.

"Kita tahu akan ada kejadian ini, karena itu kita memberikan informasi terlebih dahulu (kepada pemegang saham)," kata Budianto Liman.


Budianto menjelaskan, potensi gagal bayar surat utang oleh anak usaha perseroan ini bermula dari Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan pada 26 Juni 2019 yang dalam salah satu agendanya membahas perubahan susunan anggota direksi dan komisaris.

Agenda itu diadakan lantaran adanya usulan dari pemegang saham perseroan, PT Imakotama Investindo dan Islamic Development Bank. Kedua kuasa pemegang saham tersebut mengusulkan Sugiharto sebagai Direktur Utama dan Aries Liman sebagai komisaris. Dalam pemungutan suara pemegang saham, sebanyak 52,11% suara setuju.

Dengan adanya perubahan susunan anggota direksi dan dewan komisaris perusahaan, mengakibatkan perusahaan harus melakukan buyback (pembelian kembali) dengan harga pembelian 101% dari nilai pokok notes sebesar US$ 300 juta atau setara Rp 4,26 triliun (kurs Rp 14.200/US$). Nilai ini belum termasuk kewajiban bunga yang harus dibayarkan.

Pada 15 November 2017 lalu, JIBV menerbitkan guaranteed senior notes 2023 ("Further Notes") sebesar US$ 110,85 juta. Further notes tersebut merupakan terbitan lanjutan dari jenis surat utang yang sama pada 5 dan 19 Oktober 2016 senilai US$ 189,15 juta.

Surat utang tersebut dikenakan suku bunga 6,5% yang dibayarkan tiap semester. Guaranteed senior notes 2023 tersebut diterbitkan berdasarkan perjanjian antara JIBV, KIJA, dan The Bank of New York Mellon sebagai wali amanat.

Perusahaan dengan kode saham KIJA itu menyampaikan adanya potensi risiko gagal bayar untuk memenuhi kewajiban buyback tersebut. Risiko itu terlihat dari total arus kas dan setara kas perusahaan yang per Maret 2019 hanya berjumlah Rp 873,89 miliar rupiah, sedangkan, nilai kewajiban yang harus dibayar mencapai Rp 4,26 triliun.

Budianto Liman menyebut, perseroan belum bisa menempuh opsi pembelian kembali (buyback) obligasi lantaran kondisi keuangan saat ini belum memungkinkan, selain itu juga harus mendapat persetujuan atau legal approval dari pemegang obligasi.

"Kami belum bisa mengambil sikap, masih menunggu legal approval, tapi dilihat dengan kondisi sekarang tidak (memungkinkan opsi buyback)," kata dia menambhakan.

Namun dijelaskan Budianta, pihaknya sudah memiliki rencana pembayaran atau kewajiban perusahaan baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek, termasuk senior notes yang akan jatuh tempo tahun 2023 tersebut.


Ia menyebut dalam waktu dekat pihaknya akan berkomunikasi dengan pemegang saham dalam waktu dekat ini.

"Kita akan melakukan pertemuan dengan pemegang saham, membuat komunikasi. ini perusahaan jadi victim dari acting in concert, bukan karena kinerja," ujarnya.

Acting in concert yang dimaksud Budianto adalah pihak-pihak yang berada di bawah kendali PT Imakotama dan afilisasinya.


(dob/dob) Next Article Jababeka Terancam Gagal Bayar, Ini Kronologinya!

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular