
Asing Sibuk Jualan, IHSG Tutup Pekan Ini di Zona Merah
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 July 2019 17:19

Investor asing yang kurang bergairah membuat IHSG harus pasrah menutup pekan di zona merah. Pada perdagangan hari ini, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 168,5 miliar di pasar reguler.
Saham-saham yang banyak dilego investor asing pada hari ini di antaranya: PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 313,1 miliar), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (Rp 23,9 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 12,5 miliar), PT XL Axiata Tbk/EXCL (Rp 10,2 miliar), dan PT Vale Indonesia Tbk/INCO (Rp 9,8 miliar).
Sedari dini hari tadi, memang sudah terlihat bahwa investor di pasar keuangan dunia sedang cenderung bermain aman. Hal ini terlihat dari pergerakan imbal hasil (yield) obligasi negara-negara besar di kawasan Eropa.
Pada penutupan perdagangan kemarin, yield obligasi pemerintah Jerman tenor 10 tahun berada di level -0,449% yang merupakan level terendah sepanjang masa.
Sementara itu, yield obligasi pemerintah Prancis tenor 10 tahun ditutup di level -0,127%, juga level terendah sepanjang masa. Sementara itu, yield obligasi pemerintah Belgia tenor 10 tahun mengakhiri hari di level -0,056%, level terendah yang pernah dicatatkan sepanjang sejarah.
Sekedar mengingatkan, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Di pasar obligasi, indikator yang diperhatikan pelaku pasar dalam melakukan pengambilan keputusan adalah yield dan bukan kupon karena yield sudah memperhitungkan harga beli dari obligasi tersebut.
Kala yield berada di bawah nol (negatif), pelaku pasar yang membeli di tingkat yield tersebut sebenarnya dipastikan akan mengalami kerugian dalam investasinya lantaran pendapatan dari kupon tak akan bisa menutupi besarnya investasi yang dikeluarkan untuk membeli obligasi tersebut.
Memang, penurunan yield dipicu juga oleh ekspektasi bahwa European Central Bank (ECB) yang merupakan bank sentral dari negara-negara pengdopsi mata uang euro akan bersikap lebih dovish ke depannya guna melawan lemahnya pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Sejauh ini, tiga bank sentral besar di dunia yang pada mulanya bersikap hawkish justru kini sudah menunjukkan sikap dovish. Ketiga bank sentral tersebut adalah: The Federal Reserve (bank sentral AS), Bank of England (bank sentral Inggris), dan ECB.
Kala kebijakan yang lebih dovish seperti pemangkasan tingkat suku bunga acuan serta perpanjangan/peningkatan quantitative easing ditempuh, yield memang seharusnya bergerak ke bawah.
Namun, kalau yield sudah mencapai rekor terendah sepanjang masa seperti yang kita lihat saat ini, pelaku pasar patut khawatir. Pasalnya, jelas terlihat bahwa pelaku pasar keuangan dunia sedang mencoba bermain aman dengan mengalihkan dananya ke instrumen yang aman (safe haven), sekalipun yield sudah berada di bawah nol.
Laju perekonomian dunia yang begitu lemah membuat pelaku pasar mencari perlindungan sembari melepas instrumen berisiko seperti saham, beserta juga mata uang negara-negara berkembang seperti rupiah.
Di Jerman, Manufacturing PMI sudah dalam 5 bulan terakhir berada di bawah 50. Untuk diketahui, angka di bawah 50 menunjukkan bahwa aktivitas manufaktur mengalami kontraksi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Perlu diketahui juga, Jerman merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di kawasan Eropa sehingga lesunya aktivitas manufaktur di sana akan berdampak negatif bagi negara-negara lain di seluruh dunia.
Kemudian di AS yang merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, Manufacturing PMI periode Juni 2019 diumumkan di level 51,7 oleh Institute for Supply Management (ISM), menandai ekspansi sektor manufaktur terlemah yang pernah dicatatkan AS sejak September 2016 silam.
LANJUT KE HALAMAN 3>>
(ank/tas)
Saham-saham yang banyak dilego investor asing pada hari ini di antaranya: PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 313,1 miliar), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (Rp 23,9 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 12,5 miliar), PT XL Axiata Tbk/EXCL (Rp 10,2 miliar), dan PT Vale Indonesia Tbk/INCO (Rp 9,8 miliar).
Sedari dini hari tadi, memang sudah terlihat bahwa investor di pasar keuangan dunia sedang cenderung bermain aman. Hal ini terlihat dari pergerakan imbal hasil (yield) obligasi negara-negara besar di kawasan Eropa.
Sementara itu, yield obligasi pemerintah Prancis tenor 10 tahun ditutup di level -0,127%, juga level terendah sepanjang masa. Sementara itu, yield obligasi pemerintah Belgia tenor 10 tahun mengakhiri hari di level -0,056%, level terendah yang pernah dicatatkan sepanjang sejarah.
Sekedar mengingatkan, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.
Di pasar obligasi, indikator yang diperhatikan pelaku pasar dalam melakukan pengambilan keputusan adalah yield dan bukan kupon karena yield sudah memperhitungkan harga beli dari obligasi tersebut.
Kala yield berada di bawah nol (negatif), pelaku pasar yang membeli di tingkat yield tersebut sebenarnya dipastikan akan mengalami kerugian dalam investasinya lantaran pendapatan dari kupon tak akan bisa menutupi besarnya investasi yang dikeluarkan untuk membeli obligasi tersebut.
Memang, penurunan yield dipicu juga oleh ekspektasi bahwa European Central Bank (ECB) yang merupakan bank sentral dari negara-negara pengdopsi mata uang euro akan bersikap lebih dovish ke depannya guna melawan lemahnya pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
Sejauh ini, tiga bank sentral besar di dunia yang pada mulanya bersikap hawkish justru kini sudah menunjukkan sikap dovish. Ketiga bank sentral tersebut adalah: The Federal Reserve (bank sentral AS), Bank of England (bank sentral Inggris), dan ECB.
Kala kebijakan yang lebih dovish seperti pemangkasan tingkat suku bunga acuan serta perpanjangan/peningkatan quantitative easing ditempuh, yield memang seharusnya bergerak ke bawah.
Namun, kalau yield sudah mencapai rekor terendah sepanjang masa seperti yang kita lihat saat ini, pelaku pasar patut khawatir. Pasalnya, jelas terlihat bahwa pelaku pasar keuangan dunia sedang mencoba bermain aman dengan mengalihkan dananya ke instrumen yang aman (safe haven), sekalipun yield sudah berada di bawah nol.
Laju perekonomian dunia yang begitu lemah membuat pelaku pasar mencari perlindungan sembari melepas instrumen berisiko seperti saham, beserta juga mata uang negara-negara berkembang seperti rupiah.
Di Jerman, Manufacturing PMI sudah dalam 5 bulan terakhir berada di bawah 50. Untuk diketahui, angka di bawah 50 menunjukkan bahwa aktivitas manufaktur mengalami kontraksi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.
Perlu diketahui juga, Jerman merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di kawasan Eropa sehingga lesunya aktivitas manufaktur di sana akan berdampak negatif bagi negara-negara lain di seluruh dunia.
Kemudian di AS yang merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, Manufacturing PMI periode Juni 2019 diumumkan di level 51,7 oleh Institute for Supply Management (ISM), menandai ekspansi sektor manufaktur terlemah yang pernah dicatatkan AS sejak September 2016 silam.
LANJUT KE HALAMAN 3>>
Next Page
Apresiasi Rupiah Jadi Tak Nendang
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular