Cadangan Devisa Kian Gemuk, IHSG Malah Singset

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
05 July 2019 12:58
Cadangan Devisa Tambah Gemuk, Tapi Rupiah Malah Melemah
Foto: Cadangan Devisa Mei 2019 Anjlok USD 4 Miliar (CNBC Indonesia TV)
Pelemahan rupiah membuat IHSG tak bisa mengikuti jejak mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang berhasil melaju di zona hijau. Hingga siang hari, rupiah melemah 0,06% di pasar spot ke level Rp 14.143/dolar AS.

Hawa bermain aman memang terasa di pasar keuangan dunia saat ini. Hal ini terlihat dari pergerakan imbal hasil (yield) obligasi negara-negara besar di kawasan Eropa.


Kini, yield obligasi pemerintah Jerman tenor 10 tahun berada di level -0,398% yang merupakan level terendah sepanjang masa.

Sementara itu, yield obligasi pemerintah Prancis tenor 10 tahun berada di level -0,127%, juga level terendah sepanjang masa. Sementara itu, yield obligasi pemerintah Belgia tenor 10 tahun berada di level –0,056%, level terendah yang pernah dicatatkan sepanjang sejarah.

Sekedar mengingatkan, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Di pasar obligasi, indikator yang diperhatikan pelaku pasar dalam melakukan pengambilan keputusan adalah yield dan bukan kupon karena yield sudah memperhitungkan harga beli dari obligasi tersebut.

Kala yield berada di bawah nol (negatif), pelaku pasar yang membeli di tingkat yield tersebut sebenarnya dipastikan akan mengalami kerugian dalam investasinya lantaran pendapatan dari kupon tak akan bisa menutupi besarnya investasi yang dikeluarkan untuk membeli obligasi tersebut.

Cadangan Devisa Tambah Gemuk, IHSG Malah MelemahFoto: Bank Sentral Eropa (REUTERS/Kai Pfaffenbach)


Memang, penurunan yield dipicu juga oleh ekspektasi bahwa European Central Bank (ECB) yang merupakan bank sentral dari negara-negara pengdopsi mata uang euro akan bersikap lebih dovish ke depannya guna melawan lemahnya pertumbuhan ekonomi dan inflasi.

Sejauh ini, tiga bank sentral besar di dunia yang pada mulanya bersikap hawkish justru kini sudah menunjukkan sikap dovish. Ketiga bank sentral tersebut adalah: The Federal Reserve (bank sentral AS), Bank of England (bank sentral Inggris), dan ECB.

Kala kebijakan yang lebih dovish seperti pemangkasan tingkat suku bunga acuan serta perpanjangan/peningkatan quantitative easing ditempuh, yield memang seharunya bergerak ke bawah.

Namun, kalau yield sudah mencapai rekor terendah sepanjang masa seperti yang kita lihat saat ini, pelaku pasar patut khawatir. Pasalnya, jelas terlihat bahwa pelaku pasar keuangan dunia sedang mencoba bermain aman dengan mengalihkan dananya ke instrumen yang aman (safe haven), sekalipun yield sudah berada di bawah nol.

Laju perekonomian dunia yang begitu lemah membuat pelaku pasar mencari perlindungan sembari melepas instrumen berisiko seperti saham, beserta juga mata uang negara-negara berkembang seperti rupiah.

Di Jerman, Manufacturing PMI sudah dalam 5 bulan terakhir berada di bawah 50. Untuk diketahui, angka di bawah 50 menunjukkan bahwa aktivitas manufaktur mengalami kontraksi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya.

Perlu diketahui juga, Jerman merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di kawasan Eropa sehingga lesunya aktivitas manufaktur di sana akan berdampak negatif bagi negara-negara lain di seluruh dunia.


Kemudian di AS yang merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, Manufacturing PMI periode Juni 2019 diumumkan di level 51,7 oleh Institute for Supply Management (ISM), menandai ekspansi sektor manufaktur terlemah yang pernah dicatatkan AS sejak September 2016 silam.

Padahal, ada kabar baik bagi rupiah yakni cadangan devisa Indonesia yang bertambah gemuk. Pada hari ini, Bank Indonesia (BI) mengumumkan bahwa cadangan devisa Indonesia per akhir Juni 2019 berada di level US$ 123,82 miliar atau melonjak sebesar US$ 3,5 miliar dari bulan sebelumnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/tas)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular