
Tak Direstui Sentimen Global, IHSG Berakhir di Zona Merah
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
03 July 2019 16:48

Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan dengan koreksi sebesar 0,34% ke level 6.362,96, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menghabiskan mayoritas waktunya hari ini, Rabu (3/7/2019) di zona merah.
Per akhir sesi dua, IHSG melemah 0,35% ke level 6.362,62. Setelah mencetak reli selama 4 hari, kini pelaku pasar saham tanah air memilih untuk 'ambil nafas' terlebih dahulu.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG melemah di antaranya: PT Bayan Resources Tbk/BYAN (-12,26%), PT Adaro Energy Tbk/ADRO (-4,23%), PT Vale Indonesia Tbk/INCO (-4,87%), PT Pakuwon Jati Tbk/PWON (-4,03%), dan PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-0,39%).
Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang sedang kompak ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei turun 0,53%, indeks Shanghai turun 0,94%, indeks Hang Seng turun 0,07%, indeks Straits Times turun 0,12%, dan indeks Kospi turun 1,23%.
Kekhawatiran bahwa hubungan AS dengan China di bidang perdagangan akan memanas sukses memantik aksi jual di bursa saham Benua Kuning.
Seperti yang diketahui, setelah berbincang sekitar 80 menit di sela-sela gelaran KTT G20 di Jepang pada akhir pekan kemarin, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping menyetujui gencatan senjata di bidang perdagangan sekaligus membuka kembali pintu negosiasi yang sempat tertutup.
Dilansir dari CNBC International, kedua negara secara terpisah mengumumkan bahwa mereka telah setuju untuk tak saling mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor dari masing-masing negara.
Media milik pemerintah China Xinhua menyebut bahwa kedua pimpinan negara setuju "untuk memulai kembali negosiasi dagang antar kedua negara dengan dasar kesetaraan dan rasa hormat."
Trump kemudian menyebut bahwa AS meringankan sanksi yang sebelumnya dibebankan kepada raksasa pembuat perangkat telekomunikasi asal China, Huawei.
"Salah satu hal yang akan saya izinkan adalah - banyak orang terkejut bahwa kami mengirim dan menjual banyak sekali produk ke Huawei yang pada akhirnya diproduksi menjadi berbagai macam hal - dan saya katakan oke, kami akan tetap menjual produk tersebut," kata Trump, dilansir dari CNBC International.
Sebelumnya pada bulan Mei, AS memasukkan Huawei ke dalam daftar hitam yang membuat perusahaan-perusahaan asal AS tak bisa menjual atau mentransfer teknologi yang mereka miliki ke Huawei tanpa adanya lisensi khusus.
Namun ternyata, pelonggaran sanksi yang diberikan AS tak sesignifikan yang sebelumnya diisyaratkan oleh Trump.
Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow menyebut bahwa pemerintah AS tidak mengeluarkan Huawei dari daftar hitam dan pihaknya hanya akan menerbitkan izin lebih banyak bagi perusahaan asal AS untuk menjual produknya ke Huawei selama produk tersebut tak membawa ancaman bagi kemanan nasional AS.
"Huawei akan tetap masuk dalam daftar hitam di mana akan ada kontrol ekspor yang ketat dan dalam hal yang berkaitan dengan kemanan nasional maka tak akan ada izin yang diterbitkan (bagi perusahaan AS untuk berbisnis dengan Huawei)," kata Kudlow dalam wawancara dengan Fox News, dilansir dari CNBC International.
Parahnya lagi, kini Trump justru ingin kesepakatan dagang AS-China dibuat untuk lebih menguntungkan AS.
"Itu (kesepakatan dagang) haruslah lebih menguntungkan kita ketimbang China karena mereka telah mengambil keuntungan yang sangat besar (dari AS) untuk begitu lama," cetus Trump di Gedung Putih pada hari Senin (1/7/2019), dilansir dari CNBC International.
"Sudah jelas Anda tidak bisa membuat kesepakatan 50-50. Itu (kesepakatan dagang) haruslah lebih menguntungkan kami," lanjut presiden AS ke-45 tersebut.
Jika AS tetap bersikap keras seperti ini, dikhawatirkan kubu China akan panas dan membuat negosiasi dagang kembali menjadi mandek. Jika ini yang terjadi, nampaknya eskalasi perang dagang akan sulit untuk dihindarkan.
LANJUT KE HALAMAN 2>>
Lebih lanjut, potensi meletusnya perang dagang AS-Uni Eropa dalam waktu dekat ikut memantik aksi jual di bursa saham regional.
Ya, belum juga perang dagang AS-China beres, pelaku pasar kini harus dihadapkan pada potensi perang dagang antara negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia melawan blok ekonomi dengan nilai perekonomian terbesar di dunia.
Seperti yang diketahui, AS sudah lama dibuat geram oleh langkah Uni Eropa yang memberikan subsidi kepada Airbus sehingga membuat pabrikan pesawat asal AS, Boeing, menjadi kurang kompetitif.
Pada bulan April, Kantor Perwakilan Dagang AS sudah merilis daftar produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 21 miliar yang akan dikenakan bea masuk baru. Uni Eropa pun membalas dengan merilis daftar produk AS yang berpotensi dikenakan bea masuk baru. Nilainya mencapai US$ 20 miliar.
Produk-produk AS yang bisa terkena bea masuk di antaranya adalah pesawat terbang, helikopter, produk kimia, ikan beku, jeruk sitrus, saus sambal, tembakau, koper, traktor, hingga konsol video game.
Perkembangan terbaru, pada hari Senin waktu setempat Kantor Perwakilan Dagang AS merilis daftar produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 4 miliar yang bisa ikut dikenakan bea masuk baru. Barang-barang yang disasar AS kali ini berkisar mulai dari makanan hingga minuman keras.
Kantor Perwakilan Dagang AS menyebut bahwa periode dengar pendapat terkait dengan rencana pengenaan bea masuk baru bagi produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 4 miliar tersebut akan dilakukan pada tanggal 5 Agustus.
Kala negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia berperang di bidang perdagangan melawan blok ekonomi dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, hasilnya bisa ditebak. Arus perdagangan global akan terganggu dan menekan aktivitas produksi di seluruh dunia. Pada akhirnya, laju pertumbuhan ekonomi akan melandai.
LANJUT KE HALAMAN 3>>
Sejatinya, perdagangan IHSG pada hari ini bukannya tak diselimuti sentimen positif sama sekali.
Pada perdagangan kemarin, harga minyak WTI kontrak pengiriman periode Agustus 2019 ambruk 4,81% ke level US$ 56,25/barel, sementara minyak brent kontrak pengiriman periode September 2019 anjlok 4,09% ke level US$ 62,4/barel.
Harga minyak mentah bergerak ke selatan merespons potensi eskalasi perang dagang AS-China dan potensi meletusnya perang dagang AS-Uni Eropa. Pelemahan laju pertumbuhan ekonomi sebagai efek samping perang dagang memang akan membuat harga komoditas, utamanya yang merupakan sumber energi, tertekan.
Ambruknya harga minyak mentah bisa berdampak positif bagi Indonesia lantaran akan memantik optimisme bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan menjadi bisa diredam. Pada akhirnya, rupiah menguat seiring dengan sokongan fundamental yang lebih kuat.
Hingga sore hari, rupiah ditransaksikan menguat 0,14% di pasar spot ke level Rp 14.115/dolar AS.
Sayang, potensi eskalasi perang dagang AS-China dan potensi meletusnya perang dagang AS-Uni Eropa terbukti lebih dominan dalam mendikte pergerakan IHSG.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000
Per akhir sesi dua, IHSG melemah 0,35% ke level 6.362,62. Setelah mencetak reli selama 4 hari, kini pelaku pasar saham tanah air memilih untuk 'ambil nafas' terlebih dahulu.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG melemah di antaranya: PT Bayan Resources Tbk/BYAN (-12,26%), PT Adaro Energy Tbk/ADRO (-4,23%), PT Vale Indonesia Tbk/INCO (-4,87%), PT Pakuwon Jati Tbk/PWON (-4,03%), dan PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (-0,39%).
![]() |
Kekhawatiran bahwa hubungan AS dengan China di bidang perdagangan akan memanas sukses memantik aksi jual di bursa saham Benua Kuning.
Seperti yang diketahui, setelah berbincang sekitar 80 menit di sela-sela gelaran KTT G20 di Jepang pada akhir pekan kemarin, Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping menyetujui gencatan senjata di bidang perdagangan sekaligus membuka kembali pintu negosiasi yang sempat tertutup.
Dilansir dari CNBC International, kedua negara secara terpisah mengumumkan bahwa mereka telah setuju untuk tak saling mengenakan bea masuk baru terhadap produk impor dari masing-masing negara.
Media milik pemerintah China Xinhua menyebut bahwa kedua pimpinan negara setuju "untuk memulai kembali negosiasi dagang antar kedua negara dengan dasar kesetaraan dan rasa hormat."
Trump kemudian menyebut bahwa AS meringankan sanksi yang sebelumnya dibebankan kepada raksasa pembuat perangkat telekomunikasi asal China, Huawei.
"Salah satu hal yang akan saya izinkan adalah - banyak orang terkejut bahwa kami mengirim dan menjual banyak sekali produk ke Huawei yang pada akhirnya diproduksi menjadi berbagai macam hal - dan saya katakan oke, kami akan tetap menjual produk tersebut," kata Trump, dilansir dari CNBC International.
Sebelumnya pada bulan Mei, AS memasukkan Huawei ke dalam daftar hitam yang membuat perusahaan-perusahaan asal AS tak bisa menjual atau mentransfer teknologi yang mereka miliki ke Huawei tanpa adanya lisensi khusus.
Namun ternyata, pelonggaran sanksi yang diberikan AS tak sesignifikan yang sebelumnya diisyaratkan oleh Trump.
Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow menyebut bahwa pemerintah AS tidak mengeluarkan Huawei dari daftar hitam dan pihaknya hanya akan menerbitkan izin lebih banyak bagi perusahaan asal AS untuk menjual produknya ke Huawei selama produk tersebut tak membawa ancaman bagi kemanan nasional AS.
"Huawei akan tetap masuk dalam daftar hitam di mana akan ada kontrol ekspor yang ketat dan dalam hal yang berkaitan dengan kemanan nasional maka tak akan ada izin yang diterbitkan (bagi perusahaan AS untuk berbisnis dengan Huawei)," kata Kudlow dalam wawancara dengan Fox News, dilansir dari CNBC International.
Parahnya lagi, kini Trump justru ingin kesepakatan dagang AS-China dibuat untuk lebih menguntungkan AS.
"Itu (kesepakatan dagang) haruslah lebih menguntungkan kita ketimbang China karena mereka telah mengambil keuntungan yang sangat besar (dari AS) untuk begitu lama," cetus Trump di Gedung Putih pada hari Senin (1/7/2019), dilansir dari CNBC International.
"Sudah jelas Anda tidak bisa membuat kesepakatan 50-50. Itu (kesepakatan dagang) haruslah lebih menguntungkan kami," lanjut presiden AS ke-45 tersebut.
Jika AS tetap bersikap keras seperti ini, dikhawatirkan kubu China akan panas dan membuat negosiasi dagang kembali menjadi mandek. Jika ini yang terjadi, nampaknya eskalasi perang dagang akan sulit untuk dihindarkan.
LANJUT KE HALAMAN 2>>
Lebih lanjut, potensi meletusnya perang dagang AS-Uni Eropa dalam waktu dekat ikut memantik aksi jual di bursa saham regional.
Ya, belum juga perang dagang AS-China beres, pelaku pasar kini harus dihadapkan pada potensi perang dagang antara negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia melawan blok ekonomi dengan nilai perekonomian terbesar di dunia.
Seperti yang diketahui, AS sudah lama dibuat geram oleh langkah Uni Eropa yang memberikan subsidi kepada Airbus sehingga membuat pabrikan pesawat asal AS, Boeing, menjadi kurang kompetitif.
Pada bulan April, Kantor Perwakilan Dagang AS sudah merilis daftar produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 21 miliar yang akan dikenakan bea masuk baru. Uni Eropa pun membalas dengan merilis daftar produk AS yang berpotensi dikenakan bea masuk baru. Nilainya mencapai US$ 20 miliar.
Produk-produk AS yang bisa terkena bea masuk di antaranya adalah pesawat terbang, helikopter, produk kimia, ikan beku, jeruk sitrus, saus sambal, tembakau, koper, traktor, hingga konsol video game.
Perkembangan terbaru, pada hari Senin waktu setempat Kantor Perwakilan Dagang AS merilis daftar produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 4 miliar yang bisa ikut dikenakan bea masuk baru. Barang-barang yang disasar AS kali ini berkisar mulai dari makanan hingga minuman keras.
Kantor Perwakilan Dagang AS menyebut bahwa periode dengar pendapat terkait dengan rencana pengenaan bea masuk baru bagi produk impor asal Uni Eropa senilai US$ 4 miliar tersebut akan dilakukan pada tanggal 5 Agustus.
Kala negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia berperang di bidang perdagangan melawan blok ekonomi dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, hasilnya bisa ditebak. Arus perdagangan global akan terganggu dan menekan aktivitas produksi di seluruh dunia. Pada akhirnya, laju pertumbuhan ekonomi akan melandai.
LANJUT KE HALAMAN 3>>
Sejatinya, perdagangan IHSG pada hari ini bukannya tak diselimuti sentimen positif sama sekali.
Pada perdagangan kemarin, harga minyak WTI kontrak pengiriman periode Agustus 2019 ambruk 4,81% ke level US$ 56,25/barel, sementara minyak brent kontrak pengiriman periode September 2019 anjlok 4,09% ke level US$ 62,4/barel.
Harga minyak mentah bergerak ke selatan merespons potensi eskalasi perang dagang AS-China dan potensi meletusnya perang dagang AS-Uni Eropa. Pelemahan laju pertumbuhan ekonomi sebagai efek samping perang dagang memang akan membuat harga komoditas, utamanya yang merupakan sumber energi, tertekan.
Ambruknya harga minyak mentah bisa berdampak positif bagi Indonesia lantaran akan memantik optimisme bahwa defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD) akan menjadi bisa diredam. Pada akhirnya, rupiah menguat seiring dengan sokongan fundamental yang lebih kuat.
Hingga sore hari, rupiah ditransaksikan menguat 0,14% di pasar spot ke level Rp 14.115/dolar AS.
Sayang, potensi eskalasi perang dagang AS-China dan potensi meletusnya perang dagang AS-Uni Eropa terbukti lebih dominan dalam mendikte pergerakan IHSG.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular