
Saham IPO, Menarik atau Enggak buat Manajer Investasi?
Monica Wareza, CNBC Indonesia
03 July 2019 18:07

Jakarta, CNBC Indonesia - Manajer investasi saat ini enggan untuk berinvestasi di saham-saham yang baru melaksanakan penawaran umum perdana alias initial public offering/IPO. Salah satu pertimbangan yang jadi tolok ukur dan paling utama adalah likuiditas perdagangan saham emiten baru.
Direktur PT Panin Asset Management Rudiyanto mengatakan manajer investasi cukup selektif dalam memilih saham untuk membenamkan dana nasabah.
Menurut dia memang tak tertutup kemungkinan manajer investasi bisa memilih saham-saham di papan pengembangan (bukan papan utama), asalkan saham ini memenuhi kualifikasi dari sisi valuasi dan likuiditas.
"Mau di papan pengembangan atau besar, sepanjang secara valuasi murah, dan cukup likuid bisa jadi pertimbangan," kata Rudiyanto kepada CNBC Indonesia, Rabu (3/7/2019).
Hingga 1 Juli lalu, baru ada 18 emiten baru di BEI. Terakhir, emiten logistik PT Krida Jaringan Nusantara Tbk. (KJEN) menjadi perusahaan tercatat ke-18 tahun ini dan ke-635 setelah melantai di bursa pada Senin 1 Juli 2019. Di pipeline BEI, masih ada 18 emiten lain yang tengah antre untuk masuk bursa.
Rudiyanto menjelaskan, kelemahan saham dari emiten baru tahun ini ialah sahamnya yang tak likuid. Saham baru ini bisa bergerak bak roller coaster, dan tak terkendali.
Sebagai contoh, saham PT Bliss Properti Indonesia Tbk. (POSA) yang resmi tercatat di BEI pada 30 April 2019. Saat pencatatan perdana, harga sahamnya langsung meloncat 33,33% dari Rp 150/saham yang ditawarkan perusahaan.
Kendati baru 2 bulan tercatat, harga sahamnya pernah meroket ke harga Rp 695/saham, artinya dari harga perdana sudah naik sampai dengan 393,33%.
Penurunan harganya juga tak tanggung-tanggung. Harga terendah yang pernah disentuh saham ini di level Rp 228/saham. Pada perdagangan Rabu ini (3/7/2019), penutupan perdagangan sesi I, harganya ditutup di Rp 424/saham.
Distribusi saham yang kurang merata saat penawaran umum juga menjadi sorotan bagi para pelaku pasar.
"Pengalaman kami, untuk mendapatkan saham IPO sesuai dengan nominal pesanan sangat sulit, selain itu harga saham setelah IPO memang naik tinggi tapi turun dalam setelahnya. Jadi kami cukup selektif dalam berinvestasi di saham IPO dan bisa dikatakan cukup jarang," jelasnya.
Pendapat berbeda diungkapkan Gema Kumara Darmawan, Investment Strategist PT Samuel Aset Manajemen. Dia mengatakan dalam pengambilan keputusan investasi, manajer investasi di Samuel mengutamakan riset fundamental disertai pertimbangan teknis lainnya.
"Pada pemilihan emiten secara garis besar kami mencermati pertumbuhan emiten tersebut, rasio finansial, analisis industri, valuasi relatif, rekam jejak manajemen hingga likuiditas saham di pasar," katanya, Rabu sore.
Apabila, katanya, dari proses penyaringan tersebut ada yang sesuai dengan proses pemilihan investasi, maka manajer investasi dapat melakukan investasi pada emiten tersebut.
Terkait dengan 18 emiten yang sudah listing, dia menegaskan tidak semuanya masuk kriteria.
"Yang kami cermati ada, tapi masih dalam proses screening. Iya kami memang ada tahapan-tahapan dalam screening-nya," katanya.
(tas) Next Article Mengintip Kinerja Saham yang Baru IPO 2019
Direktur PT Panin Asset Management Rudiyanto mengatakan manajer investasi cukup selektif dalam memilih saham untuk membenamkan dana nasabah.
Menurut dia memang tak tertutup kemungkinan manajer investasi bisa memilih saham-saham di papan pengembangan (bukan papan utama), asalkan saham ini memenuhi kualifikasi dari sisi valuasi dan likuiditas.
"Mau di papan pengembangan atau besar, sepanjang secara valuasi murah, dan cukup likuid bisa jadi pertimbangan," kata Rudiyanto kepada CNBC Indonesia, Rabu (3/7/2019).
Hingga 1 Juli lalu, baru ada 18 emiten baru di BEI. Terakhir, emiten logistik PT Krida Jaringan Nusantara Tbk. (KJEN) menjadi perusahaan tercatat ke-18 tahun ini dan ke-635 setelah melantai di bursa pada Senin 1 Juli 2019. Di pipeline BEI, masih ada 18 emiten lain yang tengah antre untuk masuk bursa.
Sebagai contoh, saham PT Bliss Properti Indonesia Tbk. (POSA) yang resmi tercatat di BEI pada 30 April 2019. Saat pencatatan perdana, harga sahamnya langsung meloncat 33,33% dari Rp 150/saham yang ditawarkan perusahaan.
Kendati baru 2 bulan tercatat, harga sahamnya pernah meroket ke harga Rp 695/saham, artinya dari harga perdana sudah naik sampai dengan 393,33%.
Penurunan harganya juga tak tanggung-tanggung. Harga terendah yang pernah disentuh saham ini di level Rp 228/saham. Pada perdagangan Rabu ini (3/7/2019), penutupan perdagangan sesi I, harganya ditutup di Rp 424/saham.
Distribusi saham yang kurang merata saat penawaran umum juga menjadi sorotan bagi para pelaku pasar.
"Pengalaman kami, untuk mendapatkan saham IPO sesuai dengan nominal pesanan sangat sulit, selain itu harga saham setelah IPO memang naik tinggi tapi turun dalam setelahnya. Jadi kami cukup selektif dalam berinvestasi di saham IPO dan bisa dikatakan cukup jarang," jelasnya.
Pendapat berbeda diungkapkan Gema Kumara Darmawan, Investment Strategist PT Samuel Aset Manajemen. Dia mengatakan dalam pengambilan keputusan investasi, manajer investasi di Samuel mengutamakan riset fundamental disertai pertimbangan teknis lainnya.
"Pada pemilihan emiten secara garis besar kami mencermati pertumbuhan emiten tersebut, rasio finansial, analisis industri, valuasi relatif, rekam jejak manajemen hingga likuiditas saham di pasar," katanya, Rabu sore.
Apabila, katanya, dari proses penyaringan tersebut ada yang sesuai dengan proses pemilihan investasi, maka manajer investasi dapat melakukan investasi pada emiten tersebut.
Terkait dengan 18 emiten yang sudah listing, dia menegaskan tidak semuanya masuk kriteria.
"Yang kami cermati ada, tapi masih dalam proses screening. Iya kami memang ada tahapan-tahapan dalam screening-nya," katanya.
(tas) Next Article Mengintip Kinerja Saham yang Baru IPO 2019
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular