Mohon Maaf! Bagi Pasar Saham, Efek Jokowi Kini Semakin Kabur

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
03 July 2019 13:25
Mohon Maaf! Bagi Pasar Saham, Efek Jokowi Kini Semakin Kabur
Foto: Laily Rachev - Biro Pers Sekretariat Presiden
Jakarta, CNBC Indonesia - Bagi pasar saham, efek terpilihnya kembli Joko Widodo (Jokowi) bisa dibilang sudah 'tumpul'. Ya, selepas gelaran pemilihan presiden (Pilpres) 2019, kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru terbilang mengecewakan.

Sekedar mengingatkan, Pilpres pada tahun ini digelar berbarengan dengan pemilihan anggota legislatif, yakni pada 17 April 2019. Pada hari itu juga, hasil hitung cepat dari berbagai lembaga kompak memenangkan pasangan calon nomor urut 01 yakni Jokowi- Ma'ruf Amin.

Jika kita mundur ke Pilpres tahun 2014 yang digelar pada tanggal 9 Juli, IHSG membukukan apresiasi sebesar 1,46% sehari setelahnya (10 Juli 2014). Kenaikan pasar saham merespons kemenangan Jokowi dikenal dengan istilah Jokowi effect.

Jika dibandingkan dengan kinerja IHSG yang hanya naik tipis 0,4% pada tanggal 18 April 2019 (sehari setelah Pilpres 2019), di sini saja Jokowi effect bisa dibilang sudah kurang nendang.

Jika ditarik lebih jauh lagi, semakin terkonfirmasi bahwa Jokowi sudah 'tumpul' bagi pasar saham. Terhitung sejak gelaran Pilpres 2019 pada 17 April hingga kemarin (2/7/2019), ada 46 hari perdagangan di bursa saham tanah air. Dalam periode tersebut, IHSG membukukan koreksi sebesar 1,49%.

Sementara itu, dalam 46 hari perdagangan pertama pasca Pilpres 2014, IHSG melejit hingga 3,65%.


Lantas, apa yang membuat Jokowi 'tumpul' kala terpilih untuk periode keduanya sebagai pemegang takhta kepemimpinan tertinggi di Indonesia?

Mundur ke tahun 2014, pelaku pasar saham tanah air begitu mengapresiasi terpilihnya Jokowi karena pada saat itu, mantan Wali Kota Solo tersebut menjanjikan gebrakan dengan anggaran raksasa untuk membangun infrastruktur.

Pembangunan infrastruktur secara masif diharapkan bisa mendorong laju perekonomian secara signifikan lantaran berbagai sumber daya yang ada di Bumi Pertiwi akan bisa dimanfaatkan secara maksimal.

Saking optimisnya, Jokowi bahkan mematok target pertumbuhan ekonomi di level 7% dalam masa kampanyenya. Wajar jika investor kemudian melakukan aksi beli dengan intensitas yang besar di pasar saham begitu Jokowi terpilih sebagai presiden.

Kala perekonomian melaju dengan pesat, pendapatan dari perusahaan-perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) akan terkerek naik. Valuasi pun meningkat sehingga bisa menjustifikasi aksi beli yang dilakukan pelaku pasar.

NEXT

Nyaris lima tahun pemerintahan Jokowi berjalan, tak pernah ada cerita pertumbuhan ekonomi Indonesia mendekati 7%, atau bahkan 6%. Pada 2015 ketika ekonomi Indonesia sudah dikomandoi Jokowi setahun penuh, pertumbuhan ekonomi justru jatuh ke bawah level 5%, tepatnya di 4,79%. Padahal pada 2014, perekonomian tercatat tumbuh sebesar 5,01%.

Laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2015 merupakan yang terendah setidaknya sejak tahun 2010.


Teranyar, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada periode kuartal-I 2019, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 5,19% YoY.

Ini mengindikasikan bahwa pelaku pasar saham semakin skeptis dengan Jokowi. Tak ada lagi optimisme yang menggebu-gebu bahwa laju pertumbuhan ekonomi bisa didongkrak ke level yang tinggi. Yang ada, perekonomian bisa tumbuh di atas 5% saja sudah disyukuri.

Asal tahu saja, pada tahun ini sekuritas-sekuritas besar berbendera asing memproyeksikan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh di bawah 5%. Ya, di bawah 5% seperti pada tahun 2015 silam.

Melansir konsensus yang dihimpun oleh Bloomberg, JPMorgan Chase dan Goldman Sachs Group memproyeksikan ekonomi Indonesia tumbuh 4,9% pada tahun ini, sementara Deutsche Bank menaruh proyeksinya di level 4,8%.

Celakanya, kondisi sudah sulit seperti ini, hingga kini belum ada tanda-tanda pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh Bank Indonesia (BI). Sebagai informasi, terakhir kali BI memangkas tingkat suku bunga acuan pada September 2017 silam.

Selepas itu, tingkat suku bunga acuan dipertahankan atau dinaikkan. Terhitung dalam periode Oktober 2017 hingga Juni 2019, BI sudah mengerek naik tingkat suku bunga acuan sebesar 175 bps.


Dari sisi pemerintah, belum ada kebijakan fiskal signifikan yang diluncurkan. Pemotongan tingkat Pajak Penghasilan (PPh) korporasi hanya menjadi wacana saja.

Wacana ini sejatinya sudah begitu lama dilontarkan sendiri oleh pemerintah. Rencananya, PPh korporasi Indonesia yang saat ini berada di level 25% akan dipangkas menjadi 18% supaya kompetitif dengan Singapura. Namun pertanyaannya: berapa besar pemangkasan tarif PPh korporasi yang sudah diberlakukan? Jawabannya: nol.

Ya, saat ini tarif PPh korporasi masih sebesar 25%. Baru-baru ini, pemerintah kembali menyuarakan rencana untuk memangkas tarif PPh korporasi menjadi 20%. "Sekarang sedang di-exercise seberapa cepat dan itu sudah betul-betul harus dihitung. Rate-nya turun ke 20%," kata Sri Mulyani di kompleks kepresidenan baru-baru ini.

Namun kalau berkaca ke pengalaman di tahun-tahun sebelumnya, mungkin pemangkasan tarif PPh korporasi lagi-lagi hanya merupakan wacana semata.

Tak heran jika pada tahun ini tak ada euforia untuk merayakan lanjutnya Jokowi ke periode keduanya sebagai presiden Indonesia. Laju perekonomian sepanjang periode pertama Jokowi menjabat bisa dibilang lesu, tak ada gairahnya.

Sudah begitu, belum ada tanda-tanda pemangkasan tingkat suku bunga acuan oleh BI serta rencana pemangkasan tarif PPh korporasi bisa jadi kembali menjadi sebuah wacana semata.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular