
KTT G-20
Suku Bunga, KTT G20, dan Peluang Emas Kembali ke US$1.900
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
26 June 2019 07:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas melesat tajam sejak pekan lalu hingga perdagangan Selasa (25/6/2019). Dalam enam hari terakhir, harga emas telah menguat 7,42% hingga mencapai level tertinggi hariannya pada US$ 1.438,63. Posisi tersebut merupakan yang tertinggi sejak Agustus 2013.
Penguatan harga emas dipicu Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang membuka peluang pemangkasan suku bunga (Federal Funds Rate/FFR) saat mengumumkan kebijakan moneter Kamis (20/6/19) lalu. Arah kebijakan The Fed kini kembali seperti pra-krisis finansial 2008.
Bank sentral paling powerful di dunia ini terakhir kali memangkas FFR menjadi <0,25% pada Desember 2008, dan bertahan hingga 7 tahun, hingga akhirnya dinaikkan pada Desember 2015.
Krisis finansial yang berawal dari dari AS di tahun 2008 atau yang dikenal dengan subprime mortgage membuat The Fed secara agresif memangkas suku bunga guna menyelamatkan perekonomian Paman Sam. Total dalam waktu 2 tahun, The Fed yang kala itu dipimpin oleh Ben Bernanke memangkas FFR sebesar 500 basis poin atau 5%, dari sebelumnya di awal 2007 sebesar 5,25% menjadi < 0,25% di akhir tahun 2008.
Suku bunga rendah ternyata belum cukup untuk memulihkan perekonomian AS, maka dimulai lah periode pembelian aset melalui surat berharga atau surat utang baik pemerintah maupun swasta oleh The Fed, atau yang dikenal dengan istilah quantitative easing (QE). Tujuannya untuk membanjiri likuiditas di pasar, sehingga mendorong aktivitas perekonomian.
The Fed menerapkan kebijakan QE dalam tiga tahap, QE1 dimulai November 2008, kemudian QE2 dimulai pada Juni 2011, dan Q3 yang dimulai pada September 2012, dengan jumlahnya pembelian aset yang terus meningkat
Tidak hanya The Fed, banyak bank sentral utama dunia juga melakukan hal yang sama, suku bunga rendah dan QE yang membuat pasar banjir likuiditas. Penurunan suku bunga dan QE dari The Fed membuat indeks dolar jeblok, dan rally panjang kenaikan harga emas pun dimulai.
Secara tradisional emas merupakan aset lindung inflasi dan juga aset aman atau safe haven. Banjir likuiditas secara global membuat inflasi kemungkinan meningkat, krisis finansial di AS merembet ke berbagai belahan dunia, yang membuat pelaku pasar mengalihkan investasinya ke aset safe haven seperti emas.
Belum lagi jebloknya nilai tukar dolar AS, membuat emas yang berdenominasi mata uang Paman Sam ini menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya, membuat permintaan logam mulia semakin meningkat.
Faktor-faktor tersebut membuat harga emas mencapai level tertinggi sepanjang masa US$ 1.920,30 pada September 2011, mengutip data dari Refinitiv.
Kini, perang dagang yang berlarut-larut menimbulkan ancaman ekonomi AS akan melambat, bahkan munculnya isu-isu resesi membuat The Fed harus mengulang kembali periode pemangkasan FFR.
Akankah emas kembali mencapai harga tertingginya US$ 1.920 per troi ons?
Halaman Selanjutnya >>>
Jika melihat grafik harga emas, maka hal terbaik yang digunakan untuk membandingkan adalah indeks dolar. Dua aset ini memiliki korelasi negatif, artinya jika indeks dolar melemah maka harga emas akan menguat, begitu juga sebaliknya.
Pada saat The Fed memangkas suku bunga pada periode 2007 – 2008, indeks dolar langsung jeblok ke 70,69 pada bulan Maret 2008, dibandingkan awal 2007 di level 83,46. Pada periode yang sama, harga emas US$ 636,80 ke level US$ 1.030,80.
Maka jika The Fed benar akan memangkas suku bunga, harga emas berpeluang melanjutkan penguatan, mengulang sejarah 12 tahun lalu.
Jika membandingkan grafik harga emas dengan indeks dolar, akan terlihat hal yang menarik.
Grafik harga emas (garis oranye) dan grafik indeks dolar (garis ungu) berpotongan dan kemudian melebar pada periode 2007 – 2008 (lingkaran merah besar). Hal yang sama terjadi pada tahun 2016 (lingkaran merah kecil) tetapi dengan skala yang lebih kecil.
Kemunculan pola tersebut mengawali melebarnya kedua grafik tersebut, yang berarti emas terus naik dan indeks dolar terus menurun. Jadi, jika mengikuti pola tersebut ada kemungkinan harga emas akan terus bergerak naik, syaratnya tentu The Fed harus menurunkan suku bunga dengan agresif.
Melihat lebih ke belakang, pola yang mirip seperti ini juga muncul pada tahun 1978, saat itu harga emas naik ke rekor tertinggi US$ 835 pada Januari 1980. Namun, ada perbedaan antara pola di tahun 2007–2008 dan 1978 dengan 2016.
Pada 2007-2008 dan 1978, harga emas terus menembus rekor tertinggi (break high), sehingga secara historis dan psikologis belum ada level yang bisa dijadikan acuan menentukan resisten (tahanan atas).
Sementara pada pola saat ini, secara historis kenaikan harga emas akan ada banyak level-level yang menjadi resisten. Garis-garis kuning pada grafik di atas mewakili resisten yang sudah ditembus, dan emas pada hari ini kebetulan sudah melewati resisten US$ 1.433 (level tertinggi Agustus 2013).
Jika pada bulan ini logam mulia mampu mengakhiri perdagangan di atas resisten tersebut, peluang berlanjutnya penguatan akan semakin terbuka.
Menambahkan beberapa indikator, pada grafik di atas harga emas saat ini bergerak di atas rerata pergerakan 50 bulan (moving average/MA 50), MA 100 dan MA 200. Grafik di atas merupakan grafik bulanan, yang berarti jika di akhir bulan nanti emas mengakhiri perdagangan di atas MA 100 di kisaran US$ 1.351, maka peluang penguatan masih bisa berlanjut.
Indikator rerata pergerakan konvergen divergen (MACD), sudah memasuki area positif yang memberikan setimen bullish (kenaikan) emas. Seperti yang disebutkan sebelumnya, kenaikan harga emas akan mendapat resisten-resisten sebelum mencapai rekor tertingginya.
Resisten pertama terlihat di kisaran US$ US$ 1,569 yang berarti target pertama penguatan emas menuju area tersebut. Resisten selanjutnya di kisaran US$ 1.800, dan jika berhasil dilewati emas berpotensi mencapai lagi rekornya US$ 1.920 per troi ons.
Level-level yang perlu diperhatikan adalah US$ 1.433 dan US$ 1.351, jika nantinya harga emas terus bertahan di atas level tersebut peluang berlanjutnya kenaikan akan terbuka lebar. Perlu diingat, potensi kenaikan tersebut merupakan jangka panjang, dan ada asumsi-asumsi yang mendasari.
Halaman Selanjutnya >>>
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 akan digelar di akhir bulan ini di Tokyo. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akan menjadi sorotan utama. Dua pimpinan raksasa ekonomi dunia ini dijadwalkan akan bertemu untuk membahas perang dagang yang selama ini semakin berkobar.
Perang dagang antara kedua negara ini menjadi faktor utama pelambatan ekonomi global, termasuk di AS yang berdampak pada sikap dovish The Fed.
Untuk sementara sinyal-sinyal positif akan adanya damai dagang sudah muncul, jika akhirnya terealisasi, perang dagang berakhir, maka perekonomian global bisa jadi akan terakselerasi, dan ada kemungkinan The Fed tidak akan lagi bersikap dovish.
Skenario pertama ini bisa membatalkan peluang naiknya harga emas. Sebaliknya skenario kedua, jika pasca G20 hubungan AS – China malah semakin memanas, logam mulai punya pijakan kuat untuk kembali melompat. Setelah pertemuan Trump – Xi, tentu fokus selanjutnya ke pengumuman kebijakan moneter The Fed 1 Agustus dini hari waktu Indonesia.
Berdasarkan data perangkat FedWatch milik CME Group, The Fed diprediksi akan memangkas suku bunga (FFR) sebanyak tiga kali di tahun ini yakni pada 21 Juli (1 Agustus waktu Indonesia), September, dan terakhir di bulan Desember.
Jika spekulasi tersebut terjadi, emas akan semakin bersinar. Tingkat suku bunga The Fed untuk jangka panjang akan menjadi penentu langkah emas kembali ke US$ 1.920.
Saat ini, data dari FedWatch menunjukkan di bulan April 2020 probabilitas FFR 1,25% - 1,50% menjadi yang tertinggi, yakni 31,5%. Ini berarti pelaku pasar melihat The Fed akan memangkas suku bunga empat kali masing-masing 25 basis poin dari level saat ini 2,25% - 2,50%.
Namun, semua skenario kenaikan harga emas tersebut bisa buyar jika The Fed pada akhir tidak memangkas suku bunga, atau memangkas namun tidak seagresif spekulasi pasar. Semua tergantung dengan keputusan Jerome Powell, sang pimpinan The Fed dan orang paling berpengaruh di dunia finansial.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/prm) Next Article Flash Back 2011, Harap Waspada Harga Emas Bisa Menukik Tajam
Penguatan harga emas dipicu Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang membuka peluang pemangkasan suku bunga (Federal Funds Rate/FFR) saat mengumumkan kebijakan moneter Kamis (20/6/19) lalu. Arah kebijakan The Fed kini kembali seperti pra-krisis finansial 2008.
Krisis finansial yang berawal dari dari AS di tahun 2008 atau yang dikenal dengan subprime mortgage membuat The Fed secara agresif memangkas suku bunga guna menyelamatkan perekonomian Paman Sam. Total dalam waktu 2 tahun, The Fed yang kala itu dipimpin oleh Ben Bernanke memangkas FFR sebesar 500 basis poin atau 5%, dari sebelumnya di awal 2007 sebesar 5,25% menjadi < 0,25% di akhir tahun 2008.
Suku bunga rendah ternyata belum cukup untuk memulihkan perekonomian AS, maka dimulai lah periode pembelian aset melalui surat berharga atau surat utang baik pemerintah maupun swasta oleh The Fed, atau yang dikenal dengan istilah quantitative easing (QE). Tujuannya untuk membanjiri likuiditas di pasar, sehingga mendorong aktivitas perekonomian.
The Fed menerapkan kebijakan QE dalam tiga tahap, QE1 dimulai November 2008, kemudian QE2 dimulai pada Juni 2011, dan Q3 yang dimulai pada September 2012, dengan jumlahnya pembelian aset yang terus meningkat
Tidak hanya The Fed, banyak bank sentral utama dunia juga melakukan hal yang sama, suku bunga rendah dan QE yang membuat pasar banjir likuiditas. Penurunan suku bunga dan QE dari The Fed membuat indeks dolar jeblok, dan rally panjang kenaikan harga emas pun dimulai.
Secara tradisional emas merupakan aset lindung inflasi dan juga aset aman atau safe haven. Banjir likuiditas secara global membuat inflasi kemungkinan meningkat, krisis finansial di AS merembet ke berbagai belahan dunia, yang membuat pelaku pasar mengalihkan investasinya ke aset safe haven seperti emas.
Belum lagi jebloknya nilai tukar dolar AS, membuat emas yang berdenominasi mata uang Paman Sam ini menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya, membuat permintaan logam mulia semakin meningkat.
Faktor-faktor tersebut membuat harga emas mencapai level tertinggi sepanjang masa US$ 1.920,30 pada September 2011, mengutip data dari Refinitiv.
Kini, perang dagang yang berlarut-larut menimbulkan ancaman ekonomi AS akan melambat, bahkan munculnya isu-isu resesi membuat The Fed harus mengulang kembali periode pemangkasan FFR.
Akankah emas kembali mencapai harga tertingginya US$ 1.920 per troi ons?
Halaman Selanjutnya >>>
Jika melihat grafik harga emas, maka hal terbaik yang digunakan untuk membandingkan adalah indeks dolar. Dua aset ini memiliki korelasi negatif, artinya jika indeks dolar melemah maka harga emas akan menguat, begitu juga sebaliknya.
Pada saat The Fed memangkas suku bunga pada periode 2007 – 2008, indeks dolar langsung jeblok ke 70,69 pada bulan Maret 2008, dibandingkan awal 2007 di level 83,46. Pada periode yang sama, harga emas US$ 636,80 ke level US$ 1.030,80.
Maka jika The Fed benar akan memangkas suku bunga, harga emas berpeluang melanjutkan penguatan, mengulang sejarah 12 tahun lalu.
Jika membandingkan grafik harga emas dengan indeks dolar, akan terlihat hal yang menarik.
![]() Foto: Refinitiv |
Kemunculan pola tersebut mengawali melebarnya kedua grafik tersebut, yang berarti emas terus naik dan indeks dolar terus menurun. Jadi, jika mengikuti pola tersebut ada kemungkinan harga emas akan terus bergerak naik, syaratnya tentu The Fed harus menurunkan suku bunga dengan agresif.
Melihat lebih ke belakang, pola yang mirip seperti ini juga muncul pada tahun 1978, saat itu harga emas naik ke rekor tertinggi US$ 835 pada Januari 1980. Namun, ada perbedaan antara pola di tahun 2007–2008 dan 1978 dengan 2016.
Pada 2007-2008 dan 1978, harga emas terus menembus rekor tertinggi (break high), sehingga secara historis dan psikologis belum ada level yang bisa dijadikan acuan menentukan resisten (tahanan atas).
Sementara pada pola saat ini, secara historis kenaikan harga emas akan ada banyak level-level yang menjadi resisten. Garis-garis kuning pada grafik di atas mewakili resisten yang sudah ditembus, dan emas pada hari ini kebetulan sudah melewati resisten US$ 1.433 (level tertinggi Agustus 2013).
Jika pada bulan ini logam mulia mampu mengakhiri perdagangan di atas resisten tersebut, peluang berlanjutnya penguatan akan semakin terbuka.
![]() Foto: Refinitiv |
Indikator rerata pergerakan konvergen divergen (MACD), sudah memasuki area positif yang memberikan setimen bullish (kenaikan) emas. Seperti yang disebutkan sebelumnya, kenaikan harga emas akan mendapat resisten-resisten sebelum mencapai rekor tertingginya.
Resisten pertama terlihat di kisaran US$ US$ 1,569 yang berarti target pertama penguatan emas menuju area tersebut. Resisten selanjutnya di kisaran US$ 1.800, dan jika berhasil dilewati emas berpotensi mencapai lagi rekornya US$ 1.920 per troi ons.
Level-level yang perlu diperhatikan adalah US$ 1.433 dan US$ 1.351, jika nantinya harga emas terus bertahan di atas level tersebut peluang berlanjutnya kenaikan akan terbuka lebar. Perlu diingat, potensi kenaikan tersebut merupakan jangka panjang, dan ada asumsi-asumsi yang mendasari.
Halaman Selanjutnya >>>
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 akan digelar di akhir bulan ini di Tokyo. Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping akan menjadi sorotan utama. Dua pimpinan raksasa ekonomi dunia ini dijadwalkan akan bertemu untuk membahas perang dagang yang selama ini semakin berkobar.
Perang dagang antara kedua negara ini menjadi faktor utama pelambatan ekonomi global, termasuk di AS yang berdampak pada sikap dovish The Fed.
Untuk sementara sinyal-sinyal positif akan adanya damai dagang sudah muncul, jika akhirnya terealisasi, perang dagang berakhir, maka perekonomian global bisa jadi akan terakselerasi, dan ada kemungkinan The Fed tidak akan lagi bersikap dovish.
Skenario pertama ini bisa membatalkan peluang naiknya harga emas. Sebaliknya skenario kedua, jika pasca G20 hubungan AS – China malah semakin memanas, logam mulai punya pijakan kuat untuk kembali melompat. Setelah pertemuan Trump – Xi, tentu fokus selanjutnya ke pengumuman kebijakan moneter The Fed 1 Agustus dini hari waktu Indonesia.
Berdasarkan data perangkat FedWatch milik CME Group, The Fed diprediksi akan memangkas suku bunga (FFR) sebanyak tiga kali di tahun ini yakni pada 21 Juli (1 Agustus waktu Indonesia), September, dan terakhir di bulan Desember.
Jika spekulasi tersebut terjadi, emas akan semakin bersinar. Tingkat suku bunga The Fed untuk jangka panjang akan menjadi penentu langkah emas kembali ke US$ 1.920.
![]() Sumber: CME Group |
Namun, semua skenario kenaikan harga emas tersebut bisa buyar jika The Fed pada akhir tidak memangkas suku bunga, atau memangkas namun tidak seagresif spekulasi pasar. Semua tergantung dengan keputusan Jerome Powell, sang pimpinan The Fed dan orang paling berpengaruh di dunia finansial.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/prm) Next Article Flash Back 2011, Harap Waspada Harga Emas Bisa Menukik Tajam
Most Popular