
Cuan! Melihat 10 Tahun Kilau Bullion, Si Logam Mulia Favorit
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
25 June 2019 13:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam beberapa pekan terakhir, komoditas emas menjadi perhatian banyak pihak. Wajar karena harga emas global terus menanjak seiring peningkatan risiko perekonomian global dan harapan pelonggaran moneter Amerika Serikat (AS).
Bahkan pada perdagangan hari Selasa (26/6/2019) pukul 12:00 WIB, harga emas di pasar spot telah menembus level US$ 1.436/troy ounce atau tertinggi sejak enam tahun lalu.
Meski demikian, harga emas masih punya potensi untuk terus meningkat.
Pasalnya, dalam 10 tahun terakhir, harga emas pernah menyentuh level US$ 1.883/troy ounce pada September 2011 yang merupakan tertinggi sepanjang masa.
Kala itu, kenaikan harga emas didorong oleh kebijakan pelonggaran moneter (quantitative easing/QE) yang dilakukan oleh Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed).
Akibat terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2008, otoritas moneter AS merasa perlu untuk memberi stimulus pada perekonomian. Pasalnya saat itu perekonomian AS terpukul cukup dalam akibat banyak konsumen gagal bayar kredit pemilikan rumah (KPR).
Alhasil The Fed memutuskan untuk memborong surat berharga pemerintah AS untuk memberi likuiditas lebih di pasar. Dengan cara itu, dolar AS yang sebelumnya bersarang di brankas-brankas The Fed berhamburan di pasaran.
Kredit usaha semakin mudah, sehingga jumlah dolar beredar semakin banyak. Harapannya, perekonomian bisa kembali digenjot.
Setidaknya, sejak akhir tahun 2008 hingga akhir tahun 2013, The Fed banyak membeli obligasi pemerintah. Hal Tersebut membuat neraca The Fed membengkak dari yang semula hanya sebesar US$ 900 miliar menjadi hampir US$ 3 triliun.
Sejak saat itu pula harga emas terus merangkak naik. Penyebabnya adalah nilai tukar dolar yang terus melemah karena adanya kebijakan QE.
Jelas saja, pasokan dolar melimpah akan membuat nilainya semakin tertekan oleh mata uang lain. Bahkan pada Mei 2011, nilai Dollar Index (DXY) yang mencerminkan posisi greenback relatif terhadap enam mata uang utama dunia jatuh ke posisi 72,9 atau terendah dalam 10 tahun terakhir (2009-sekarang).
Pelemahan dolar tentu saja bukan sesuatu hal yang baik bagi pelaku pasar. Pasalnya, risiko koreksi nilai aset akibat perbedaan kurs menjadi semakin besar.
Dalam kesempatan itu, emas banyak diborong oleh investor untuk mencegah kerugian yang masif.
Hal serupa juga bisa terjadi dalam beberapa bulan ke depan.
Sebab, The Fed sudah mengeluarkan sinyal-sinyal pelonggaran moneter. Setelah menggelar rapat komite pengambil kebijakan (FOMC) pekan lalu, Gubernur The Fed, Jerome Powell berpidato dengan nada-nada yang dovish. Seiring meningkatnya risiko perekonomian global akibat perang dagang, Powell memberi peluang untuk melakukan pelonggaran.
"Kami akan bertindak jika dibutuhkan, termasuk kalau memungkinkan, menggunakan berbagai instrumen untuk menjaga ekspansi (ekonomi)," tuturnya, mengutip Reuters.
Namun kali ini instrumen yang kemungkinan akan digunakan oleh The Fed adalah suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR).
Mengutip CME Fedwatch, kemungkinan FFR turun 25 basis poin pada bulan Juli 2019 mencapai 57,4%. Sementara ada pula peluang FFR turun 50 basis poin sebesar 42,6%. Sementara probabilitas suku bunga tetap ditahan di kisaran 2,25%-2,5% sudah tidak tersisa alias 0%.
Bahkan pelaku pasar yakin penurunan suku bunga bulan depan bukan yang terakhir. The Fed dipercaya masih akan menurunkan suku bunga lebih lanjut. Data dari CME Fedwatch mengungkapkan ada 39,5% kemungkinan FFR turun hingga 75 basis poin dari posisi sekarang per akhir tahun 2019.
Dampak penurunan suku bunga acuan akan mirip dengan QE. Kredit semakin mudah, sehingga banyak badan usaha akan memanfaatkan fasilitas tersebut. Uang yang semula mengendap di perbankan banyak ditarik keluar untuk mendorong ekspansi bisnis dan pertumbuhan ekonomi.
Tapi lagi-lagi, keperkasaan dolar seakan dipereteli dengan penurunan suku bunga. Kurs dolar pun rentan terdepresiasi akibat hantaman mata uang lain.
Alhasil, risiko koreksi nilai aset yang berbasis dolar akibat perubahan kurs semakin besar. Dengan begitu emas masih punya kesempatan untuk semakin menarik minat investor. Harganya pun berpeluang terangkat seperti yang terjadi pada tahun 2011.
Pun karena ditransaksikan dalam dolar, harga emas menjadi relatif lebih murah bagi pemegang mata uang lain saat greenback tertekan. Siapa yang tidak tergoda dengan emas murah?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/dru) Next Article Harga Emas Tertatih untuk Bangkit
Bahkan pada perdagangan hari Selasa (26/6/2019) pukul 12:00 WIB, harga emas di pasar spot telah menembus level US$ 1.436/troy ounce atau tertinggi sejak enam tahun lalu.
Meski demikian, harga emas masih punya potensi untuk terus meningkat.
![]() |
Pasalnya, dalam 10 tahun terakhir, harga emas pernah menyentuh level US$ 1.883/troy ounce pada September 2011 yang merupakan tertinggi sepanjang masa.
Kala itu, kenaikan harga emas didorong oleh kebijakan pelonggaran moneter (quantitative easing/QE) yang dilakukan oleh Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed).
Akibat terjadinya krisis keuangan global pada tahun 2008, otoritas moneter AS merasa perlu untuk memberi stimulus pada perekonomian. Pasalnya saat itu perekonomian AS terpukul cukup dalam akibat banyak konsumen gagal bayar kredit pemilikan rumah (KPR).
Alhasil The Fed memutuskan untuk memborong surat berharga pemerintah AS untuk memberi likuiditas lebih di pasar. Dengan cara itu, dolar AS yang sebelumnya bersarang di brankas-brankas The Fed berhamburan di pasaran.
Kredit usaha semakin mudah, sehingga jumlah dolar beredar semakin banyak. Harapannya, perekonomian bisa kembali digenjot.
![]() |
Setidaknya, sejak akhir tahun 2008 hingga akhir tahun 2013, The Fed banyak membeli obligasi pemerintah. Hal Tersebut membuat neraca The Fed membengkak dari yang semula hanya sebesar US$ 900 miliar menjadi hampir US$ 3 triliun.
Sejak saat itu pula harga emas terus merangkak naik. Penyebabnya adalah nilai tukar dolar yang terus melemah karena adanya kebijakan QE.
Jelas saja, pasokan dolar melimpah akan membuat nilainya semakin tertekan oleh mata uang lain. Bahkan pada Mei 2011, nilai Dollar Index (DXY) yang mencerminkan posisi greenback relatif terhadap enam mata uang utama dunia jatuh ke posisi 72,9 atau terendah dalam 10 tahun terakhir (2009-sekarang).
Pelemahan dolar tentu saja bukan sesuatu hal yang baik bagi pelaku pasar. Pasalnya, risiko koreksi nilai aset akibat perbedaan kurs menjadi semakin besar.
Dalam kesempatan itu, emas banyak diborong oleh investor untuk mencegah kerugian yang masif.
Hal serupa juga bisa terjadi dalam beberapa bulan ke depan.
Sebab, The Fed sudah mengeluarkan sinyal-sinyal pelonggaran moneter. Setelah menggelar rapat komite pengambil kebijakan (FOMC) pekan lalu, Gubernur The Fed, Jerome Powell berpidato dengan nada-nada yang dovish. Seiring meningkatnya risiko perekonomian global akibat perang dagang, Powell memberi peluang untuk melakukan pelonggaran.
"Kami akan bertindak jika dibutuhkan, termasuk kalau memungkinkan, menggunakan berbagai instrumen untuk menjaga ekspansi (ekonomi)," tuturnya, mengutip Reuters.
Namun kali ini instrumen yang kemungkinan akan digunakan oleh The Fed adalah suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR).
Mengutip CME Fedwatch, kemungkinan FFR turun 25 basis poin pada bulan Juli 2019 mencapai 57,4%. Sementara ada pula peluang FFR turun 50 basis poin sebesar 42,6%. Sementara probabilitas suku bunga tetap ditahan di kisaran 2,25%-2,5% sudah tidak tersisa alias 0%.
Bahkan pelaku pasar yakin penurunan suku bunga bulan depan bukan yang terakhir. The Fed dipercaya masih akan menurunkan suku bunga lebih lanjut. Data dari CME Fedwatch mengungkapkan ada 39,5% kemungkinan FFR turun hingga 75 basis poin dari posisi sekarang per akhir tahun 2019.
Dampak penurunan suku bunga acuan akan mirip dengan QE. Kredit semakin mudah, sehingga banyak badan usaha akan memanfaatkan fasilitas tersebut. Uang yang semula mengendap di perbankan banyak ditarik keluar untuk mendorong ekspansi bisnis dan pertumbuhan ekonomi.
Tapi lagi-lagi, keperkasaan dolar seakan dipereteli dengan penurunan suku bunga. Kurs dolar pun rentan terdepresiasi akibat hantaman mata uang lain.
Alhasil, risiko koreksi nilai aset yang berbasis dolar akibat perubahan kurs semakin besar. Dengan begitu emas masih punya kesempatan untuk semakin menarik minat investor. Harganya pun berpeluang terangkat seperti yang terjadi pada tahun 2011.
Pun karena ditransaksikan dalam dolar, harga emas menjadi relatif lebih murah bagi pemegang mata uang lain saat greenback tertekan. Siapa yang tidak tergoda dengan emas murah?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/dru) Next Article Harga Emas Tertatih untuk Bangkit
Most Popular