Apa Kabar Saham Bakrie Telecom dan Taksi Express?
tahir saleh, CNBC Indonesia
25 June 2019 10:48

Jakarta, CNBC Indonesia - Suspensi atau penghentian sementara perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia menjadi salah satu alat bagi otoritas bursa untuk menjaga pasar modal tetap teratur, wajar, dan efisien; tiga kata yang selalu menjadi pegangan BEI.
Belajar dari pengalaman sebelumnya, beberapa emiten alias perusahaan terbuka yang akhirnya didepak (delisting) dari BEI juga diawali dengan masa suspensi yang cukup lama, umumnya sekitar 2 tahun. Misalnya saja, PT Sekawan Intipratama Tbk (SIAP) yang akhirnya diusir dari BEI pada 17 Juni 2019, setelah sebelumnya saham perusahaan disuspensi sejak 9 November 2015, atau sekitar 4 tahun.
Ada pula PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU) yang delisting pada 16 November 2017 setelah sahamnya disuspensi pada 4 Mei 2015 dan PT Truba Alam Manunggal Engineering Tbk (TRUB) yang didepak dari bursa pada 12 September 2018 setelah disuspensi sahamnya pada 1 Juli 2013 atau 5 tahun lamanya.
Berikut lengkapnya berdasarkan data Tim Riset CNBC Indonesia:
Setelah menghapuskan delisting saham SIAP mulai efektif 17 Juni lalu, BEI juga akan mengambil sikap tegas untuk dua emiten lainnya yang dinilai tak mematuhi aturan bursa dan sudah terlalu lama disuspensi.
Dua calon yang bakal 'diusir' dari BEI adalah PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk (BORN) dan PT Bara Jaya Internasional Tbk (ATPK). Dua perusahaan ini telah disuspensi perdagangan saham sejak 2015 dan memiliki masalah dalam menjalankan operasional perusahaan.
"Saat ini diproses BORN dan ATPK. Diperlakukan sama objektif, bursa buka kesempatan manajemen untuk tindak lanjuti, kita juga bukan ke owner untuk berikan dukungan karena eksekutif tanpa support pemegang saham tidak optimal makanya pertahankan going concern [kelangsungan usaha]," kata Direktur Penilaian Perusahaan BEI IGD N Yetna Setia, di Gedung BEI, Jakarta, Selasa (18/6).
Nasib TAXI dan BTEL
Selain BORN dan ATPK, beberapa saham lain pun tampaknya mesti was-was jika benar tak serius memperbaiki bisnis demi kelangsungan usaha.
Data BEI hingga 24 Juni ini mencatat, ada dua emiten yang menjadi perhatian pasar terkait dengan suspensi. Keduanya yakni PT Express Transindo Utama Tbk (TAXI) dan PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL).
Mari kita bedah sebentar.
Dua saham ini termasuk saham yang keluar masuk daftar suspensi dari BEI, dengan alasan cooling down karena harganya naik signifikan hingga persoalan gagal bayar, restrukturisasi utang hingga keterlambatan laporan keuangan dan belum bayar denda keterlambatan laporan.
TAXI
Pada 21 Maret 2018, saham TAXI disuspensi karena saat itu sahamnya naik secara signifikan sehingga perlu adanya cooling down. Pada 2 April 2018, saham TAXI juga disuspensi lagi karena perusahaan menunda pembayaran bunga obligasi ke-15 atas Obligasi I Express Transindo Utama Tahun 2014, dan sahamnya dibuka kembali pada 5 April 2018 karena pembayaran mulai dilakukan kepada pemegang obligasi.
Pada 25 Juni 2018 saham TAXI dihentikan lagi (termasuk perdagangan obligasinya) seiring dengan penundaan pembayaran bunga ke -16 atas Obligasi I Express Transindo Utama Tahun 2014. Setelah kesepakatan dengan pemegang obligasi dicapai, 11 bulan kemudian atau pada 24 Mei 2019, saham TAXI kembali diperdagangkan.
Dalam langkah restrukturisasi obligasi, pemegang obligasi perusahaan taksi milik Grup Rajawali ini juga telah menyetujui untuk mengkonversi utang obligasi menjadi kepemilikan saham di perusahaan yakni dengan penambahan modal tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (non-HMETD) atau private placement.
Saat itu, Corporate Secretary Express Transindo Utama, Megawati Affan mengatakan rencana tersebut sudah disetujui oleh Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB).
"[RUPSLB] kuorum. Kami akan lakukan sesuai dengan hasil RUPSLB. Kuorumnya 53,52%," kata Megawati, Senin (6/5).
Merujuk ke prospektus yang dirilis perusahaan mengenai rencana private placement, perusahaan akan menerbitkan saham baru sebanyak 10 miliar saham atau setara dengan 466,07% dari modal ditempatkan dan disetor perusahaan. Penerbitan saham baru ini dilakukan untuk mengkonversi utang obligasi senilai Rp 1 triliun.
Konversi ini akan dilakukan bertahap, di mana tahap pertama akan dikonversi utang sebanyak Rp 400 miliar menjadi 4 miliar saham. Tahap kedua akan jatuh tempo pada 31 Desember 2020 dengan mengkonversi obligasi senilai Rp 600 miliar dengan sebanyak 6 miliar saham.
Rugi bersih atribusi induk TAXI meroket 70,21% menjadi Rp 836,4 miliar sepanjang 2018. Dalam laporan tahunan perseroan, emiten milik Grup Rajawali tersebut menunjukkan rugi yang membengkak tersebut disebabkan oleh turunnya pendapatan sebesar 20,69% menjadi Rp 241,7 miliar dari tahun sebelumnya Rp 304,7 miliar.
Saham TAXI terakhir diperdagangkan di level Rp 50/saham dengan kapitalisasi pasar Rp 307 miliar, pernah tertinggi mencapai Rp 1.785/saham dalam periode 5 tahun terakhir.
BTEL
Dari 2016 hingga 2019, sudah 7 kali saham Bakrie Telecom atau BTEL disuspensi. Pada 30 Juni 2016, saham Bakrie Telecom disuspensi untuk pertama kali, bersama dengan 17 emiten lainnya yang belum menyampaikan laporan keuangan audit per 31 Desember 2015 dan belum membayar denda atas keterlambatan laporan keuangan.
Pada 27 Mei 2019, saham BTEL kembali disuspensi BEI. Alasannya, menurut BEI, perseroan memperoleh Opini Tidak Memberikan Pendapatan (disclaimer) selama 2 tahun berturut-turut yakni periode 31 Desember 2018 dan 31 Desember 2017.
Mengacu pada peraturan BEI, jika perusahaan mendapat opini 'disclaimer' 3 tahun berturut-turut, maka bursa dapat membatalkan pencatatan efek perusahaan.
Melansir laporan keuangan BTEL, perusahaan mencatatkan nilai buku ekuitas negatif sejak tahun 2013. Jumlah utang perusahaan juga menggelembung, di mana total utang yang awalnya hanya sekitar Rp 7,16 triliun pada 2010 menjadi Rp 16,13 triliun di tahun 2018. Kondisi ini mengkhawatirkan karena seiring bertambahnya utang perusahaan, nilai ekuitas lama-lama menjadi negatif.
Sebelumnya Bakrie Telecom fokus pada sektor telekomunikasi dengan merek Esia, tapi sejak 2016 perusahaan Grup Bakrie itu mengumumkan melakukan perombakan besar-besaran dengan menganti layanan bisnis dari operator seluler berbasis code division multiple access (CDMA) menjadi bisnis lebih ke korporasi (Business-to-Business/B2B).
(tas/hps) Next Article Cicil Utang ke BCA, Taksi Express Jual 1.200 Kendaraan
Belajar dari pengalaman sebelumnya, beberapa emiten alias perusahaan terbuka yang akhirnya didepak (delisting) dari BEI juga diawali dengan masa suspensi yang cukup lama, umumnya sekitar 2 tahun. Misalnya saja, PT Sekawan Intipratama Tbk (SIAP) yang akhirnya diusir dari BEI pada 17 Juni 2019, setelah sebelumnya saham perusahaan disuspensi sejak 9 November 2015, atau sekitar 4 tahun.
Ada pula PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU) yang delisting pada 16 November 2017 setelah sahamnya disuspensi pada 4 Mei 2015 dan PT Truba Alam Manunggal Engineering Tbk (TRUB) yang didepak dari bursa pada 12 September 2018 setelah disuspensi sahamnya pada 1 Juli 2013 atau 5 tahun lamanya.
Emiten | Tanggal Suspensi | Efektif Delisting |
PT Taisho Pharmaceutical Indonesia Tbk (SQBB) | 17 September 2009 | 21 Maret 2018 |
PT Inovisi Infracom Tbk (INVS) | 13 Februari 2015 | 23 Oktober 2017 |
PT Berau Coal Energy Tbk (BRAU) | 4 Mei 2015 | 16 November 2017 |
PT Permata Prima Sakti Tbk (TKGA) | 30 Juni 2015 | 16 November 2017 |
PT Truba Alam Manunggal Engineering Tbk (TRUB) | 1 Juli 2013 | 12 September 2018 |
PT Sekawan Intripratama Tbk (SIAP) | 9 November 2015 | 17 Juni 2019 |
Setelah menghapuskan delisting saham SIAP mulai efektif 17 Juni lalu, BEI juga akan mengambil sikap tegas untuk dua emiten lainnya yang dinilai tak mematuhi aturan bursa dan sudah terlalu lama disuspensi.
Dua calon yang bakal 'diusir' dari BEI adalah PT Borneo Lumbung Energi & Metal Tbk (BORN) dan PT Bara Jaya Internasional Tbk (ATPK). Dua perusahaan ini telah disuspensi perdagangan saham sejak 2015 dan memiliki masalah dalam menjalankan operasional perusahaan.
"Saat ini diproses BORN dan ATPK. Diperlakukan sama objektif, bursa buka kesempatan manajemen untuk tindak lanjuti, kita juga bukan ke owner untuk berikan dukungan karena eksekutif tanpa support pemegang saham tidak optimal makanya pertahankan going concern [kelangsungan usaha]," kata Direktur Penilaian Perusahaan BEI IGD N Yetna Setia, di Gedung BEI, Jakarta, Selasa (18/6).
Nasib TAXI dan BTEL
Selain BORN dan ATPK, beberapa saham lain pun tampaknya mesti was-was jika benar tak serius memperbaiki bisnis demi kelangsungan usaha.
Data BEI hingga 24 Juni ini mencatat, ada dua emiten yang menjadi perhatian pasar terkait dengan suspensi. Keduanya yakni PT Express Transindo Utama Tbk (TAXI) dan PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL).
Mari kita bedah sebentar.
Dua saham ini termasuk saham yang keluar masuk daftar suspensi dari BEI, dengan alasan cooling down karena harganya naik signifikan hingga persoalan gagal bayar, restrukturisasi utang hingga keterlambatan laporan keuangan dan belum bayar denda keterlambatan laporan.
![]() |
TAXI
Pada 21 Maret 2018, saham TAXI disuspensi karena saat itu sahamnya naik secara signifikan sehingga perlu adanya cooling down. Pada 2 April 2018, saham TAXI juga disuspensi lagi karena perusahaan menunda pembayaran bunga obligasi ke-15 atas Obligasi I Express Transindo Utama Tahun 2014, dan sahamnya dibuka kembali pada 5 April 2018 karena pembayaran mulai dilakukan kepada pemegang obligasi.
Pada 25 Juni 2018 saham TAXI dihentikan lagi (termasuk perdagangan obligasinya) seiring dengan penundaan pembayaran bunga ke -16 atas Obligasi I Express Transindo Utama Tahun 2014. Setelah kesepakatan dengan pemegang obligasi dicapai, 11 bulan kemudian atau pada 24 Mei 2019, saham TAXI kembali diperdagangkan.
Dalam langkah restrukturisasi obligasi, pemegang obligasi perusahaan taksi milik Grup Rajawali ini juga telah menyetujui untuk mengkonversi utang obligasi menjadi kepemilikan saham di perusahaan yakni dengan penambahan modal tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (non-HMETD) atau private placement.
Saat itu, Corporate Secretary Express Transindo Utama, Megawati Affan mengatakan rencana tersebut sudah disetujui oleh Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB).
"[RUPSLB] kuorum. Kami akan lakukan sesuai dengan hasil RUPSLB. Kuorumnya 53,52%," kata Megawati, Senin (6/5).
Merujuk ke prospektus yang dirilis perusahaan mengenai rencana private placement, perusahaan akan menerbitkan saham baru sebanyak 10 miliar saham atau setara dengan 466,07% dari modal ditempatkan dan disetor perusahaan. Penerbitan saham baru ini dilakukan untuk mengkonversi utang obligasi senilai Rp 1 triliun.
Konversi ini akan dilakukan bertahap, di mana tahap pertama akan dikonversi utang sebanyak Rp 400 miliar menjadi 4 miliar saham. Tahap kedua akan jatuh tempo pada 31 Desember 2020 dengan mengkonversi obligasi senilai Rp 600 miliar dengan sebanyak 6 miliar saham.
Rugi bersih atribusi induk TAXI meroket 70,21% menjadi Rp 836,4 miliar sepanjang 2018. Dalam laporan tahunan perseroan, emiten milik Grup Rajawali tersebut menunjukkan rugi yang membengkak tersebut disebabkan oleh turunnya pendapatan sebesar 20,69% menjadi Rp 241,7 miliar dari tahun sebelumnya Rp 304,7 miliar.
Saham TAXI terakhir diperdagangkan di level Rp 50/saham dengan kapitalisasi pasar Rp 307 miliar, pernah tertinggi mencapai Rp 1.785/saham dalam periode 5 tahun terakhir.
![]() |
Dari 2016 hingga 2019, sudah 7 kali saham Bakrie Telecom atau BTEL disuspensi. Pada 30 Juni 2016, saham Bakrie Telecom disuspensi untuk pertama kali, bersama dengan 17 emiten lainnya yang belum menyampaikan laporan keuangan audit per 31 Desember 2015 dan belum membayar denda atas keterlambatan laporan keuangan.
Pada 27 Mei 2019, saham BTEL kembali disuspensi BEI. Alasannya, menurut BEI, perseroan memperoleh Opini Tidak Memberikan Pendapatan (disclaimer) selama 2 tahun berturut-turut yakni periode 31 Desember 2018 dan 31 Desember 2017.
Mengacu pada peraturan BEI, jika perusahaan mendapat opini 'disclaimer' 3 tahun berturut-turut, maka bursa dapat membatalkan pencatatan efek perusahaan.
Melansir laporan keuangan BTEL, perusahaan mencatatkan nilai buku ekuitas negatif sejak tahun 2013. Jumlah utang perusahaan juga menggelembung, di mana total utang yang awalnya hanya sekitar Rp 7,16 triliun pada 2010 menjadi Rp 16,13 triliun di tahun 2018. Kondisi ini mengkhawatirkan karena seiring bertambahnya utang perusahaan, nilai ekuitas lama-lama menjadi negatif.
Sebelumnya Bakrie Telecom fokus pada sektor telekomunikasi dengan merek Esia, tapi sejak 2016 perusahaan Grup Bakrie itu mengumumkan melakukan perombakan besar-besaran dengan menganti layanan bisnis dari operator seluler berbasis code division multiple access (CDMA) menjadi bisnis lebih ke korporasi (Business-to-Business/B2B).
Saham BTEL diperdagangkan terakhir di level Rp 50/saham, dengan kapitalisasi pasar Rp 1,84 triliun dan 5 tahun terakhir, data perdagangan mencatat saham ini 'tidur'.
(tas/hps) Next Article Cicil Utang ke BCA, Taksi Express Jual 1.200 Kendaraan
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular