
Sentimen Negatif Global & Dolar AS Tekan Harga SUN
Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
29 May 2019 11:24

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi rupiah pemerintah masih berlanjut koreksi pada perdagangan Rabu ini (29/5/2019), sama seperti kondisi pasar Selasa kemarin.
Koreksi harga surat utang negara (SUN) terjadi seiring dengan dampak sentimen negatif pasar keuangan global ke pasar surat berharga negara (SBN). Selain itu, koreksi harga SUN juga terpengaruh posisi rupiah yang melemah terhadap dolar AS.
Padahal sebelumnya penguatan harga masih terjadi seiring dengan sentimen positif dari kondisi keamanan domestik pascabentrok 22 Mei yang memprotes hasil Pilpres 2019 dari kubu pasangan capres-cawapres Prabowo-Sandiaga Uno.
Turunnya harga SUN itu tidak senada dengan apresiasi yang terjadi di sebagian besar pasar surat utang pemerintah negara berkembang yang lain.
Data Refinitiv menunjukkan terkoreksinya harga SUN itu tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menaikkan tingkat imbal hasilnya (yield).
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder. Yield juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum.
Keempat seri yang menjadi acuan itu adalah FR0077 bertenor 5 tahun, FR0078 bertenor 10 tahun, FR0068 bertenor 15 tahun, dan FR0079 bertenor 20 tahun.
Seri acuan yang paling melemah adalah FR0068 yang bertenor 15 tahun dengan kenaikan yield 8,6 basis poin (bps) menjadi 8.49%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Sumber: Refinitiv
Koreksi SBN hari ini juga membuat selisih (spread) obligasi rupiah pemerintah tenor 10 tahun dengan surat utang pemerintah AS (US Treasury) tenor serupa mencapai 574 bps, melebar dari posisi kemarin 567 bps.
Yield US Treasury 10 tahun turun lagi hingga 2,24% dari posisi kemarin 2,28%.
Terkait dengan pasar US Treasury, saat ini masih terjadi inversi pada tenor 3 bulan-10 tahun, yang lumrah terjadi sejak perang dagang China-AS kembali memanas pada awal tahun ini.
Saat ini pelaku pasar global lebih menantikan inversi yang terjadi pada tenor 3 bulan-10 tahun yang mulai terjadi pada awal tahun tetapi timbul dan tenggelam, sebagai indikator yang lebih menegaskan kembali bahwa potensi resesi AS semakin dekat dibanding inversi tenor lain.
Inversi adalah kondisi lebih tingginya yield seri lebih pendek dibanding yield seri lebih panjang.
Inversi tersebut membentuk kurva yield terbalik (inverted yield curve), yang menjadi cerminan investor yang lebih meminati US Treasury seri panjang dibanding yang pendek karena menilai akan terjadi kontraksi jangka pendek, sekaligus indikator adanya potensi tekanan ekonomi bahkan hingga krisis.
Sumber: Refinitiv
Terkait dengan porsi investor di pasar SBN, data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) terakhir menunjukkan investor asing menggenggam Rp 951 triliun SBN, atau 38,07% dari total beredar Rp 2.498 triliun berdasarkan data per 24 Mei.
Angka kepemilikannya masih positif atau bertambah Rp 57,75 triliun dibanding posisi akhir Desember Rp 893,25 triliun, sehingga persentasenya masih naik dari 37,71% pada periode yang sama.
Meskipun demikian, sepanjang Mei ini investor asing sudah keluar dari pasar SUN senilai Rp 11,57 triliun dan sepekan lalu nilai dana asing keluar mencapai Rp 3,43 triliun.
Koreksi di pasar surat utang hari ini tidak seperti yang terjadi di pasar ekuitas, yang menguat 1,07%.
Dari pasar surat utang negara berkembang, penguatan terjadi di banyak negara yaitu di China, India, Malaysia, Rusia, Singapura, dan Thailand. Di negara maju, penguatan terjadi secara luas yaitu di pasar bund Jerman, OAT Perancis, JGB Jepang, dan US Treasury.
Hal tersebut mencerminkan investor global masih banyak yang menyasar ke instrumen obligasi yang dinilai lebih aman, yaitu di pasar negara maju.
Sumber: Refinitiv
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/tas) Next Article Rupiah Stabil & AS-Iran Mulai Adem, Harga SUN Mulai Terangkat
Koreksi harga surat utang negara (SUN) terjadi seiring dengan dampak sentimen negatif pasar keuangan global ke pasar surat berharga negara (SBN). Selain itu, koreksi harga SUN juga terpengaruh posisi rupiah yang melemah terhadap dolar AS.
Padahal sebelumnya penguatan harga masih terjadi seiring dengan sentimen positif dari kondisi keamanan domestik pascabentrok 22 Mei yang memprotes hasil Pilpres 2019 dari kubu pasangan capres-cawapres Prabowo-Sandiaga Uno.
Turunnya harga SUN itu tidak senada dengan apresiasi yang terjadi di sebagian besar pasar surat utang pemerintah negara berkembang yang lain.
Data Refinitiv menunjukkan terkoreksinya harga SUN itu tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menaikkan tingkat imbal hasilnya (yield).
SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum.
Keempat seri yang menjadi acuan itu adalah FR0077 bertenor 5 tahun, FR0078 bertenor 10 tahun, FR0068 bertenor 15 tahun, dan FR0079 bertenor 20 tahun.
Seri acuan yang paling melemah adalah FR0068 yang bertenor 15 tahun dengan kenaikan yield 8,6 basis poin (bps) menjadi 8.49%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Yield Obligasi Negara Acuan 29 Mei'19 | |||||
Seri | Jatuh tempo | Yield 28 Mei'19 (%) | Yield 29 Mei'19 (%) | Selisih (basis poin) | Yield wajar IBPA 28 Mei'19 |
FR0077 | 5 tahun | 7.523 | 7.55 | 2.70 | 7.4871 |
FR0078 | 10 tahun | 7.959 | 7.989 | 3.00 | 7.9459 |
FR0068 | 15 tahun | 8.407 | 8.493 | 8.60 | 8.4024 |
FR0079 | 20 tahun | 8.445 | 8.51 | 6.50 | 8.4125 |
Avg movement | 5.20 |
Koreksi SBN hari ini juga membuat selisih (spread) obligasi rupiah pemerintah tenor 10 tahun dengan surat utang pemerintah AS (US Treasury) tenor serupa mencapai 574 bps, melebar dari posisi kemarin 567 bps.
Yield US Treasury 10 tahun turun lagi hingga 2,24% dari posisi kemarin 2,28%.
Terkait dengan pasar US Treasury, saat ini masih terjadi inversi pada tenor 3 bulan-10 tahun, yang lumrah terjadi sejak perang dagang China-AS kembali memanas pada awal tahun ini.
Saat ini pelaku pasar global lebih menantikan inversi yang terjadi pada tenor 3 bulan-10 tahun yang mulai terjadi pada awal tahun tetapi timbul dan tenggelam, sebagai indikator yang lebih menegaskan kembali bahwa potensi resesi AS semakin dekat dibanding inversi tenor lain.
Inversi adalah kondisi lebih tingginya yield seri lebih pendek dibanding yield seri lebih panjang.
Inversi tersebut membentuk kurva yield terbalik (inverted yield curve), yang menjadi cerminan investor yang lebih meminati US Treasury seri panjang dibanding yang pendek karena menilai akan terjadi kontraksi jangka pendek, sekaligus indikator adanya potensi tekanan ekonomi bahkan hingga krisis.
Yield US Treasury Acuan 29 Mei'2019 | |||||
Seri | Benchmark | Yield 28 Mei'19 (%) | Yield 29 Mei'19 (%) | Selisih (Inversi) | Satuan Inversi |
UST BILL 2019 | 3 Bulan | 2.356 | 2.358 | 3 bulan-5 tahun | 32 |
UST 2020 | 2 Tahun | 2.117 | 2.089 | 2 tahun-5 tahun | 5.1 |
UST 2021 | 3 Tahun | 2.063 | 2.038 | 3 tahun-5 tahun | 0 |
UST 2023 | 5 Tahun | 2.074 | 2.038 | 3 bulan-10 tahun | 11.1 |
UST 2028 | 10 Tahun | 2.268 | 2.247 | 2 tahun-10 tahun | -15.8 |
Terkait dengan porsi investor di pasar SBN, data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) terakhir menunjukkan investor asing menggenggam Rp 951 triliun SBN, atau 38,07% dari total beredar Rp 2.498 triliun berdasarkan data per 24 Mei.
Angka kepemilikannya masih positif atau bertambah Rp 57,75 triliun dibanding posisi akhir Desember Rp 893,25 triliun, sehingga persentasenya masih naik dari 37,71% pada periode yang sama.
Meskipun demikian, sepanjang Mei ini investor asing sudah keluar dari pasar SUN senilai Rp 11,57 triliun dan sepekan lalu nilai dana asing keluar mencapai Rp 3,43 triliun.
Koreksi di pasar surat utang hari ini tidak seperti yang terjadi di pasar ekuitas, yang menguat 1,07%.
Dari pasar surat utang negara berkembang, penguatan terjadi di banyak negara yaitu di China, India, Malaysia, Rusia, Singapura, dan Thailand. Di negara maju, penguatan terjadi secara luas yaitu di pasar bund Jerman, OAT Perancis, JGB Jepang, dan US Treasury.
Hal tersebut mencerminkan investor global masih banyak yang menyasar ke instrumen obligasi yang dinilai lebih aman, yaitu di pasar negara maju.
Yield Obligasi Tenor 10 Tahun Negara Maju & Berkembang | |||
Negara | Yield 28 Mei'19 (%) | Yield 29 Mei'19 (%) | Selisih (basis poin) |
Brasil | 8.64 | 8.65 | 1.00 |
China | 3.358 | 3.328 | -3.00 |
Jerman | -0.154 | -0.161 | -0.70 |
Perancis | 0.258 | 0.252 | -0.60 |
Inggris | 0.918 | 0.927 | 0.90 |
India | 7.166 | 7.149 | -1.70 |
Jepang | -0.072 | -0.084 | -1.20 |
Malaysia | 3.819 | 3.813 | -0.60 |
Filipina | 5.685 | 5.685 | 0.00 |
Rusia | 7.96 | 7.93 | -3.00 |
Singapura | 2.112 | 2.108 | -0.40 |
Thailand | 2.435 | 2.41 | -2.50 |
Amerika Serikat | 2.268 | 2.248 | -2.00 |
Afrika Selatan | 8.36 | 8.445 | 8.50 |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/tas) Next Article Rupiah Stabil & AS-Iran Mulai Adem, Harga SUN Mulai Terangkat
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular