Kemenangan Jokowi Tak Mempan, Rupiah Memang Sudah Kemahalan?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 May 2019 09:25

Kemungkinan ada dua faktor utama. Pertama adalah meski KPU sudah menetapkan hasil pilpres tetapi drama politik belum sepenuhnya usai.
Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga menolak hasil rekapitulasi suara tersebut. Kubu 02 menilai pilpres penuh dengan kecurangan sehingga legalitasnya dipertanyakan.
Oleh karena itu, aksi massa pada 22 Mei masih terjadwal. Risiko keamanan masih cukup tinggi, sehingga mungkin menjadi perhatian investor.
Kedua, bisa jadi pelaku pasar menilai rupiah memang sudah terlalu mahal alias overvalued. Ini bisa dilihat dari fondasi penyokong rupiah yang sebenarnya rapuh.
Pada April 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit neraca perdagangan mencapai US$ 2,5 miliar. Ini merupakan defisit paling dalam sepanjang sejarah Indonesia merdeka.
Sementara pada kuartal I-2019, defisit transaksi berjalan ada di 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Memburuk ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 2,01% PDB.
Dengan neraca perdagangan yang tekor habis-habisan pada April, dan mungkin berlanjut pada Mei akibat tingginya impor mengantisipasi kebutuhan Ramadan-Idul Fitri, maka prospek transaksi berjalan pada kuartal II-2019 boleh dibilang suram. Artinya, pasokan devisa yang bertahan lama (sustainable) dari ekspor-impor barang dan jasa masih seret sehingga rupiah bergantung kepada arus modal di pasar keuangan (hot money) yang bisa keluar-masuk dalam satu kedipan mata. Rentan sekali.
Fondasi yang rapuh ini sepertinya membuat nilai rupiah terdiskon. Bisa jadi level Rp 14.300/US$ memang sudah terlalu mahal, sehingga rupiah layak melemah ke kisaran Rp 14.400/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga menolak hasil rekapitulasi suara tersebut. Kubu 02 menilai pilpres penuh dengan kecurangan sehingga legalitasnya dipertanyakan.
Oleh karena itu, aksi massa pada 22 Mei masih terjadwal. Risiko keamanan masih cukup tinggi, sehingga mungkin menjadi perhatian investor.
Kedua, bisa jadi pelaku pasar menilai rupiah memang sudah terlalu mahal alias overvalued. Ini bisa dilihat dari fondasi penyokong rupiah yang sebenarnya rapuh.
Pada April 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit neraca perdagangan mencapai US$ 2,5 miliar. Ini merupakan defisit paling dalam sepanjang sejarah Indonesia merdeka.
Sementara pada kuartal I-2019, defisit transaksi berjalan ada di 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Memburuk ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 2,01% PDB.
Dengan neraca perdagangan yang tekor habis-habisan pada April, dan mungkin berlanjut pada Mei akibat tingginya impor mengantisipasi kebutuhan Ramadan-Idul Fitri, maka prospek transaksi berjalan pada kuartal II-2019 boleh dibilang suram. Artinya, pasokan devisa yang bertahan lama (sustainable) dari ekspor-impor barang dan jasa masih seret sehingga rupiah bergantung kepada arus modal di pasar keuangan (hot money) yang bisa keluar-masuk dalam satu kedipan mata. Rentan sekali.
Fondasi yang rapuh ini sepertinya membuat nilai rupiah terdiskon. Bisa jadi level Rp 14.300/US$ memang sudah terlalu mahal, sehingga rupiah layak melemah ke kisaran Rp 14.400/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular