Kemenangan Jokowi Tak Mempan, Rupiah Memang Sudah Kemahalan?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
21 May 2019 09:25
Kemenangan Jokowi Tak Mempan, Rupiah Memang Sudah Kemahalan?
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Kepastian terpilihnya Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden 2019-2024 ternyata tidak mampu mendorong rupiah untuk menguat. Apa yang terjadi? 

Pada Selasa (21/5/2019) pukul 09:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.460 di perdagangan pasar spot. Rupiah melemah 0,07% dibandingkan posisi penutupan hari sebelumnya. 

Padahal ada sentimen positif dari dalam negeri. Hasil rapat pleno Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan pasangan Jokowi-KH Ma'ruf Amin sebagai pemenang Pilpres 2019 dengan raihan suara 55,48%. Sementara pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno mendapatkan 44,52%. 


Kepastian. Hampir pasti Jokowi akan kembali ke Istana Negara selama lima tahun ke depan.  

Artinya haluan kebijakan pemerintah dalam periode tersebut tidak akan berubah signifikan. Reformasi struktural akan dilanjutkan, salah satunya untuk membenahi defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). 

Kembalinya Jokowi menjadi RI-1 direspons positif oleh investor di pasar saham. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka menguat dan masih positif 0,4% pada pukul 09:08 WIB. 

Lalu apa yang membuat rupiah masih tertinggal di zona merah?

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Kemungkinan ada dua faktor utama. Pertama adalah meski KPU sudah menetapkan hasil pilpres tetapi drama politik belum sepenuhnya usai.

Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga menolak hasil rekapitulasi suara tersebut. Kubu 02 menilai pilpres penuh dengan kecurangan sehingga legalitasnya dipertanyakan. 


Oleh karena itu, aksi massa pada 22 Mei masih terjadwal. Risiko keamanan masih cukup tinggi, sehingga mungkin menjadi perhatian investor. 


Kedua, bisa jadi pelaku pasar menilai rupiah memang sudah terlalu mahal alias overvalued. Ini bisa dilihat dari fondasi penyokong rupiah yang sebenarnya rapuh. 

Pada April 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit neraca perdagangan mencapai US$ 2,5 miliar. Ini merupakan defisit paling dalam sepanjang sejarah Indonesia merdeka. 



Sementara pada kuartal I-2019, defisit transaksi berjalan ada di 2,6% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Memburuk ketimbang periode yang sama tahun sebelumnya yaitu 2,01% PDB. 

Dengan neraca perdagangan yang tekor habis-habisan pada April, dan mungkin berlanjut pada Mei akibat tingginya impor mengantisipasi kebutuhan Ramadan-Idul Fitri, maka prospek transaksi berjalan pada kuartal II-2019 boleh dibilang suram. Artinya, pasokan devisa yang bertahan lama (sustainable) dari ekspor-impor barang dan jasa masih seret sehingga rupiah bergantung kepada arus modal di pasar keuangan (hot money) yang bisa keluar-masuk dalam satu kedipan mata. Rentan sekali. 

Fondasi yang rapuh ini sepertinya membuat nilai rupiah terdiskon. Bisa jadi level Rp 14.300/US$ memang sudah terlalu mahal, sehingga rupiah layak melemah ke kisaran Rp 14.400/US$.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular