Saham Bank Tertekan, Sinyal The Fed Naikkan Suku Bunga Acuan?

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
14 May 2019 11:13
Hingga berita ini dimuat, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjerembab 1,17% ke level 6.063,39.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Perseteruan dagang Amerika Serikat (AS) dan China yang tak kunjung usai terus berimbas pada bursa saham domestik. Hingga berita ini dimuat, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjerembab 1,17% ke level 6.063,39.

Jika tidak ada angin segar berhembus dari dua perekonomian terbesar dunia, ada peluang IHSG meninggalkan level 6.000 poin. Pemerintah Indonesia, pastinya akan melakukan intervensi untuk mencegah hal ini terjadi.

Salah satu indeks sektoral yang mendorong merosotnya performa IHSG pada perdagangan sesi I adalah emiten-emiten perbankan, terutama emiten Bank Buku IV.

Hingga berita ini dimuat harga saham Bank Buku IV kompak memerah dengan PT Bank CIMB Niaga (BNGA) mencatatkan koreksi terdalam.

Harga saham BNGA anjlok 3,33% ke level Rp 1.015.unit saham, disusul oleh PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) yang merosot 2,35%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) turun 1,46%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) terkoreksi 1,46%, dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) turun 0,45%.

Hanya dengan penurunan dari 5 emiten tersebut, bursa saham acuan tanah air sudah kehilangan kapitalisasi pasar sebesar Rp 17,25 triliun.

Penyebab investor kompak melakukan aksi sell-off pada emiten perbankan adalah kekhawatiran bahwa Bank Sentral AS/The Federal Reserves (The Fed) akan menaikkan suku bunga acuannya sebagai dampak dari situasi geopolitik Negeri Paman Sam dan Negeri Tiongkok yang semakin memanas.

Kemarin (13/5/2019) Negeri Tirai Bambu memutuskan untuk memberi serangan balasan atas tindakan Presiden AS Donald Trump menaikkan bea impor terhadap barang-barang asal China senilai US$ 200 miliar.

Kementerian Keuangan China mengumumkan bahwa bea masuk bagi importasi produk asal AS senilai US$ 60 miliar akan dinaikkan menjadi 20 dan 25%, dari yang sebelumnya berada di level 5% dan 10%. Kenaikan tersebut akan berlaku pada tanggal 1 Juni mendatang, dilansir CNBC International.

Dengan tingginya bea masuk berbagai produk asal China, besar kemungkinan pelaku usaha akan membebankan tarif tersebut pada konsumen dengan menaikkan harga produk mereka. Alhasil, ada potensi bahwa tingkat inflasi AS akan naik dimana hal ini dapat menjadi alasan The Fed menaikkan suku bunga acuan.

Jika suku bunga acuan AS dinaikkan, maka dollar AS akan semakin menarik bagi investor, terlebih lagi dollar AS merupakan salah satu instrumen safe haven.

Head of Research Kresna Sekuritas Franky Rivan mengatakan kenaikan tarif impor terhadap barang-barang China akan membuat harga bahan baku di AS naik. Kenaikan harga tersebut otomatis akan mendorong kenaikan inflasi.

"Kalau inflasi naik The Fed akan punya lebih banyak ruang untuk menaikkan suku bunga, yang buruk bagi emerging market seperti kita," kata Franky.

Nah, untuk menghindari investor kabur dari pasar modal tanah air dan membuat instrumen berbasis rupiah menarik bagi pelaku pasar, Bank Indonesia akan merespons dengan ikut menaikkan suku bunga acuan.

Dengan suku bunga acuan yang lebih tinggi, perbankan tanah air sudah pasti dirugikan karena marjin bunga bersih/Net Interest Margin (NIM) akan kembali tertekan seperti yang terjadi pada tahun 2018.

Sepanjang 2018, NIM dari bank-bank BUKU 4 kompak tertekan lantaran kenaikan suku bunga acuan sebesar 175 bps yang dieksekusi oleh Bank Indonesia (BI), merespons normalisasi The Fed sebesar 100 bps di tahun yang sama.

Dengan demikian, tanpa adanya sentimen domestik yang mampu menahan investor untuk kabur dari bursa saham Indonesia, maka sell-off di industri perbankan tidak dapat dihindari.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/hps) Next Article Yes! Saham BBCA Balik ke Rp 8.000, BBNI & BMRI Nyusul Nih?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular