
Perang Dagang Buat IHSG Kian Tertekan, Waspada Panic Selling!
Houtmand P Saragih, CNBC Indonesia
14 May 2019 10:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Kalangan analis menilai tekanan terhadap pasar saham domestik berpotensi akan berlangsung lama merespons perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China.
Head of Research Kresna Sekuritas Franky Rivan mengatakan kenaikan tarif impor terhadap barang-barang China akan membuat harga bahan baku di AS naik. Kenaikan harga tersebut otomatis akan mendorong kenaikan inflasi.
"Kalau inflasi naik The Fed akan punya lebih banyak ruang untuk menaikkan suku bunga, yang buruk bagi emerging market seperti kita," kata Franky.
Hal ini disampaikan Franky merespons koreksi dalam Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terkoreksi hingga 1,27% ke level 6.057 hingga pukul 10.28 WIB. Koreksi IHSG merupakan respons atas tindakan China yang balik mengenakan tarif produk AS, setelah sebelumnya mendapat perlakuan sama.
Apakah ini tanda panic selling? Franky mengatakan, "Menurut kami wajar (IHSG) turun dalam segini, bukan panic selling."
Kemarin, China mengumumkan balasannya atas pengenaan bea masuk tambahan yang dieksekusi AS menjelang akhir pekan.
Kementerian Keuangan China mengumumkan bahwa bea masuk bagi importasi produk asal AS senilai US$ 60 miliar akan dinaikkan menjadi 20 dan 25%, dari yang sebelumnya berada di level 5% dan 10%. Barang-barang agrikultur menjadi sasaran dari pemerintah China.
Ketika berlaku pada tanggal 1 Juni, importir asal China akan membayar bea masuk yang lebih tinggi ketika mendatangkan produk agrikultur seperti kacang tanah, gula, gandum, ayam dan kalkun dari Negeri Paman Sam.
Dalam sebuah pernyataan, China menyebut bahwa bea masuk tambahan yang dieksekusi AS menjelang akhir pekan kemarin telah membahayakan kepentingan kedua negara serta tak sesuai dengan ekspektasi dari dunia internasional, seperti dilansir dari CNBC International.
Presiden AS Donald Trump mengungkapkan bahwa dirinya belum membuat keputusan terkait dengan apakah produk impor asal China senilai US$ 325 miliar yang hingga kini belum terdampak oleh perang dagang akan dikenakan bea masuk.
"Kami memiliki hak untuk mengenakan (bea masuk terhadap) US$ 325 miliar lainnya (produk impor asal China) sebesar 25%," kata Trump sebelum kemudian menambahkan "Saya belum membuat keputusan tersebut."
Sebelumnya, Trump sempat menyebut bahwa produk impor asal China senilai US$ 325 miliar tersebut akan dibebankan bea masuk senilai 25% dalam waktu dekat. Melunaknya sikap Trump tersebut membuat pelaku pasar optimistis bahwa perang dagang tak akan tereskalasi lagi.
Menurut Franky, perang dagang ini akan membuat 2019 penuh tantangan dan IHSG masih akan tertekan sepanjang tahun.
"Ini baru permulaan kenaikan tarif impor, ke depannya masih akan berlanjut. Belum lagi perang dagang AS dengan Uni Eropa, Kanada, dan negara-negara lainnya," tandas Franky.
Hal senada disampaikan Vice President dan Senior Analis Samuel Sekuritas yang mengatakan perang dagang AS-China memicu koreksi nilai tukar rupiah. Selain itu, kondisi geo politik Timur Tengah membuat harga minyak dunia naik.
"Kondisi ini memukul sebagian besar Emiten, dan mendorong asing mengurangi portofolio-nya. Melihat sikap Trump dan China, kelihatannya (tekanan ke IHSG) akan cukup lama," kata Alfatih.
(wed) Next Article Jelang Musim Laporan Keuangan, Ini Emiten Yang Mulai Diborong
Head of Research Kresna Sekuritas Franky Rivan mengatakan kenaikan tarif impor terhadap barang-barang China akan membuat harga bahan baku di AS naik. Kenaikan harga tersebut otomatis akan mendorong kenaikan inflasi.
"Kalau inflasi naik The Fed akan punya lebih banyak ruang untuk menaikkan suku bunga, yang buruk bagi emerging market seperti kita," kata Franky.
Hal ini disampaikan Franky merespons koreksi dalam Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terkoreksi hingga 1,27% ke level 6.057 hingga pukul 10.28 WIB. Koreksi IHSG merupakan respons atas tindakan China yang balik mengenakan tarif produk AS, setelah sebelumnya mendapat perlakuan sama.
Kemarin, China mengumumkan balasannya atas pengenaan bea masuk tambahan yang dieksekusi AS menjelang akhir pekan.
Kementerian Keuangan China mengumumkan bahwa bea masuk bagi importasi produk asal AS senilai US$ 60 miliar akan dinaikkan menjadi 20 dan 25%, dari yang sebelumnya berada di level 5% dan 10%. Barang-barang agrikultur menjadi sasaran dari pemerintah China.
Ketika berlaku pada tanggal 1 Juni, importir asal China akan membayar bea masuk yang lebih tinggi ketika mendatangkan produk agrikultur seperti kacang tanah, gula, gandum, ayam dan kalkun dari Negeri Paman Sam.
Dalam sebuah pernyataan, China menyebut bahwa bea masuk tambahan yang dieksekusi AS menjelang akhir pekan kemarin telah membahayakan kepentingan kedua negara serta tak sesuai dengan ekspektasi dari dunia internasional, seperti dilansir dari CNBC International.
Presiden AS Donald Trump mengungkapkan bahwa dirinya belum membuat keputusan terkait dengan apakah produk impor asal China senilai US$ 325 miliar yang hingga kini belum terdampak oleh perang dagang akan dikenakan bea masuk.
"Kami memiliki hak untuk mengenakan (bea masuk terhadap) US$ 325 miliar lainnya (produk impor asal China) sebesar 25%," kata Trump sebelum kemudian menambahkan "Saya belum membuat keputusan tersebut."
Sebelumnya, Trump sempat menyebut bahwa produk impor asal China senilai US$ 325 miliar tersebut akan dibebankan bea masuk senilai 25% dalam waktu dekat. Melunaknya sikap Trump tersebut membuat pelaku pasar optimistis bahwa perang dagang tak akan tereskalasi lagi.
Menurut Franky, perang dagang ini akan membuat 2019 penuh tantangan dan IHSG masih akan tertekan sepanjang tahun.
"Ini baru permulaan kenaikan tarif impor, ke depannya masih akan berlanjut. Belum lagi perang dagang AS dengan Uni Eropa, Kanada, dan negara-negara lainnya," tandas Franky.
Hal senada disampaikan Vice President dan Senior Analis Samuel Sekuritas yang mengatakan perang dagang AS-China memicu koreksi nilai tukar rupiah. Selain itu, kondisi geo politik Timur Tengah membuat harga minyak dunia naik.
"Kondisi ini memukul sebagian besar Emiten, dan mendorong asing mengurangi portofolio-nya. Melihat sikap Trump dan China, kelihatannya (tekanan ke IHSG) akan cukup lama," kata Alfatih.
(wed) Next Article Jelang Musim Laporan Keuangan, Ini Emiten Yang Mulai Diborong
Most Popular