
6 Alasan Mengapa Trump Mestinya Tak Memulai Perang Dagang
Wangi Sinintya, CNBC Indonesia
09 May 2019 19:24

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang lebih baik pada kuartal I-2019 dan tingkat inflasi yang rendah mungkin menjadi alasan yang tepat bagi Negeri Paman Sam untuk menghadapi China dalam perang perdagangan (trade war) saat ini.
Namun menurut Don Rissmiller, Kepala Ekonom Strategas Research, ada enam faktor yang menunjukkan bahwa periode saat ini bukan waktu yang benar-benar tepat sama sekali untuk menghadapi China dengan saling ancam pengenaan tarif impor.
"Saya pikir ekonomi baik-baik saja. Tetapi apakah kita [AS] benar-benar ingin melakukan beberapa hal yang sebaiknya tidak harus kita lakukan?" kata Rissmiller, dikutip dari CNBC International, Kamis (09/05/2019).
Inilah enam hal yang membuat Rissmiller khawatir tentang perang dagang AS-China, jika terealisasi.
Pertama
Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) AS mencapai 3,2% pada kuartal pertama, sebagian besar dari pertumbuhan itu atau 0,7% disumbang oleh oleh barang-barang inventaris, atau barang dan bahan yang dihasilkan dari sektor bisnis alias swasta.
"Ini bagus [PDB tumbuh], tetapi jika Anda melihat sub-komponen [dari PDB], maka itu tidak sebagus berita utama. [Sokongan] inventaris bukan cara terbaik untuk tumbuh," kata Rissmiller. "Kita akan membayar kembali sebagian dari itu," katanya.
Kedua
Reaksi pasar terhadap perang dagang bisa berarti pengetatan kondisi keuangan, tetapi bank sentral AS, The Fed, dinilai tidak lagi dalam posisi melakukan pelonggaran moneter.
Rissmiller mengatakan The Fed pada akhirnya bisa memangkas suku bunga, tetapi tidak akan melakukan hal itu terlebih dahulu, hanya karena kekhawatiran bahwa pasar bisa dihantui atau ekonomi dilanda perang dagang.
Awal Mei ini, The Fed mempertahankan suku bunga acuan dan mengisyaratkan tidak akan menaikkan atau menurunkan suku bunga acuan hingga beberapa bulan mendatang. Suku bunga acuan (Fed Funds Rate) ditahan di level 2,25% - 2,5%. Keputusan ini dibuat di tengah masih kuatnya pertumbuhan ekonomi dan pasar tenaga kerja.
Ketiga
Tingkat inflasi mungkin rendah, tetapi "masih ada tanda-tanda itu [inflasi] bisa berhenti," kata Rissmiller. Dia mengatakan masih ada potensi inflasi bisa naik seiring dengan peningkatan pemanfaatan kapasitas produksi, kenaikan upah, dan pelambatan waktu pengiriman pemasok.
Pasar obligasi, menurut dia, untuk sementara juga tidak memberikan banyak "bantalan" terhadap inflasi, dengan imbal hasil surat utang tenor 10 tahun (US Treasury) di bawah 2,5%.
"Tarif, ketika Anda berpikir tentang mereka yang meningkatkan harga, bisa sedikit menaikkan inflasi dalam jangka pendek," katanya. "Saya pikir The Fed akan menganalisis hal itu, tetapi saya tidak berpikir mereka ingin memotong suku bunga jika inflasi naik."
Sebelumnya, pasar juga mencerna pernyataan Gubernur The Fed Jerome Powell yang menyatakan bahwa rendahnya inflasi tahun ini bisa jadi hanyalah faktor yang sifatnya sementara, ini memupuskan harapan sebagian investor bahwa bank sentral AS akan menurunkan suku bunganya tahun ini.
Target inflasi The Fed adalah 2% sementara inflasi inti AS tercatat hanya 1,6% di kuartal pertama.
"Kami memperkirakan faktor-faktor yang sifatnya sementara sedang mengambil peran," kata Powell dalam konferensi pers setelah pengumuman suku bunga acuan, dikutip Reuters dan CNBC International. Powell juga menambahkan bahwa inflasi akan kembali ke kisaran target The Fed dan akan tetap simetris dengan sasaran tersebut.
Keempat
Standar penyaluran pinjaman bank AS. Meskipun masih ekspansif, tampaknya penyaluran kredit di AS tidak semudah itu. Data penyaluran pinjaman menurut Rissmiller adalah indikator utama untuk melihat tingkat upah pekerja
Kelima
Industri manufaktur yang melambat, dan melemah. Indeks Purchasing Manager (PMI) di AS, yang menjadi patokan di sektor manufaktur, posisinta sedang dalam tren turun, mengikuti pelemahan ekonomi global.
Keenam
Akhirnya, ya lagi-lagi soal defisit anggaran AS yang tampaknya besar. Rissmiller mengatakan rencana pemotongan pajak dan stimulus fiskal yang diberlakukan di AS (yang menggelembungkan defisit) bertujuan untuk mendorong pengeluaran perusahaan.
Namun, jika masalah perdagangan tidak terselesaikan, itu bisa memiliki dampak yang berlawanan. Para direksi dan direktur keuangan perusahaan-perusahaan di AS, katanya, akan enggan menghabiskan sesuatu yang tidak pasti. "Itu taruhan besar yang kita buat pada ekonomi melalui pajak," katanya.
(tas) Next Article Damai Perang Dagang AS-China Suram, Ini Sebabnya
Namun menurut Don Rissmiller, Kepala Ekonom Strategas Research, ada enam faktor yang menunjukkan bahwa periode saat ini bukan waktu yang benar-benar tepat sama sekali untuk menghadapi China dengan saling ancam pengenaan tarif impor.
"Saya pikir ekonomi baik-baik saja. Tetapi apakah kita [AS] benar-benar ingin melakukan beberapa hal yang sebaiknya tidak harus kita lakukan?" kata Rissmiller, dikutip dari CNBC International, Kamis (09/05/2019).
Inilah enam hal yang membuat Rissmiller khawatir tentang perang dagang AS-China, jika terealisasi.
Pertama
Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) AS mencapai 3,2% pada kuartal pertama, sebagian besar dari pertumbuhan itu atau 0,7% disumbang oleh oleh barang-barang inventaris, atau barang dan bahan yang dihasilkan dari sektor bisnis alias swasta.
"Ini bagus [PDB tumbuh], tetapi jika Anda melihat sub-komponen [dari PDB], maka itu tidak sebagus berita utama. [Sokongan] inventaris bukan cara terbaik untuk tumbuh," kata Rissmiller. "Kita akan membayar kembali sebagian dari itu," katanya.
Kedua
Reaksi pasar terhadap perang dagang bisa berarti pengetatan kondisi keuangan, tetapi bank sentral AS, The Fed, dinilai tidak lagi dalam posisi melakukan pelonggaran moneter.
Awal Mei ini, The Fed mempertahankan suku bunga acuan dan mengisyaratkan tidak akan menaikkan atau menurunkan suku bunga acuan hingga beberapa bulan mendatang. Suku bunga acuan (Fed Funds Rate) ditahan di level 2,25% - 2,5%. Keputusan ini dibuat di tengah masih kuatnya pertumbuhan ekonomi dan pasar tenaga kerja.
Ketiga
Tingkat inflasi mungkin rendah, tetapi "masih ada tanda-tanda itu [inflasi] bisa berhenti," kata Rissmiller. Dia mengatakan masih ada potensi inflasi bisa naik seiring dengan peningkatan pemanfaatan kapasitas produksi, kenaikan upah, dan pelambatan waktu pengiriman pemasok.
Pasar obligasi, menurut dia, untuk sementara juga tidak memberikan banyak "bantalan" terhadap inflasi, dengan imbal hasil surat utang tenor 10 tahun (US Treasury) di bawah 2,5%.
"Tarif, ketika Anda berpikir tentang mereka yang meningkatkan harga, bisa sedikit menaikkan inflasi dalam jangka pendek," katanya. "Saya pikir The Fed akan menganalisis hal itu, tetapi saya tidak berpikir mereka ingin memotong suku bunga jika inflasi naik."
Sebelumnya, pasar juga mencerna pernyataan Gubernur The Fed Jerome Powell yang menyatakan bahwa rendahnya inflasi tahun ini bisa jadi hanyalah faktor yang sifatnya sementara, ini memupuskan harapan sebagian investor bahwa bank sentral AS akan menurunkan suku bunganya tahun ini.
Target inflasi The Fed adalah 2% sementara inflasi inti AS tercatat hanya 1,6% di kuartal pertama.
"Kami memperkirakan faktor-faktor yang sifatnya sementara sedang mengambil peran," kata Powell dalam konferensi pers setelah pengumuman suku bunga acuan, dikutip Reuters dan CNBC International. Powell juga menambahkan bahwa inflasi akan kembali ke kisaran target The Fed dan akan tetap simetris dengan sasaran tersebut.
![]() |
Keempat
Standar penyaluran pinjaman bank AS. Meskipun masih ekspansif, tampaknya penyaluran kredit di AS tidak semudah itu. Data penyaluran pinjaman menurut Rissmiller adalah indikator utama untuk melihat tingkat upah pekerja
Kelima
Industri manufaktur yang melambat, dan melemah. Indeks Purchasing Manager (PMI) di AS, yang menjadi patokan di sektor manufaktur, posisinta sedang dalam tren turun, mengikuti pelemahan ekonomi global.
Keenam
Akhirnya, ya lagi-lagi soal defisit anggaran AS yang tampaknya besar. Rissmiller mengatakan rencana pemotongan pajak dan stimulus fiskal yang diberlakukan di AS (yang menggelembungkan defisit) bertujuan untuk mendorong pengeluaran perusahaan.
Namun, jika masalah perdagangan tidak terselesaikan, itu bisa memiliki dampak yang berlawanan. Para direksi dan direktur keuangan perusahaan-perusahaan di AS, katanya, akan enggan menghabiskan sesuatu yang tidak pasti. "Itu taruhan besar yang kita buat pada ekonomi melalui pajak," katanya.
(tas) Next Article Damai Perang Dagang AS-China Suram, Ini Sebabnya
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular