
Rilis Lapkeu Q1-2019, Ini 3 Saham LQ45 Potensi Cuan
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
29 April 2019 16:16

Jakarta, CNBC Indonesia - Masuk bulan April, sejumlah emiten sudah melaporkan kinerja keuangan kuartal I-2019. Beberapa diantaranya merupakan emiten yang sahamnya masuk dalam daftar indeks LQ45.
Dari 45 saham paling likuid di Bursa Efek Indonesia, baru sepertiga atau 15 perusahaan yang merilis kinerja keuangan kuartal I-2019. Beberapa perusahaan menorehkan kinerja yang memuaskan dan beberapa cukup mengecewakan.
Lalu, berdasarkan performa perusahaan hingga Maret 2019, saham mana saja yang masih layak dikoleksi dalam portofolio investor?
Jika melihat laju pertumbuhan laba bersih kuartal I-2019, saham PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) dan PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) cukup menarik karena labanya tumbuh di atas 50% YoY.
Akan tetapi, sejatinya pertumbuhan laba yang fantastis bukan salah satu indikator yang cukup untuk menganalisa performa suatu emiten/saham.
Nah, salah satu metode yang cukup favorit digunakan pelaku pasar untuk mengukur kinerja saham adalah price-earning-ratio (PER).
PER dihitung dengan membagi cara membagi harga saham saat ini dengan keuntungan tahunan per saham. Hasil perhitungan PER dapat diimplikasikan sebagai seberapa besar ekspektasi investor terhadap return (imbal hasil) emiten.
Emiten dikatakan relatif mahal (overvalued) ketika PER-nya lebih besar dibanding PER Industri. Sebaliknya emiten disebut relatif murah (undervalued) ketika nilai PER-nya lebih rendah dibanding PER industri. Perlu diingat, jika perusahaan mencatatkan kerugian, maka PER tidak dapat dihitung.
Berdasar hasil analisis tabel di atas emiten yang bisa dibilang relatif murah dan layak dikoleksi investor yaitu ASII, BSDE, dan MNCN. Pasalnya, perolehan saham tersebut masih di bawah dari PER industrinya.
Kemudian, untuk AKRA, HMSP, JSMR terbilang relatif mahal karena PER emiten tersebut jauh di atas PER industri. Dengan demikian, peluang untuk harga ketiga emiten tersebut untuk terus tumbuh relatif kecil.
Di lain pihak, emiten yang harga sahamnya relatif wajar dengan performa perusahaan adalah INDY, PTBA, SCMA, dan UNVR. Jadi, harga emiten tersebut diproyeksi akan bergerak di kisaran harga saham sekarang (stagnan).
Namun, pelaku pasar harap terus memantau kinerja INDY dan PTBA dikarenakan laba bersih kedua perusahaan sepanjang 3 bulan pertama tahun ini mencatatkan koreksi yang cukup dalam.
Untuk ADHI dan UNTR, cukup sulit diambil kesimpulan, karena data BEI mencatatkan PER industri untuk emiten tersebut memiliki nilai negatif. Ini artinya secara umum perusahaan yang tergolong dalam industri tersebut membukukan laba per saham dasar negatif. Hal ini bisa menjadi sinyal waspada kepada pelaku pasar, karena nampaknya industri sulit tumbuh.
BERLANJUT KE HALAMAN DUA Baru terdapat 3 emiten keuangan yang terdaftar di LQ45 yang merilis kinerja kuartal pertama 2019 mereka, yaitu PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI).
Akan tetapi, untuk menganalisa emiten keuangan, metode PER dianggap kurang sesuai oleh beberapa analis. Oleh karenanya alat ukur lain yang bisa digunakan adalah price-book-value/PBV. PBV dihitung dengan membagi harga saham dengan nilai buku ekuitas perusahaan. Selanjutnya, hasil yang diperoleh bisa diimplikasikan layaknya PER.
Menurut perhitungan PBV, baik BBCA dan BBRI memiliki harga saham yang relatif mahal karena perolehan PBV-nya melampaui nilai PBV industri.
Sedangkan untuk BBNI, harga sahamnya relatif wajar karena nilai PBV emiten tidak berbeda jauh dengan capaian PBV industri.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/hps) Next Article Menggiurkan! 5 Saham Terlikuid Dengan Dividen Bikin Tajir
Dari 45 saham paling likuid di Bursa Efek Indonesia, baru sepertiga atau 15 perusahaan yang merilis kinerja keuangan kuartal I-2019. Beberapa perusahaan menorehkan kinerja yang memuaskan dan beberapa cukup mengecewakan.
Lalu, berdasarkan performa perusahaan hingga Maret 2019, saham mana saja yang masih layak dikoleksi dalam portofolio investor?
Jika melihat laju pertumbuhan laba bersih kuartal I-2019, saham PT Media Nusantara Citra Tbk (MNCN) dan PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) cukup menarik karena labanya tumbuh di atas 50% YoY.
Nah, salah satu metode yang cukup favorit digunakan pelaku pasar untuk mengukur kinerja saham adalah price-earning-ratio (PER).
PER dihitung dengan membagi cara membagi harga saham saat ini dengan keuntungan tahunan per saham. Hasil perhitungan PER dapat diimplikasikan sebagai seberapa besar ekspektasi investor terhadap return (imbal hasil) emiten.
Emiten dikatakan relatif mahal (overvalued) ketika PER-nya lebih besar dibanding PER Industri. Sebaliknya emiten disebut relatif murah (undervalued) ketika nilai PER-nya lebih rendah dibanding PER industri. Perlu diingat, jika perusahaan mencatatkan kerugian, maka PER tidak dapat dihitung.
![]() |
Berdasar hasil analisis tabel di atas emiten yang bisa dibilang relatif murah dan layak dikoleksi investor yaitu ASII, BSDE, dan MNCN. Pasalnya, perolehan saham tersebut masih di bawah dari PER industrinya.
Kemudian, untuk AKRA, HMSP, JSMR terbilang relatif mahal karena PER emiten tersebut jauh di atas PER industri. Dengan demikian, peluang untuk harga ketiga emiten tersebut untuk terus tumbuh relatif kecil.
Di lain pihak, emiten yang harga sahamnya relatif wajar dengan performa perusahaan adalah INDY, PTBA, SCMA, dan UNVR. Jadi, harga emiten tersebut diproyeksi akan bergerak di kisaran harga saham sekarang (stagnan).
Namun, pelaku pasar harap terus memantau kinerja INDY dan PTBA dikarenakan laba bersih kedua perusahaan sepanjang 3 bulan pertama tahun ini mencatatkan koreksi yang cukup dalam.
Untuk ADHI dan UNTR, cukup sulit diambil kesimpulan, karena data BEI mencatatkan PER industri untuk emiten tersebut memiliki nilai negatif. Ini artinya secara umum perusahaan yang tergolong dalam industri tersebut membukukan laba per saham dasar negatif. Hal ini bisa menjadi sinyal waspada kepada pelaku pasar, karena nampaknya industri sulit tumbuh.
BERLANJUT KE HALAMAN DUA Baru terdapat 3 emiten keuangan yang terdaftar di LQ45 yang merilis kinerja kuartal pertama 2019 mereka, yaitu PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) dan PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI).
Akan tetapi, untuk menganalisa emiten keuangan, metode PER dianggap kurang sesuai oleh beberapa analis. Oleh karenanya alat ukur lain yang bisa digunakan adalah price-book-value/PBV. PBV dihitung dengan membagi harga saham dengan nilai buku ekuitas perusahaan. Selanjutnya, hasil yang diperoleh bisa diimplikasikan layaknya PER.
![]() |
Menurut perhitungan PBV, baik BBCA dan BBRI memiliki harga saham yang relatif mahal karena perolehan PBV-nya melampaui nilai PBV industri.
Sedangkan untuk BBNI, harga sahamnya relatif wajar karena nilai PBV emiten tidak berbeda jauh dengan capaian PBV industri.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/hps) Next Article Menggiurkan! 5 Saham Terlikuid Dengan Dividen Bikin Tajir
Most Popular