2 Komisaris Tolak Laporan Keuangan Garuda, Ini Penyebabnya

Monica Wareza, CNBC Indonesia
25 April 2019 08:31
Kondisi ini berbanding terbalik dengan kondisi yang sama di tahun sebelumnya yang rugi sebesar US$ 216.582.416.
Foto: Garuda Indonesia's Boeing 737 Max 8 (REUTERS/Willy Kurniawan)
Jakarta, CNBC Indonesia - Akhir tahun lalu PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) tercatat membukukan telah mencatatkan laba bersih senilai US$ 809.846 pada 2018, setara Rp 11,49 miliar (kurs Rp 14.200/US$). Kondisi ini berbanding terbalik dengan kondisi yang sama di tahun sebelumnya yang rugi sebesar US$ 216.582.416.

Laba bersih ini dibukukan ketika perusahaan justru mencatatkan perlambatan pendapatan. Total penjualan tahun lalu naik 4,69% year-on-year (YoY) menjadi US$4,37 miliar dibandingkan pencapaian 2017 senilai US$4,18 miliar. Padahal, penjualan tahun 2017 mencapai 8,11%.

Melambatnya pertumbuhan penjualan itu karena pendapatan dari penerbangan tidak berjadwal (haji dan charter) anjlok 11,5%. Sebelumnya pos pendapatan ini tumbuh 56,2%. Di sisi lain, pendapatan dari penerbangan berjadwal hanya naik 4,01% ke US$3,54 miliar.

Sehingga secara operasional perusahaan penerbangan pelat merah ini mestinya merugi karena total beban usaha yang dibukukan perusahaan tahun lalu mencapai US$4,58 miliar, alias US$ 206,08 juta lebih besar dibandingkan pendapatan yang dibukukan pada tahun 2018.

Berdasarkan laporan keuangannya, kinerja tahun lalu diselamatkan oleh 'pendapatan kompensasi atas hak pemasangan peralatan layanan konektivitas dan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten' pada 2018 senilai US$ 239,94 juta (sekitar Rp2,9 triliun), yang sebelumnya belum dibukukan sepanjang 2017.

Pendapatan ini dikantongi dari PT Mahata Aero Teknologi. Pada 31 Oktober 2018, Grup Garuda, termasuk Sriwijaya Air, mengadakan perjanjian kerja sama dengan Mahata untuk penyediaan layanan hiburan dan konektivitas dalam penerbangan (wi-fi on board) yang disetujui pada 26 Desember 2018.

Menurut catatan tersebut, nantinya perusahaan tersebut akan melakukan dan menanggung seluruh biaya penyediaan, pelaksanaan, pemasangan, pengoperasian, perawatan/pembongkaran dan pemeliharaan, penggantian peralatan layanan konektivitas dan hiburan dalam pesawat, serta manajemen konten.

Mahata juga membayar biaya kompensasi atas hak pemasangan layanan konektivitas dalam penerbangan di 153 pesawat milik Garuda sebesar US$ 131,94 juta ditambah dengan biaya kompensasi sebesar US$80 juta atas hak pengelolaan layanan hiburan dalam pesawat dan manajemen konten untuk 99 pesawat Garuda setelah ditandatanganinya perjanjian.

Inilah yang kemudian ditolak oleh dua komisaris Garuda Indonesia. Terdapat beberapa pos keuangan yang pencatatannya tak sesuai standar akuntansi yang membuat kinerja Garuda Indonesia untung pada 2018, padahal seharusnya merugi.

Keberatan mereka sampaikan terkait kerja sama penyediaan layanan konektivitas dalam penerbangan. Dalam dokumen yang didapat oleh awak media, tertulis bahwa dua komisaris ini Chairal Tanjung dan Dony Oskaria yang menolak menandatangani laporan keuangan Garuda 2018.

Keduanya merupakan perwakilan dari PT Trans Airways, pemegang saham Garuda Indonesia dengan kepemilikan sebesar 25,61%.

Menurut Catatan tersebut, hingga akhir 2018 belum ada pembayaran yang masuk dari Mahata Aero Teknologi. Walau begitu, Garuda Indonesia dalam laporan keuangan sudah mengakuinya sebagai pendapatan tahun lalu.

Dari pihak Trans Airways berpendapat angka itu terlalu signifikan hingga mempengaruhi neraca keuangan Garuda Indonesia. Jika nominal dari kerja sama tersebut belum masuk sebagai pendapatan, perusahaan sebenarnya masih merugi US$244.958.308.

"Adapun dengan mengakui pendapatan dari perjanjian Mahata maka perusahaan membukukan laba sebesar US$5.018.308," tulis Chairal dan Dony dalam surat yang ditujukan kepada manajemen Garuda Indonesia seperti dikutip CNBC Indonesia, Rabu (24/4/2019).


(hps/hps) Next Article Bos Garuda Buka-bukaan Soal Putus Kontrak 135 Pilot

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular