
Neraca Dagang Kembali Surplus, Ini Fakta-faktanya
Iswari Anggit, CNBC Indonesia
16 April 2019 09:19

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) telah merilis neraca dagang Indonesia bulan Maret 2019. Hasilnya, neraca dagang mengalami surplus US$ 540 juta dengan perincian nilai ekspor mencapai US$ 14,03 miliar sedangkan nilai impor sebesar US$ 13,49 miliar.
Khusus untuk ekspor, ada kenaikan hingga 11,71%. Meskipun demikian, Kepala BPS Suhariyanto mengatakan jika dilihat secara tahunan (year-on-year/ yoy), ekspor bulan Maret 2019, dibandingkan tahun sebelumnya justru menunjukkan penurunan. Begitu pula dengan kinerja ekspor kumulatif (Bulan Januari sampai Maret) tahunan.
"Sementara jika dibanding Maret 2018, ekspor menurun 10,01%," ujarnya dalam konferensi pers di kantornya, Senin (15/4/2019).
"Secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia mencapai US$ 40,51 miliar, atau menurun 8,50% jika dibandingkan periode yang sama tahun 2018."
Lebih jauh Suhariyanto menjelaskan, nilai ekspor mengalami penurunan (yoy) di semua sektor. Berikut rinciannya:
- Migas turun 18,33% jadi US$ 1,09 miliar.
- Pertambangan dan lainnya 15,37% jadi US$ 2,36 miliar.
- Industri pengolahan turun 7,84% jadi US$ 10,31 miliar.
- Industri pertanian turun 3,91% jadi US$ 0,27 miliar.
Sebenarnya pola yang sama terjadi pada impor. Di mana impor mengalami kenaikkan secara bulanan (month-to-month/ mtm), namun menunjukkan penurunan secara tahunan.
Suhariyanto menyebutkan, impor Indonesia naik 10,31% jika dibandingkan dengan bulan Februari 2019.
Sementara itu, jika dibandingkan Maret 2018, impor Indonesia turun 6,76%. Begitu pula impor kumulatif yang menunjukkan penurunan 7,40% (yoy). Dari US$ 43,95 miliar pada kuartal I 2018 menjadi US$ 40,70 miliar tahun ini.
Berikut impor Indonesia menurut penggunaan barang:
- Barang Modal turun 0,81% jadi US$ 2,2 miliar.
- Bahan Baku 6,78% jadi US$ 10,14 miliar.
- Barang Konsumsi 4,46% jadi US$ 1,15 miliar.
Lebih jauh lagi, Suhariyanto menjelaskan apa saja yang mempengaruhi kinerja ekspor dan impor Indonesia, salah satunya fluktuasi harga komoditas ekspor dan impor.
Harga ICP (Minyak Indonesia) meningkat di bulan Februari 2019 sebesar US$ 61,31 per barel dan pada bulan Maret 2019 meningkat lagi ke US$ 63,60 per barel. Kemudian komoditas yang juga mengalami kenaikan harga di antaranya, karet, nikel dan tembaga dari Februari hingga Maret 2019. Sementara itu, sawit dan batubara mengalami penurunan.
Penurunan impor yang seiring dengan penurunan ekspor menunjukkan kinerja ekspor Indonesia belum maksimal. Namun, kinerja pengendalian impor pemerintah, salah satunya penerapan B20, yang akan berlanjut ke B50 hingga B100, sudah mulai terasa hasilnya.
"Kita masih punya PR, harus menggerakkan provinsi lain di Indonesia untuk menggerakan ekspor daerah, untuk mendorong ekspor nasional. Kita harap bulan-bulan berikutnya neraca dagang tetap surplus, pemerintah sudah membuat berbagai kebijakan untuk memacu ekspor dan mengendalikan impor," pungkas Suhariyanto.
Simak video terkait neraca dagang Maret 2019 di bawah ini.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Ekspor RI ke Kazakhstan sampai Tanzania Meroket!
Khusus untuk ekspor, ada kenaikan hingga 11,71%. Meskipun demikian, Kepala BPS Suhariyanto mengatakan jika dilihat secara tahunan (year-on-year/ yoy), ekspor bulan Maret 2019, dibandingkan tahun sebelumnya justru menunjukkan penurunan. Begitu pula dengan kinerja ekspor kumulatif (Bulan Januari sampai Maret) tahunan.
"Sementara jika dibanding Maret 2018, ekspor menurun 10,01%," ujarnya dalam konferensi pers di kantornya, Senin (15/4/2019).
Lebih jauh Suhariyanto menjelaskan, nilai ekspor mengalami penurunan (yoy) di semua sektor. Berikut rinciannya:
- Migas turun 18,33% jadi US$ 1,09 miliar.
- Pertambangan dan lainnya 15,37% jadi US$ 2,36 miliar.
- Industri pengolahan turun 7,84% jadi US$ 10,31 miliar.
- Industri pertanian turun 3,91% jadi US$ 0,27 miliar.
![]() |
Sebenarnya pola yang sama terjadi pada impor. Di mana impor mengalami kenaikkan secara bulanan (month-to-month/ mtm), namun menunjukkan penurunan secara tahunan.
Suhariyanto menyebutkan, impor Indonesia naik 10,31% jika dibandingkan dengan bulan Februari 2019.
Sementara itu, jika dibandingkan Maret 2018, impor Indonesia turun 6,76%. Begitu pula impor kumulatif yang menunjukkan penurunan 7,40% (yoy). Dari US$ 43,95 miliar pada kuartal I 2018 menjadi US$ 40,70 miliar tahun ini.
Berikut impor Indonesia menurut penggunaan barang:
- Barang Modal turun 0,81% jadi US$ 2,2 miliar.
- Bahan Baku 6,78% jadi US$ 10,14 miliar.
- Barang Konsumsi 4,46% jadi US$ 1,15 miliar.
Lebih jauh lagi, Suhariyanto menjelaskan apa saja yang mempengaruhi kinerja ekspor dan impor Indonesia, salah satunya fluktuasi harga komoditas ekspor dan impor.
Harga ICP (Minyak Indonesia) meningkat di bulan Februari 2019 sebesar US$ 61,31 per barel dan pada bulan Maret 2019 meningkat lagi ke US$ 63,60 per barel. Kemudian komoditas yang juga mengalami kenaikan harga di antaranya, karet, nikel dan tembaga dari Februari hingga Maret 2019. Sementara itu, sawit dan batubara mengalami penurunan.
Penurunan impor yang seiring dengan penurunan ekspor menunjukkan kinerja ekspor Indonesia belum maksimal. Namun, kinerja pengendalian impor pemerintah, salah satunya penerapan B20, yang akan berlanjut ke B50 hingga B100, sudah mulai terasa hasilnya.
"Kita masih punya PR, harus menggerakkan provinsi lain di Indonesia untuk menggerakan ekspor daerah, untuk mendorong ekspor nasional. Kita harap bulan-bulan berikutnya neraca dagang tetap surplus, pemerintah sudah membuat berbagai kebijakan untuk memacu ekspor dan mengendalikan impor," pungkas Suhariyanto.
Simak video terkait neraca dagang Maret 2019 di bawah ini.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Ekspor RI ke Kazakhstan sampai Tanzania Meroket!
Most Popular