Kinerja Emiten Grup Salim Moncer, Bagaimana Valuasi Sahamnya?

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
11 April 2019 13:02
Kinerja Emiten Grup Salim Moncer, Bagaimana Valuasi Sahamnya?
Foto: Ist/indofood.com
Jakarta, CNBC Indonesia - Periode pelaporan kinerja keuangan tahun 2018 sudah berakhir, bahkan sekarang saatnya emiten yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk merilis laporan kuartal I-2019. Tidak terkecuali untuk perusahaan asuhan Grup Salim.

Nah, sambil menunggu update performa Grup Salim di awal tahun, mari kita evaluasi beberapa kinerja anak usaha tahun lalu. Tim Riset CNBC Indonesia merangkum performa pos laba-rugi atas 8 perusahaan di bawah naungan Anthony Salim yang terdaftar di BEI.



Mengulang konstalasi setahun sebelumnya, total penjualan (top line) tertinggi tetap dipegang oleh sang induk, yaitu PT Indoofood Sukses Makmur Tbk (INDF) yang mencatatkan pemasukan hingga Rp 73,39 triliun.

Uniknya, laba bersih (bottom line) terbesar justru dibukukan oleh anak usaha INDF, yaitu PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP). Tahun 2018, ICBP mengantongi laba bersih sebesar Rp 4,58 triliun, sedangkan laba INDF hanya tercatat di Rp 4,17 triliun.

Lebih lanjut, walaupun Grup Indofood memimpin klasemen dari segi top line dan bottom line, tapi tren pertumbuhannya masih kalah dibandingkan PT Indoritel Makmur Internasional Tbk (DNET) yang merupakan induk dari jaringan peritel Indomaret.

Sepanjang tahun 2018, pertumbuhan penjualan DNET meroket 130,25% secara tahunan (YoY) menjadi Rp 129,79 miliar dibanding tahun 2017 yang hanya sebesar Rp 56,37 miliar. Sebanyak 99% penjualan masih berasal dari serat optik.

Sayangnya, pertumbuhan laba bersih DNET tak sebesar kenaikan penjualan. Laba bersih DNET hanya tumbuh 38,9% YoY karena tekanan dari biaya keuangan yang naik dari Rp 46,54 miliar menjadi Rp 238,8 miliar.

Di lain pihak, kinerja yang cukup menggembirakan dicatatkan oleh PT Indomobil Sukses Internasional Tbk (IMAS) yang tahun lalu berbalik untung, dari sebelumnya merugi Rp 109,63 miliar di tahun 2017.

IMAS setidaknya mampu menorehkan laba Rp 23,26 miliar karena ada penurunan kerugian atas entitas anaknya dan pemasukan tambahan atas selisih nilai wajar dengan nilai tercatat penyertaan saham.

Di posisi buncit, kinerja terburuk diduduki oleh induk untuk usaha perkebunan sawit Grup Salim, yaitu PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP). Tahun lalu, hanya SIMP yang mencatatkan kerugian sepanjang tahun 2018.

Perusahaan merugi Rp 76,57 miliar, di tengah anjloknya pendapatan mereka sebesar 10,34% (YoY). Momok kinerja buruk SIMP adalah turunnya harga minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO).

Harga minyak sawit mentah di Bursa Malaysia Derivatives Exchange pada tahun 2018 secara rata-rata turun 13,73% menjadi MYR 2.293/ton dari MYR 2.659/ton di tahun 2017. Pada November 2018, harga CPO menyentuh titik terendahnya semenjak 2015.

Lalu, dari semua rangkuman kinerja keuangan Grup Salim, emiten mana saja yang masih layak dikoleksi oleh investor?

NEXT

Dalam membandingkan kinerja emiten di bawah bendera grup Salim, investor dapat menggunakan salah satu analisis fundamental yang cukup populer, yaitu price-to-earning-ratio (PER).

PER dihitung dengan cara membagi harga saham saat ini dengan keuntungan tahunan per saham (earning per share/EPS). Hasil perhitungan PER dapat diimplikasikan sebagai seberapa besar ekspektasi investor terhadap return (imbal hasil) emiten.

Emiten dikatakan relatif mahal (overvalued) ketika PER-nya lebih besar dibanding PER Industri. Sebaliknya emiten disebut relatif murah (undervalued) ketika nilai PER-nya lebih rendah dibanding PER industri. Perlu diingat, jika perusahaan mencatatkan kerugian, maka PER tidak dapat dihitung.



Berdasarkan hasil analisis tabel di atas, hanya dua emiten yaitu INDF dan ICBP yang bisa dibilang relatif murah dan layak dikoleksi investor. Pasalnya, perolehan PER kedua saham tersebut masih di bawah PER industrinya.

Kemudian, untuk ROTI, IMAS, dan IMJS terbilang relatif mahal karena PER emiten tersebut jauh di atas PER industri. Dengan demikian, peluang untuk harga ketiga emiten tersebut untuk terus tumbuh relatif kecil kecuali ada faktor pendorong yang bersifat non-organik seperti aksi korporasi.

Untuk DNET, cukup suliat diambil kesimpulan, karena data BEI mencatatkan PER industri untuk emiten tersebut memiliki nilai negatif. Ini artinya secara umum perusahaan yang tergolong dalam industri tersebut membukukan laba per saham dasar negatif. Hal ini bisa menjadi sinyal waspada kepada pelaku pasar, karena nampaknya industri sulit tumbuh.

Lalu, bagaimana dengan analisis IMJS? Metode PER kurang cocok untuk menganalisis emiten keuangan seperti IMJS yang bergerak sebagai perusahaan pembiayaan. Oleh karenanya alat ukur yang bisa digunakan adalah price-book-value (PBV) sebagaimana banyak dipakai untuk mengukur valuasi saham perbankan.

PBV dihitung dengan membagi harga saham dengan nilai buku ekuitas perusahaan. Selanjutnya, hasil yang diperoleh bisa diimplikasikan layaknya PER. Dengan harga saham Rp 640/unit, angka PBV emiten IMJS adalah 1,33 kali. Angka ini masih di bawah PBV industri yang ad di 2,79 kali. Alhasil, IMJS masih cukup layak dikoleksi.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular