Jika BI Pangkas Suku Bunga Acuan, IHSG Melesat?
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
25 March 2019 14:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Hasil pertemuan The Federal Reserve selaku bank sentral AS menjadi topik perbicangan hangat di kalangan pelaku pasar belakangan ini. Pada Kamis (21/3/2019) dini hari waktu Indonesia, The Fed menahan tingkat suku bunga acuan di level 2,25%-2,5%.
Tak hanya menahan tingkat suku bunga acuan, The Fed juga memangkas proyeksinya atas kenaikan suku bunga acuan pada tahun ini. Kini, The Fed memproyeksikan bahwa suku bunga acuan tak akan dinaikkan sama sekali di tahun 2019. Padahal pada Desember 2018, diproyeksikan ada kenaikan sebesar 50 bps.
Seiring dengan hasil pertemuan The Fed tersebut, pada hari yang sama Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menahan tingkat suku bunga acuan di level 6%. Kini, bank sentral memandang bahwa The Fed hanya akan melakukan satu kali normalisasi hingga 2020.
"Kami sekarang menggunakan asumsi bahwa FFR (Federal Funds Rate/suku bunga acuan AS) sampai dengan tahun 2020 naik sekali," ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers seusai Rapat Dewan Gubernur (RDG) periode Maret 2019 di Gedung BI, Kamis (21/3/2019).
Sebelumnya, BI memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan satu kali masing-masing di tahun 2019 dan 2020.
Lantas, ruang bagi bank sentral untuk memangkas suku bunga acuan menjadi terbuka lebar. Maklum, sepanjang tahun lalu BI telah mengerek naik suku bunga acuan sebesar 175 bps. Padahal, The Fed hanya mengerek naik FFR sebesar 100 bps.
Hal ini pun diamini oleh BI. Memang tak mengungkapkan secara gamblang, namun ruang penurunan suku bunga acuan tercermin dari BI yang tak lagi menggunakan kata hawkish untuk mendeskripsikan stance kebijakannya.
Dalam konferensi pers selepas RDG 17 Januari lalu, Perry dengan tegas mengatakan "Kami menilai suku bunga acuan sudah mendekati puncaknya. Namun, stance kami tetap hawkish, pre-emptive, forward looking."
Pada konferensi pers bulan lalu dan bulan ini, kata hawkish tak lagi disebut oleh Perry.
Simak video proyeksi suku bunga the Fed oleh BI di bawah ini:
[Gambas:Video CNBC]
Lantas, bagaimana prospek Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jika BI benar memangkas suku bunga acuan? Dalam kondisi normal, pemangkasan suku bunga acuan sejatinya berpotensi membuat pasar saham tanah air menjadi bullish.
Saat ini, Indonesia memang membutuhkan stimulus moneter guna memacu laju pertumbuhan ekonomi yang salah satunya bisa berupa pemangkasan suku bunga acuan.
Pada tahun 2016, BI memangkas suku bunga acuan sebesar 150 bps yang pada akhirnya memacu IHSG melesat hingga 15,3%.
Namun, perlu diingat bahwa kini situasinya jauh berbeda. Pada tahun 2015, IHSG sudah jatuh hingga 12,1% seiring dengan perlambatan ekonomi global. Tahun 2016 diharapkan menjadi tahun pemulihan ekonomi, walaupun akhirnya tidak terjadi.
Pada tahun 2014, berdasarkan data dari International Monetary Fund (IMF), perekonomian global tumbuh sebesar 3,58%, sebelum kemudian melandai ke level 3,45% dan 3,27% pada 2 tahun berikutnya (2015 dan 2016).
Namun tetap saja, tingginya ekspektasi bahwa perekonomian global bisa mencatatkan pertumbuhan yang lebih baik pada tahun 2016 membuat pasar saham Indonesia disasar investor. Lebih lanjut, ekspektasi mengenai resesi tak menghinggapi benak investor pada saat itu.
Kini, situasinya berbalik 180 derajat. Resesi di AS yang merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia sudah sangat nyata. Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Sinyal datangnya resesi di Negeri Paman datang dari pergerakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS yang menunjukkan adanya inversi. Inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.
Lantas, terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi.
Dalam kondisi seperti ini, pemangkasan suku bunga acuan dinilai hanya merupakan upaya untuk meredam tekanan terhadap perekonomian Indonesia dan bukan untuk memacu perekonomian supaya melaju lebih kencang.
Jika berbicara mengenai resesi di AS, dampaknya memang akan sangat signifikan bagi Indonesia. Resesi di AS terakhir kali terjadi pada tahun 2007 hingga 2009. Pada tahun 2007, ekonomi AS hanya tumbuh sebesar 1,88%, jauh melambat dari tahun sebelumnya yang mencapai 2,85%. Pada tahun 2008 dan 2009, perekonomian AS terkontraksi masing-masing sebesar -0,14% dan -2,54%.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia melandai ke level 6,01% pada tahun 2008, dari yang sebelumnya 6,35% pada tahun 2007, sebelum kemudian melandai lagi ke level 4,63% pada tahun 2009.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor non-migas Indonesia ke AS sepanjang 2018 mencapai US$ 17,67 miliar. AS menduduki peringkat kedua sebagai pangsa pasar ekspor non-migas terbesar setelah China.
Saat AS mengalami resesi, maka permintaan atas produk-produk buatan Indonesia akan berkurang karena memang aktivitas ekonomi lesu. Penurunan ekspor ke AS akan mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan yang pada akhirnya menekan laju pertumbuhan ekonomi.
Jadi, nampaknya sulit mengharapkan bahwa IHSG akan melesat walaupun BI memangkas suku bunga acuan. Pasalnya, kondisi saat ini berbeda jauh dengan tahun 2016.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/roy) Next Article Jelang Musim Laporan Keuangan, Ini Emiten Yang Mulai Diborong
Tak hanya menahan tingkat suku bunga acuan, The Fed juga memangkas proyeksinya atas kenaikan suku bunga acuan pada tahun ini. Kini, The Fed memproyeksikan bahwa suku bunga acuan tak akan dinaikkan sama sekali di tahun 2019. Padahal pada Desember 2018, diproyeksikan ada kenaikan sebesar 50 bps.
Seiring dengan hasil pertemuan The Fed tersebut, pada hari yang sama Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk menahan tingkat suku bunga acuan di level 6%. Kini, bank sentral memandang bahwa The Fed hanya akan melakukan satu kali normalisasi hingga 2020.
Lantas, ruang bagi bank sentral untuk memangkas suku bunga acuan menjadi terbuka lebar. Maklum, sepanjang tahun lalu BI telah mengerek naik suku bunga acuan sebesar 175 bps. Padahal, The Fed hanya mengerek naik FFR sebesar 100 bps.
Hal ini pun diamini oleh BI. Memang tak mengungkapkan secara gamblang, namun ruang penurunan suku bunga acuan tercermin dari BI yang tak lagi menggunakan kata hawkish untuk mendeskripsikan stance kebijakannya.
Dalam konferensi pers selepas RDG 17 Januari lalu, Perry dengan tegas mengatakan "Kami menilai suku bunga acuan sudah mendekati puncaknya. Namun, stance kami tetap hawkish, pre-emptive, forward looking."
Pada konferensi pers bulan lalu dan bulan ini, kata hawkish tak lagi disebut oleh Perry.
Simak video proyeksi suku bunga the Fed oleh BI di bawah ini:
[Gambas:Video CNBC]
Lantas, bagaimana prospek Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jika BI benar memangkas suku bunga acuan? Dalam kondisi normal, pemangkasan suku bunga acuan sejatinya berpotensi membuat pasar saham tanah air menjadi bullish.
Saat ini, Indonesia memang membutuhkan stimulus moneter guna memacu laju pertumbuhan ekonomi yang salah satunya bisa berupa pemangkasan suku bunga acuan.
Pada tahun 2016, BI memangkas suku bunga acuan sebesar 150 bps yang pada akhirnya memacu IHSG melesat hingga 15,3%.
Namun, perlu diingat bahwa kini situasinya jauh berbeda. Pada tahun 2015, IHSG sudah jatuh hingga 12,1% seiring dengan perlambatan ekonomi global. Tahun 2016 diharapkan menjadi tahun pemulihan ekonomi, walaupun akhirnya tidak terjadi.
Pada tahun 2014, berdasarkan data dari International Monetary Fund (IMF), perekonomian global tumbuh sebesar 3,58%, sebelum kemudian melandai ke level 3,45% dan 3,27% pada 2 tahun berikutnya (2015 dan 2016).
Namun tetap saja, tingginya ekspektasi bahwa perekonomian global bisa mencatatkan pertumbuhan yang lebih baik pada tahun 2016 membuat pasar saham Indonesia disasar investor. Lebih lanjut, ekspektasi mengenai resesi tak menghinggapi benak investor pada saat itu.
Kini, situasinya berbalik 180 derajat. Resesi di AS yang merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia sudah sangat nyata. Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Sinyal datangnya resesi di Negeri Paman datang dari pergerakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS yang menunjukkan adanya inversi. Inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.
Lantas, terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi.
Dalam kondisi seperti ini, pemangkasan suku bunga acuan dinilai hanya merupakan upaya untuk meredam tekanan terhadap perekonomian Indonesia dan bukan untuk memacu perekonomian supaya melaju lebih kencang.
Jika berbicara mengenai resesi di AS, dampaknya memang akan sangat signifikan bagi Indonesia. Resesi di AS terakhir kali terjadi pada tahun 2007 hingga 2009. Pada tahun 2007, ekonomi AS hanya tumbuh sebesar 1,88%, jauh melambat dari tahun sebelumnya yang mencapai 2,85%. Pada tahun 2008 dan 2009, perekonomian AS terkontraksi masing-masing sebesar -0,14% dan -2,54%.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia melandai ke level 6,01% pada tahun 2008, dari yang sebelumnya 6,35% pada tahun 2007, sebelum kemudian melandai lagi ke level 4,63% pada tahun 2009.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor non-migas Indonesia ke AS sepanjang 2018 mencapai US$ 17,67 miliar. AS menduduki peringkat kedua sebagai pangsa pasar ekspor non-migas terbesar setelah China.
Saat AS mengalami resesi, maka permintaan atas produk-produk buatan Indonesia akan berkurang karena memang aktivitas ekonomi lesu. Penurunan ekspor ke AS akan mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan yang pada akhirnya menekan laju pertumbuhan ekonomi.
Jadi, nampaknya sulit mengharapkan bahwa IHSG akan melesat walaupun BI memangkas suku bunga acuan. Pasalnya, kondisi saat ini berbeda jauh dengan tahun 2016.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/roy) Next Article Jelang Musim Laporan Keuangan, Ini Emiten Yang Mulai Diborong
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular