Industri Sawit di Antara Pusaran Konflik RI dan Uni Eropa

Samuel Pablo, CNBC Indonesia
25 March 2019 10:29
Industri kelapa sawit kembali menjadi sorotan publik.
Foto: Pekerja mengangkut hasil panen kelapa Sawit di kebun Cimulang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/3). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Industri kelapa sawit kembali menjadi sorotan publik saat lagi-lagi menjadi akar masalah dalam pusaran konflik dagang terbaru antara Indonesia dan Uni Eropa (UE).

Komisi Eropa pada 13 Maret lalu meloloskan aturan pelaksanaan (delegated act) dari kebijakan Arahan Energi Terbarukan II (Renewable Energy Directive/RED II). Sebagai informasi, dalam aturan pelaksanaan tersebut, Komisi Eropa menyimpulkan bahwa perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan deforestasi besar-besaran secara global.



Oleh karena itu, pemerintah Uni Eropa berencana menghapus secara bertahap pemakaian biofuel berbasis minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) hingga 0% pada 2030.

Hasil kajian Komisi Eropa menyatakan, sekitar 45% dari ekspansi perkebunan kelapa sawit sejak tahun 2008 telah berujung pada kehancuran hutan, lahan gambut (peatlands) dan lahan basah (wetlands) serta menghasilkan emisi gas rumah kaca secara terus-menerus.

Adapun kajian tersebut menyebutkan bahwa hanya 8% dari ekspansi lahan produksi minyak kedelai (soybean oil) dan 1% dari minyak rape seed dan bunga matahari (sunflower oil) yang berkontribusi pada kerusakan yang sama, seperti dilansir dari Reuters. Tiga komoditas itu merupakan kompetitor sawit dalam pasar minyak nabati global dan juga menjadi komoditas pertanian yang ditanam oleh petani di Eropa.

Komisi Eropa sendiri menetapkan angka 10% sebagai batas untuk menentukan produksi tanaman minyak nabati mana yang lebih berbahaya bagi lingkungan. Ketentuan itu diterapkan melalui rumus perhitungan indirect land use change (ILUC) yang oleh negara-negara produsen CPO seperti Indonesia dan Malaysia disebut sebagai kriteria yang cacat secara ilmiah dan tidak diakui secara universal.

Industri Sawit di Antara Pusaran Konflik RI dan Uni EropaFoto: Kelapa sawit (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)


Pemerintah RI mengecam keras RED II dan aturan turunannya yang dianggap mendiskriminasi kelapa sawit dari tanaman penghasil minyak nabati lainnya (kedelai, rape seed, bunga matahari) dalam memenuhi persyaratan sebagai bahan baku untuk bahan bakar nabati (biofuel) yang berkelanjutan di pasar Eropa.

Pemerintah bahkan membuka opsi untuk melakukan retaliasi dagang terhadap produk-produk Uni Eropa apabila aturan tersebut disahkan Parlemen Eropa dalam dua bulan mendatang dan menjadi undang-undang baru di Benua Biru.



Terbaru, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Pandjaitan mengatakan pemerintah telah mempertimbangkan berbagai opsi retaliasi dagang, termasuk memboikot produk-produk UE di Tanah Air, mulai dari mengalihkan pembelian pesawat terbang dari Airbus ke Boeing, hingga menghentikan impor truk dan bus Scania.

Luhut menjelaskan, Indonesia membutuhkan sekitar 2.500 unit pesawat terbang sekelas A320 dalam 20 tahun ke depan dengan nilai lebih dari US$ 40 miliar. Kebutuhan armada pesawat itu, tegas Luhut, dapat menciptakan 250 juta lapangan kerja di AS dan UE.

"Jika kita didiskriminasi begini dan hampir 20 juta rakyat kita, terutama petani kecil ikut terdampak, tentu kita akan bereaksi. Kita bukan negara miskin, kita negara berkembang dan punya potensi yang bagus. Tidak ada toleransi, ini untuk kepentingan nasional," kecam luhut dalam briefing di depan Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia dan puluhan perwakilan perusahaan Eropa di Kementerian Luar Negeri, pekan lalu.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution juga menegaskan hal yang sama. Menurutnya, selain akan menggugat kebijakan RED II beserta aturan teknisnya melalui Badan Penyelesaian Sengketa WTO, Indonesia bisa saja memboikot produk-produk UE.

"Selain langsung ke WTO kita juga bisa melakukan retaliasi [tindakan balasan]. Memangnya kenapa? Kalau Uni Eropa bertindak sepihak, masak kita enggak bisa lakukan sepihak," tegas Darmin.

Industri Sawit di Antara Pusaran Konflik RI dan Uni EropaFoto: CNBC Indonesia/Ester Christine Natalia


Duta Besar Uni Eropa untuk Indonesia, Vincent Guérend secara tegas menolak anggapan bahwa Uni Eropa melakukan diskriminasi dan proteksionisme terhadap komoditas sawit.

Dia pun menyambut langkah Indonesia yang mau menggugat RED II dan aturan pelaksanaannya ke WTO. Menurutnya, kepentingan Indonesia dan UE sama, yakni memperjuangkan adanya sistem perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

"Apa yang pasar kami inginkan adalah sumber CPO yang tersertifikasi dalam hal keberlanjutan. Kami mendukung upaya Indonesia melalui kebijakan moratorium sawit, replanting dan sertifikasi ISPO," jelasnya.

Guerénd menambahkan, selama ini sekitar 22% komoditas CPO RI dan turunannya bisa memasuki pasar Eropa tanpa bea masuk (0%) dan sekitar 55% dikenakan tarif di bawah 5,1%.

"Jika anda bandingkan dengan India, India mengenakan bea masuk lebih dari 40% bagi produk sawit RI. Jadi sudah jelas kami punya pasar yang besar dan terbuka," tambahnya.

Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) menunjukkan, Indonesia mengekspor 4,78 juta ton CPO ke Uni Eropa sepanjang tahun lalu, menjadikan Benua Biru sebagai tujuan ekspor kedua sesudah India. Dari jumlah tersebut, sekitar 61% di antaranya digunakan untuk biofuel.

Simak video terkait perlawanan RI terhadap diskriminasi kelapa sawit oleh Uni Eropa di bawah ini.

[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Unstoppable! Harga CPO Meroket Terus Sambut Tahun Baru

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular