
Dewan Negara Produsen Sawit: Aturan UE Kompromi Politik!
Samuel Pablo, CNBC Indonesia
09 April 2019 11:42

Brussels, CNBC Indonesia - Dewan Negara Produsen Minyak Sawit (Council of Palm Oil Producing Countries/CPOPC) menilai aturan pelaksanaan (Delegated Act) Uni Eropa (UE) yang diteken Komisi Eropa pada 13 Maret lalu sebagai kompromi politik di dalam UE.
Kompromi itu bertujuan untuk mengisolasi dan mengucilkan minyak sawit dari sektor energi terbarukan Benua Biru, demi minyak rapeseed yang diproduksi di dalam negeri dan minyak nabati impor lainnya yang kalah kompetitif dibanding sawit.
Hal itu disampaikan oleh Misi Bersama CPOPC yang dalam dua hari ini menyambangi Komisi, Parlemen, dan Dewan Eropa untuk menyampaikan protesnya. Turut hadir dalam misi tersebut delegasi tiga negara anggota, yakni Indonesia yang dipimpin Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution, Malaysia yang dipimpin Sekjen Kementerian Industri Utama Dato' Dr. Tan Yew Chong, dan Kolombia dalam statusnya sebagai negara observer diwakili oleh Dubes Kolombia untuk Belgia dan UE Felipe Garcia Echeverri.
"Dalam pandangan kami, tujuan dari diterbitkannya Delegated Act ini adalah untuk membatasi dan secara efektif melarang penggunaan bahan bakar nabati [biofuel] berbasis minyak sawit mentah [crude palm oil/CPO] di pasar Uni Eropa melalui metode perhitungan Indirect Land Use Change (ILUC) yang cacat ilmiah," bunyi pernyataan CPOPC yang diperoleh CNBC Indonesia, Senin (8/4/2019) malam.
CPOPC beranggapan, kriteria tak berdasar yang digunakan dalam Delegated Act hanya fokus pada hubungan minyak sawit dan deforestasi, tanpa berusaha menganalisis lebih luas dampak perkebunan minyak nabati lain yang juga merusak lingkungan, termasuk rapeseed.
CPOPC juga memandang Delegated Act itu sebagai instrumen unilateral yang diarahkan pada para produsen kelapa sawit, mengesampingkan kontribusi dan capaian mereka mengentaskan kemiskinan dan pemenuhan target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) lainnya.
"Klaim Komisi Eropa bahwa Delegated Act ini sudah berdasarkan dasar-dasar lingkungan yang ilmiah patut dipertanyakan lebih lanjut. Salah satunya, minyak kedelai dari beberapa sumber telah dikategorikan beresiko rendah terhadap perubahan penggunaan lahan dan deforestasi (low risk ILUC). Padahal, riset yang dilakukan lembaga UE sendiri menyimpulkan bahwa perkebunan kedelai bertanggung jawab terhadap jauh lebih banyak 'deforestasi impor'," tulis pernyataan tersebut lebih lanjut.
Oleh sebab itu, CPOPC menduga penerbitan Delegated Act ini lebih didasarkan pada proteksionisme ekonomi dan politik, daripada keputusan yang sifatnya ilmiah. CPOPC memandang langkah ini sebagai strategi ekonomi dan politik yang telah diperhitungkan untuk menghapus minyak sawit dari pasar UE.
"Dalam misi ini, kami akan menyampaikan keresahan pemerintah kami kepada pimpinan dan otoritas Uni Eropa dan coba mencari jalan keluar yang solutif dan dapat diterima seluruh pihak," tutup pernyataan tersebut.
Simak video terkait kelapa sawit RI di bawah ini.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Diskriminasi Tiada Henti Uni Eropa Terhadap CPO RI
Kompromi itu bertujuan untuk mengisolasi dan mengucilkan minyak sawit dari sektor energi terbarukan Benua Biru, demi minyak rapeseed yang diproduksi di dalam negeri dan minyak nabati impor lainnya yang kalah kompetitif dibanding sawit.
Hal itu disampaikan oleh Misi Bersama CPOPC yang dalam dua hari ini menyambangi Komisi, Parlemen, dan Dewan Eropa untuk menyampaikan protesnya. Turut hadir dalam misi tersebut delegasi tiga negara anggota, yakni Indonesia yang dipimpin Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution, Malaysia yang dipimpin Sekjen Kementerian Industri Utama Dato' Dr. Tan Yew Chong, dan Kolombia dalam statusnya sebagai negara observer diwakili oleh Dubes Kolombia untuk Belgia dan UE Felipe Garcia Echeverri.
CPOPC beranggapan, kriteria tak berdasar yang digunakan dalam Delegated Act hanya fokus pada hubungan minyak sawit dan deforestasi, tanpa berusaha menganalisis lebih luas dampak perkebunan minyak nabati lain yang juga merusak lingkungan, termasuk rapeseed.
CPOPC juga memandang Delegated Act itu sebagai instrumen unilateral yang diarahkan pada para produsen kelapa sawit, mengesampingkan kontribusi dan capaian mereka mengentaskan kemiskinan dan pemenuhan target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) lainnya.
"Klaim Komisi Eropa bahwa Delegated Act ini sudah berdasarkan dasar-dasar lingkungan yang ilmiah patut dipertanyakan lebih lanjut. Salah satunya, minyak kedelai dari beberapa sumber telah dikategorikan beresiko rendah terhadap perubahan penggunaan lahan dan deforestasi (low risk ILUC). Padahal, riset yang dilakukan lembaga UE sendiri menyimpulkan bahwa perkebunan kedelai bertanggung jawab terhadap jauh lebih banyak 'deforestasi impor'," tulis pernyataan tersebut lebih lanjut.
![]() |
Oleh sebab itu, CPOPC menduga penerbitan Delegated Act ini lebih didasarkan pada proteksionisme ekonomi dan politik, daripada keputusan yang sifatnya ilmiah. CPOPC memandang langkah ini sebagai strategi ekonomi dan politik yang telah diperhitungkan untuk menghapus minyak sawit dari pasar UE.
"Dalam misi ini, kami akan menyampaikan keresahan pemerintah kami kepada pimpinan dan otoritas Uni Eropa dan coba mencari jalan keluar yang solutif dan dapat diterima seluruh pihak," tutup pernyataan tersebut.
Simak video terkait kelapa sawit RI di bawah ini.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Diskriminasi Tiada Henti Uni Eropa Terhadap CPO RI
Most Popular