Kalau AS Resesi, Memangnya Kenapa? Ada Pengaruh Buat RI?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 March 2019 12:03
Kalau AS Resesi, Memangnya Kenapa? Ada Pengaruh Buat RI?
Ilustrasi Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Tema besar yang mendominasi pasar pada awal pekan ini adalah risiko resesi di Amerika Serikat (AS). Kalau sampai ini terjadi (amit-amit) maka dampaknya tidak main-main. 

Kekhawatiran terjadinya resesi di Negeri Paman Sam datang dari pasar obligasi pemerintah. Pada pukul 11:06 WIB, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah AS tenor 3 bulan adalah 2,4527%. Sementara yield untuk tenor panjang 10 tahun malah lebih rendah yaitu 2,4372%. 



Yield dua seri obligasi ini sering dijadikan alat untuk mengukur risiko terjadinya resesi. Ketika terjadi inversi (yield jangka pendek lebih tinggi dibandingkan jangka panjang), maka kemungkinan akan terjadi resesi setidaknya dalam 18 bulan ke depan. Sebab, investor meminta 'jaminan' yang lebih tinggi untuk obligasi jangka pendek yang artinya risiko akan lebih besar dalam waktu dekat. 

Risiko resesi di AS adalah sebuah berita besar. Jika ini terjadi, maka dampaknya akan luar biasa terhadap perekonomian global. 

Definisi resesi adalah kontraksi atau ekonomi yang tumbuh negatif dalam 2 kuartal dalam tahun yang sama. Kali terakhir AS mengalami kondisi ini adalah pada 2009, di mana ekonomi yang diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal I, II, dan III mengalami kontraksi. 

 

Kita tentu ingat apa yang terjadi kala itu. Meletusnya gelembung sekuritisasi kredit perumahan (subprime mortagage) menyebabkan dampak sistemik yang merontokkan pasar keuangan Negeri Adidaya.

Sejak awal 2008 sampai akhir 2019, indeks S&P 500 anjlok 24,06%.
 AS adalah kiblat pasar keuangan dunia. Masalah di AS akan merambat, dan lambat laun bakal dirasakan oleh seluruh negara, termasuk Indonesia. Saat S&P 500 amblas 24,06% tadi, Indeks Harga Saham Gabungan ambrol 7,22%. 

 

Masalah di sektor keuangan kemudian menjalar ke sektor riil. Akibat krisis keuangan, likuiditas mengetat (liquidity crunch) sehingga korporasi sulit berekspansi. Tidak hanya korporasi, rumah tangga juga sulit mengakses pembiayaan untuk meningkatkan konsumsi. 

Jadi tidak heran saat pasar keuangan AS hancur lebur (krisis terparah sejak Depresiasi Besar pada 1930-an), pertumbuhan ekonomi juga terpengaruh. Kontraksi dan resesi pun tidak terhindarkan.




(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Masalahnya, AS tidak cuma menjadi acuan bagi pasar keuangan global tetapi juga perekonomian terbesar di dunia. AS adalah lokomotif dunia, sang kepala naga. Ketika naga menceburkan kepalanya ke air, lambat laun seluruh tubuhnya akan ikut masuk.  

Indonesia pun merasakan dampaknya. Memang tidak sampai resesi, tetapi Indonesia mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi yang signifikan. 

Sebelum krisis di AS, Indonesia bisa menikmati pertumbuhan ekonomi di kisaran 6%. Ketika krisis terjadi, pertumbuhan ekonomi Tanah Air melambat menjadi sekitar 4%. 

 

AS adalah negara yang penting buat Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor non-migas Indonesia ke AS sepanjang 2018 mencapai US$ 17,67 miliar. AS menduduki peringkat kedua setelah China dengan porsi 10,87%. 

Saat AS resesi, maka permintaan produk-produk made in Indonesia akan berkurang karena memang aktivitas ekonomi lesu. Penurunan ekspor ke AS akan mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan karena posisinya yang begitu strategis. 

Belum lagi resesi ekonomi AS tentu mempengaruhi seluruh negara, sehingga ekspor pasti bakal anjlok. Pada Januari 2009, ekspor Indonesia sempat jatuh sejatuh-jatuhnya dengan kontraksi 34,95%. 



Kesimpulannya, resesi di AS kalau bisa jangan sampai terjadi. Kali terakhir itu terjadi, dampaknya luar biasa bagi Indonesia. Tidak hanya di pasar keuangan, sektor riil dan pertumbuhan ekonomi juga bakal mengalami masalah yang besar.  


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular